14 - Merana Juga Ya!

2209 Words
“Kita bagaikan langit dan bumi… Jauh sekalii!” suara Callisa menggema didalam kamarnya,suara musik yang berasal dari ponselnya. Lagu Arief yang berjudul hendaklah cari pengganti itu membuat hatinya makin merana pagi ini. “Gini banget nasib orang cantic,bukannya cintanya dibalas malah digantung.” Gumamnya,memperhatikan hasil jerih payahnya membuat alis sejak 12 menit yang lalu. “Buat alis aja perjuangannya serasa harga diri,padahalkan dipakenya cuman beberapa jam habis itu dihapus. Yang menciptakan ukir alis ini siapa sih?” berdiri dari hadapan cermin,Callisa beralih memilih baju di ranjangnya. Beginilah Callisa saat kesal,masalah Alis yang diciptakan saja ia permasalahkan padahal tidak ada sangkut pautnya dengan ayang Aydan-nya. Duh,Callisa jadi kangen Aydan padahal kan sudah dikasi perhatian lewat jaket tapi tidak ada perkembangan sama sekali. Nasib oh nasib. Ada tiga gaun yang sudah Callisa sediakan tinggal pilih akan memakai yang mana,ada pertemuan makan siang dengan kolega kakaknya. Karena kakaknya yang ketiga itu tak punya pasangan maka Callisa yang akan menemaninya daripada terus di ledek tak punya pasangan bukan? Selaku adik yang baik dan tak tega melihat kakaknya,seorang Princess Callisa akan membantunya. Ada timbal baliknya,habis makan siang maka Raymond harus membelanjakan Callisa banyak baju ditambah beberapa perhiasan. Callisa bosan dengan gaun-gaun yang ada di lemari pakaiannya,mau suasana baru katanya. “Karena formal maka mari berpenampilan feminim,Callisa.” Semangatnya pada diri sendiri,mengambil gaun berwarna pink. Memakainya di ruang ganti barulah siap berangkat,Callisa bersiap sejak jam 7 dan baru selesai jam setengah sepuluh. Sejak tadi teleponnya sesekali berdering meminta diangkat pertanda kakaknya bosan menunggu. Berdiri di depan cermin,”Kamu memang selalu cantic,Callisa.” Pujinya pada diri sendiri,memakai sepatu tingginya dengan cepat barulah turun kebawah. Ia terkikik sendiri melihat kakaknya menatapnya malas dibawah sana,pertanda benar-benar jenuh menunggunya. “Perempuan memang ribet,” tawa Callisa terdengar lagi mendengar gerutuan kakaknya. “Yuk berangkat,takutnya malah macet di jalan. Kamu tidak melupakan apapun kan,Dek? takutnya pas ditengah jalan malah lupa.” Memeriksa isi tasnya yang hanya berisi kartu,ponsel,bedak dan lipstick. “Udah ada semua kok,” beritahunya. Raymond mengulurkan tangannya sembari sedikit menunduk,”Mari kita berangkat,Princess Callisa.” Tertawa pelan dan menerima uluran tangan kakaknya,”Mari Raymond Deravendra.” Balasnya tak kalah sopan seolah keduanya adalah pasangan yang akan kencan seharian. Keduanya berjalan beriringan menuju mobil yang sudah menunggu sejak tadi,Ray mempersilahkan adiknya masuk lebih dulu barulah dia. Tak lama mobil meninggalkan Kawasan rumahnya,hari ini memang jadwalnya makan Bersama koleganya yang sengaja datang dari singapura. Masih orang indo tapi tinggal disana. Ray sudah lama bekerja sama dengan koleganya itu,masih jaman sehabis wisuda. Membantunya mendapatkan banyak relasi bisnis sampai semua bisnisnya sebaik sekarang tentunya di bidang perlautan. Ray tipe orang yang suka lautan dan semua bisnis yang bersangkutan dengan laut pastinya. Melirik adiknya yang sibuk bermain ponsel,”Kalau bosan disana bilang sama kakak ya,” tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel,Callisa mengangguk. “Liat apasih? Kakak sampai dikacangi,” “Mau posting foto soalnya sudah lama tidak upload. Tadinya pengen foto berdiri tapi lupa soalnya takut terlambat. Kakak foto aku dong,di mobil aja biar makin kece,” menyerahkan ponselnya pada Ray,”Yang cantic dan anggun,oke?” Callisa mulai berpose cantic. Setelah berhasil mengambil beberapa gambar,Callisa menerima ponselnya kembali. Tersenyum sumringah karena kakaknya pandai memotretnya. Dengan gemas,Callisa memeluk Ray singkat dan mengucapkan terimkasih,ia suka dengan sikap semua kakaknya walaupun posesifnya membuat Callisa jengkel,sesekali. “Kamu jangan cepat besar,Dek. kakak masih pengen main dan manjain kamu. membelikan apapun yang kamu,memberikan kamu perhatian penuh.” Ujarnya sembari menatap Callisa dengan sorot hangat,adiknya kembali berkutat dengan ponselnya. Pagi ini Callisa terlihat memakai gaun dengan motif bunga di ujung bawahnya,sedikit berkembang di bagian lutut. Bagian bahu yang agak terbuka tapi tetap sopan di bagian depan. Make-up yang sepertinya Callisa samakan dengan tema bajunya. Rambut di kepang rapi,Ray serasa jalan Bersama pacarnya hari ini. “Kakak biasanya liat kamu pakai celana atau rok,jarang pake gaun.” “Kan ini formal mana ketemu teman bisnis pula. Yang Callisa bawa cuman nama doang tapi nama Kak Ray juga,ada nama Mami-Papi juga. keknya semua pandangan keluarga kita akan tergantung sama aku,sendirian perempuan pula. Pokoknya pake aja yang aku mau,ini kemauanku sendiri kok,Kak Ray jangan khawatir.” Tersenyum menatap kakaknya lalu menunduk kembali,Callisa sedang memikirkan isi caption postingannya apa. Kecantikan bukan dari pakaian ataupun riasan,tapi berasal dari bagaimana cara kamu memperlihatkan senyuman juga sorot dibalik matamu. Ini perihal ketulusan dalam berpose bukan tujuan memamerkan apalagi sengaja melakukannya. Menekan tanda ‘selanjutnya’ barulah postingannya jadi. “Disana banyak orang engga kak?” tanyanya sambil memasukkan ponselnya kedalam tas,menatap kakaknya. “Lumayanlah,semua kolega dari singapur ada. Makanya kakak bilang,kalau mulai bosan bilang sama kakak jangan dipendam. Perasaan kamu lebih utama dari acara itu,” Callisa tertawa,”Serasa di gombalin sama pacar sendiri padahal ini kakak kandung.” Ujarnya,menatap kedepan terlihat jalanan Jakarta agak macet tapi tidak terlalu juga. mobil masih bisa bergerak tanpa harus membunyikan klakson. 20 menitan,mobil mulai memasuki Kawasan Gedung bertingkat tempat acaranya. Ada banyak orang yang baru masuk dengan berpakaian mewah sepertinya. Masih didalam mobil,Callisa bernapas lega karena tidak salah kostum dan tidak akan mempermalukan para kakaknya juga nama keluarga besarnya,Deravendra. “Acaranya di lantai lima,” pemberitahuan dari kakaknya terdengar. Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk,ada orang dengan sigap membukakan pintu mobil untuknya. Beberapa flash kamera mulai terarah padanya,Ray turun lebih dulu barulah membantu adiknya turun juga. dengan cepat Callisa memasang senyum termanisnya,melambaikan tangannya pada beberapa wartawan yang sedang memotretnya. Berjalan masuk dan mobilnya berlalu. Callisa tidak melunturkan senyumnya sama sekali hingga benar-benar masuk kedalam Gedung. Tangannya sejak tadi memeluk lengan Ray,seolah pasangan idaman. “Ini makan siang atau pesta sih?” protesnya saat pintu lift tertutup,didalam hanya mereka berdua. Ray melirik adiknya,”Lebih mengarah ke pesta kayaknya.” Ujarnya agak rendah,sebenarnya ini pesta untuk para pebisnis di bidang lautan,baik dari segi restoran seafood,prawisata dan masih banyak lagi. Mendengar hal itu Callisa mendengus kesal,pantas banyak wartawan dibawah sana. “Maaf,Dek. kakak engga tau ada wartawan juga.” Tanggapan Callisa hanya gumaman,kembali memeluk lengan kakaknya saat pintu lift terbuka,Callisa tersenyum saat matanya menangkap banyaknya orang di ballroom. Sepertinya ini pagi dan siang yang sangat Panjang,mari memasang wajah penuh kepalsuan saat berbincang dengan siapapun. “Jangan kemana-mana,” bisik Ray pada Callisa saat keduanya mulai berbaur dengan yang lainnya. Ray mulai bergabung dengan teman-temannya di meja,berbincang mengenai bisnis entah berapa waktu yang berlalu tapi Callis mulai bosan. Apalagi sejak tadi,harus selalu tersenyum pada semuanya seolah Callisa adalah perempuan yang identic dengan senyuman. Kakaknya benar-benar menipunya,dikira makan siang biasa hanya terdiri beberapa orang ternyata banyak orang. “Aku pamit ke toilet sebentar,” bisiknya pada kakaknya. “Mau kakak temani?” “Tidak perlu,habis ini aku di balkon,” Tersenyum pada semuanya,Callisa berdiri meninggalkan meja memuakkan itu. Bukan pertama kalinya ia menghadiri acara begini malahan sejak berumur satu tahun,Callisa sudah sering berkeliaran di acara seformal ini. Masuk kedalam kamar mandi,Callisa memperbaiki tatanan rambutnya sebentar juga memoles kembali bedak di wajahnya. Selalu perfect,matanya selalu merasa bangga setiap kali melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. “Eh denger-denger ada Callisa kesini.” “Callisa selebgram anak konglomerat itu? Kok gue engga liat ya? Mungkin di meja VVIP kali ya? Secara kan dia anak emas,sejak lahir dah kaya. Mana punya kakak tiga,bisnisnya barjaya semua. Pengen jadi Callisa juga,” “Kalau gue sih engga mau jadi dia,45% hidup anak orang kaya itu penuh kesepian.” Senyum Callisa luntur,membereskan barangnya dengan cepat takutnya dua perempuan itu menyadari keberadaannya. Terburu-buru keluar,jujur saja Callisa tidak suka mendengar kata ‘kesepian’ yang selalu orang sematkan padanya. Di media sosialnya,Callisa banyak mendapatkan pertanyaan seputaran kata itu,padahalkan Callisa tidak merasakan demikian. Semua kakaknya memberikan perhatian untuknya,memanjakannya dan selalu memprioritaskan Callisa dimanapun Callisa berada. Sesampainya di balkon dan memilih tempat yang agak bersembunyi,Callisa memegang pembatas balkon lalu menatap kebawah. Tersenyum menatap beberapa wartawan masih menunggu disana,setiap pekerjaan memiliki konsekuensinya sendiri termasuk memilih menjadi reporter atau pembawa berita. “Sudah berulang kali saya peringatkan untuk tidak memakai pakaian terbuka,Callisa.” Lima detik setelah suara itu terdengar,ada jas yang terpasang di bahunya. “Pak Aydan?” kagetnya, Dosen pujaan hatinya terlihat menjaga jarak darinya,sekitar 6 jengkal. Dari samping Callisa melihat Pak Aydan yang ganteng,.”Menunduk Callisa,memandang seseorang yang bukan mahrammu adalah dosa.” Callisa menurut,kembali menatap suasana dibawah sana saat jam menuju pukul 11 lewat. “Bapak juga jangan lupa,berbicara dengan orang yang bukan mahram-mahram itu adalah dosa.” Balasnya telak,membuat Aydan bungkam. Selama sepuluh menit berlalu,tak ada yang berbicara sama sekali. Hanya suara berisik yang berasal dari dalam pesta. Callisa sesekali mencuri-curi pandang kearah Aydan,merasa senang karena baru kali ini Aydan memulai perbincangan dengannya,perhatian pula. “Cukup jawab iya atau tidak.” Kening Callisa berkerut,maksudnya apa ya? “Kamu tidak keberatan tinggal dirumah yang sepuluh kali lebih kecil dari rumah kamu?” Akhirnya paham,”Tidak.” Jawabnya. “Bapak pasti ngiranya saya pengen rumah mewah layaknya rumah saya yang sekarang ya? Eh tapikan saya cuman tinggal di kompleks biar bisa tetanggaan dengan para kakak saya bukan di mension.” Melihat Aydan sekilas,”Bapak punya kerjaan yang bisa dibanggakan,masa insecure mulu sih.” ledeknya,memperbaiki jas Aydan yang sempat terjatuh dari pundaknya. “Bapak kok ada disini? Bukannya kerjaan bapak dosen atau ada pekerjaan lain di ranah bisnis?” merasa tak akan dijawab,Callisa kembali bersuara. Masa iya Aydan punya bisnis juga? tapikan ada peluangnya juga. tak selamanya pekerjaan dosen bertahan,ada banyak rintangannya layaknya pekerjaan lainnya. “Ada seminar di lantai 3,pemilik acara meminta saya kemari cuman tidak sengaja liat kamu kesini. Saya Bersama teman dosen lainnya,cuman sibuk berbincang.” Callisa mengangguk paham,merasa senang karena Aydan membalas perbincangannya jadi bukan hanya Callisa yang asal bicara. Kembali hening,Callisa hanya sibuk dengan pikirannya. Tak menyangka akan bertemu dengan bapak dosen tercintanya di tempat yang ia kira akan memuakkan. “Kita kayaknya jodoh ya,Pak. Ketemunya tidak direncankan sama sekali.” “Jangan berharap terlalu dalam,Callisa. Kamu harusnya sadar bahwasanya tidak semua pertemuan ada kaitannya dengan jodoh atau pasangan,pertemuan lebih dominan membawa pembelajaran bagi manusia. Ingat Callisa! Berharaplah pada Pencipta bukan kepada buatan-Nya.” Mata cantic Callisa mengerjap,ia merasa dikasi pelajaran di kelas. “Lalu kenapa Pak Aydan terus melakukannya?” wajah Callisa berubah menjadi serius. “Ini tidak disengaja bukan? Lalu kenapa Bapak tidak mengabaikan saya saja,anggap mata bapak tidak melihat saya,kenapa bapak memasang jas ini tanpa tujuan yang jelas? Kalau memang bapak tidak tertarik dengan saya maka jangan membuat saya semakin berharap,Pak. Bapak sadar engga sih? di beberapa pertemuan kita,bapak yang seolah memberikan saya peluang untuk berpikiran jauh?” Tertawa sarkas,”Bapak seolah membantu mimpi saya,membuat saya makin ingin menjadikan bapak sebagai suami saya. Pak,yang tegas dong jangan sok alim tapi sebenarnya mau! Jangan bawa-bawa agama terus,” Callisa menunduk,ia tau perkataannya agak keterlaluan. “Bapak minta nomor saya,mengirimkan saya pesan,memperingati saya seolah bapak tidak rela saya jauh dari agama. Bapak sadar dengan semuanya engga sih? saya capek di tarik ulur terus,tiap ketemu bahas ini terus,ini terus! Bapak engga capek? Saya capek,Pak. Kalau memang tidak berminat dengan saya,maka hentikan Pak. Anggap saya angin lalu seperti sebelumnya.” Membuka jas yang tadi Aydan pasang di pundaknya,”Maaf karena ketidaksopanan perkataan saya tadi,Pak Aydan. saya hanya mengatakan apa yang ingin pikiran saya katakan,terimakasih atas jasnya tapi hubungan kita tidak sedekat itu hingga bapak harus memperhatikan aurat saya juga,” tersenyum singkat pada Aydan,Callisa kembali masuk kedalam.”Dan soal jaket bapak yang kemarin,akan saya berikan lewat kak Rasya,” berhenti sebentar tanpa membalikkan badannya hanya untuk mengatakan itu setelahnya lanjut jalan. Sembari berjalan menuju tempat kakaknya berada,Callisa mengumpati dirinya sendiri. Bukannya senang karena Aydan kini menganggapnya ada,Callisa malah bersikap sok jual mahal. Jujur,Callisa menyesal sudah mengatakan semua itu. Pak Aydan,jangan menyerah dong. Ingin rasanya Callisa kembali kesana dan mengatakan itu,maaf Pak Aydan,teruslah berjuang Bersama saya dan lupakan perkataan saya tadi. Sayangnya itu tertahan di pikiran Callisa,teruslah berjalan menunduk hingga duduk disamping kakaknya. “Semuanya baik-baik saja?” Tidak kak,Callisa malah membuatnya berantakan. “Iya kak,baik-baik aja.” Jawabnya dengan senyuman. Walaupun Ray masih penasaran tapi tetap mengangguk mengerti,melanjutkan pembahasan panjangnya dengan koleganya. Disampingnya,Callisa mengeluarkan ponselnya Jodoh-ku Terimakasih sudah menyadarkan saya,Callisa. Bahwasanya tindakan saya sudah terlalu jauh dan membuat kamu merasa tidak dihargai, saya akan menghapus nomor kamu dan berjalan seperti biasanya. Ngulang waktu boleh engga sih? rasanya Callisa menyesal telah melontarkan semua isi pikirannya. Ia kira pujaan hatinya itu hanya akan menanggapinya santai seperti biasanya atau melupakannya dengan cepat,tapi apa tadi? Kamu teralu berlebihan,Callisa. Nangis aja deh,Callisa ingin menangis membaca kembali pesan yang Aydan kirim 3 menitan yang lalu. Callisa mengedarkan pandangannya dan menemukan pria berkacamata,sempat bertemu pandang selama 3 detik lalu dosen itu yang membuang wajahnya,ekspresinya sangat datar sekali. Lihatlah kelakuanmu,Callisa. “Dek? kamu beneran baik-baik aja? Atau mau pulang? Ini sudah setengah dua belas,bukannya ada janji dengan Mba Deva untuk keluar bareng?” Dengan cepat Callisa mengangguk,menatap Aydan sekali lagi tapi orangnya sudah tidak ada disana. Callisa sangat merana kalau begini,kenapa harus pake jujur segala sih? Terlihat kakaknya pamitan dengan semuanya,Callisa dibantu berdiri dan berjalan meninggalkan tempat acara. Untungnya dibagian depan sudah tidak ada wartawan yang menunggu,Callisa mengedarkan pandangannya sejalan dengan mobilnya yang meninggalkan Kawasan Gedung. Di lantai tiga tepatnya di jendela,Aydan memperhatikan bagaimana Callisa mengawasi sekitar pertanda mencari keberadaannya. Tersenyum tipis,Aydan menghela napas pelan memikirkan semua perkataan Callisa tadi memang benar adanya. Aydan selalu membawa agama setiap kali bertemu Callisa,sok alim padahal melanggar batas-batas agama. “Menyesal juga ternyata,padahal saya cuman sebatas bicara soal menghapus nomor,” bisiknya pada diri sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD