18 - Pesantren Al-Fahri

2159 Words
tabbat yadā abī lahabiw wa tabb mā agnā 'an-hu māluhụ wa mā kasab Suara mengaji anak-anak menggema dari kejauhan,Aydan melihat bagaimana semangatnya mereka membaca surah-surah pendek pagi ini. Surah Al-Lahab sekarang,Aydan tersenyum melihat kakeknya kini menyadari keberadaannya. Keluarganya yang ia jadikan pengganti abi-umminya. Saat ini Aydan berada di pesantren tahfidz milik Kakek-neneknya. Sengaja datang berkunjung agar silaturahmi tetap ada,apalagi sekarang kan sudah libur semester jadi Aydan akan meluangkan waktunya disini. Menghabiskan liburannya disini lebih baik,bisa sekalian memperhatikan para penghapal Al-Quran dimana bimbingan kakek-neneknya. “Assalamualaikum,Nak. Jam berapa sampainya? Perjalanannya lancar?” Bersalaman dengan kakeknya,”Waalaikumussalam Kakek,alhamdulillah perjalanan saya kemari lancar dan tidak ada kendala sama sekali. Kakek yang memantau hari ini? Kok ada disini?” Fahri Alamsyah,pImpinan pondok pesantren Al-Fahri sesuai Namanya. Abi dari ibu Aydan ini memang memiliki pesantren dibangunnya sendiri menggunakan dananya,cuman sesekali aka nada donator atau para pesedekah yang menyalurkan sedekahnya ke pesantren ini. Ia tersenyum melihat cucunya kini sudah sebesar sekarang,Fahri tak menjawab pertanyaan Aydan. hanya berjalan dengan tongkatnya juga diikuti Aydan di sampingnya. Sepanjang berjalan,Aydan menatap bagaimana anak-anak didalam kelas mereka begitu serius belajar. Dan ingat,perempuan dan laki-laki tempatnya berpisah,sengaja melakukannya agar tak menciptakan dosa. “Kakek senang kamu kemari,ada beberapa posisi mengajar yang kosong dikarenakan beberapa pembina memilih cuti. Kakek bukan meminta kamu mengajar,tapi membimbingkan anak-anak selama kamu disini. Kamu berapa lama disini?” tongkatnya ikut berhenti juga,menoleh menatap cucunya. “Saya hanya beberapa hari disini,ada banyak kerjaan yang harus saya urus. Kan sudah ada Qabir dan Yaksa,Kakek. Saya punya jalan saya sendiri,bukan tidak mau mendekatkan diri dengan agama tapi memilih jalan ini adalah pilihan saya sejak awal,” tak lupa Aydan tersenyum tipis dibalik kacamatanya, Suara helaan napas kakek Aydan terdengar,”Ilmu kamu itu banyak,lebih bermanfaat jika kamu salurkan pada anak-anak yang baru belajar. Pengetahuan kamu banyak Aydan,kamu mau sampai kapan dengan pilihan itu?” Inilah alasannya Aydan jarang ke pesantren,setiap kali kemari maka kakeknya akan membujuknya tinggal disini dan menjadi pembina tetap. Aydan tetap Aydan,ia mempunyai jalannya dan tidak diatur begitu lama. Fahri hanya tersenyum dengan wajah sayunya lalu berjalan lagi,Aydan membiarkan kakeknya pergi. Sepeninggalan kakeknya,Aydan melanjutkan niat awalnya tadi. Menatap acara belajar para anak-anak untuk menyingkirkan segala tentang Callisa dalam pikiranya. Selama 4 bulan berlalu ini,Callisa banyak berubah terutama di bagian pakaian. Perempuan dengan gaya luar biasanya itu benar-benar memperlihatkan kesungguhannya dalam mencintai Aydan. “Astagfirullah…” baru saja ia mengatakan takkan memikirkan Callisa tapi malah terjadi sebaliknya? Menggelengkan kepalanya beberapa kali,Aydan memang harus cari cara lain mengenai hubungannya dengan anak konglomerat itu. Setelah berjalan agak lama,Aydan menghentikan jalannya menatap kelas dimana isinya anak-anak umuran 5-7 tahun. Dengan pakaian putih-hitam mereka semua dengan kusyuk mendengarkan gurunya. “Ketika tanwin atau nun sukun bertemu dengan huruf hijaiyah itu ada hukum bacaanya para anak-anakku. Ada yang Namanya idhgam bigunnah,idgham bilagunnah,ikhfa dan kalau mau dipelajari lebih dalam kita harus membahasnya satu persatu. Hukum bacaan itu banyak,bukan terpaku pada tiga itu ya,tadi itu hanya contoh semata,seperti yang saya tulis di papan tulis ini…” Aydan tersenyum tipis bagaimana seriusnya mereka semua menatap papan tulis juga bagaimana tulusnya pembina memberikan materi. Kakeknya ingin Aydan begini? Tidak dulu. Aydan masih ingin menjelajah dengan caranya,ia punya cara tersendiri untuk belajar atau membagikan ilmunya. “Tanwin itu bukan cuman baris dua diatas ya? Hayo? Siapa yang masih ingat dan mau menyebutkan?” Menyenangkan dan menenangkan sayangnya bukan dunia seperti ini yang Aydan inginkan. “Saya Ustadz!” “Tafadhol Hanra.” “Ada Fathahtain,kasrahtain dan Dhammahtain.” “Masyaallah! 'ant dhakiat jidana ya Hanra.” Selanjutnya suara tawa anak-anak menggema,Aydan ikut tersenyum bagaimana semangatnya mereka belajar tentang agama apalagi Al-Quran. Tak mau berlama-lama disini,Aydan meninggalkan Kawasan kelas yang saling berjejer ditemani suara-suara para pembina yang sedang memberikan materi hari ini. “Pertama,ketika Tanwin atau nun sukun bertemu dengan 4 huruf hijaiyah yang saya tulis ini maka akan disebut Idhgam bigunnah. Dibacanya bagaimana? Didegungkan,contohnya bagaimana? Misalnya liman yaraa terus dibacanya bagaimana? Disini ada nun sukun terus dibelakangnya ada huruf Ya. Jika diliat dari huruf-huruf idgam bigunnah maka Ya masuk tidak?” “Masuk Ustadz!” “Karena masuk maka didegungkan jangan cuman bilang liman yaraa. Tapi limayyara dan blabla…” Aydan melihat bagaimana antusianya anak-anak menyambut setiap materi agama tanpa adanya keluhan layaknya anak-anak yang sering Aydan ajari di masjid sekitar rumahnya di Jakarta. Anak-anak disini menerimanya dengan senang hati malahan suka dengan pembahasan agama. Berbeda dengan anak-anak didiknya,terkadang ada yang mengeluh karena banyaknya tugas yang Aydan berikan. Setiap potensi anak-anak sejak mereka mulai mengenal dunia akan berbeda tergantung bagaimana perkenalannya. Jika sejak kecil diajarkan atau dibuat terbiasa dengan agama maka mereka paham,begitupun sebaliknya. Dengan tangan di kantong celana sakunya,kakinya berhenti melangkah. Di kelas sedang ia lewati bukan lagi anak-anak tapi anak menuju remaja. Kumpulan umur 10-13 tahun. Di papan tulis bukan lagi huruf-huruf abjad yang terlihat tetapi huruf-huruf hijaiyah yang saling bersambung menjadi kalimat dalam Bahasa arab. Mereka semua sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh pembina. Tak mau menganggu,Aydan membelokkan langkahnya keluar dari bangunan kelas menuju rumah utama milik kakeknya. Tak lupa mengucapkan salam saat masuk disambut perempuan paruh baya dengan pakaian tertutupnya. Aydan memeluknya dengan erat,Nining Adistia. Ibu dari Ummi Aydan ini selalu menyayanginya dengan sepenuh hati. “Kamu baik-baik sajakan? Tidak ada yang terjadi kan?” tanyanya dengan wajah khawatir,tidak biasanya cucunya ini mau berkunjung. Palingan hanya menitipkan salam lewat ponsel habis itu sibuk dengan dunianya sendiri. “Alhamdulillah nenek,semuanya baik-baik saja. saya kemari hanya mau berkunjung saja kebetulan libur semester juga. nenek sehat?” Nining kembali memeluk cucunya dengan sayang lalu menuntunnya masuk ke meja makan. Aydan meringis pelan melihat ini,jika kakeknya selalu membujuknya untuk tinggal disini setiap kali Aydan kemari maka berbeda lagi dengan neneknya. Setiap kali Aydan kesini akan disuguhkan langsung dengan banyak makanan dengan wejangan yang sudah Aydan hapal diluar kepala. “Kamu jangan lewatkan makanmu toh,Nak. Nenek liat kurusan banget sekarang,kenapa endak nikah saja terus ada yang perhatiin? Siapin kamu makan,cuciin bajumu. Ada yang temenin kamu dirumah abi-Ummimu sana. Ada teman cerita,ada yang kamu biayai bukan uangnya ditumpuk terus loh. Nenek pengen punya cicit dari kamu. adekmu sudah hamil muda,masa kamu belum?” Aydan tersenyum kaku,menerima piring berisi makanan. “Menikah itu nambah pahala dan ada orang yang bisa kamu jahilin,yang omelin kamu tiap paginya. Kamu endak mikir kerjaan terus jadinya mikirin istrimu juga. indah nak,kenapa belum mau?” Dan Aydan akan menjawab seperti biasanya,”Belum ada calonnya,Nek.” “Alah alasan,nenek sudah banyak kasi CV ta’aruf perempuan sini tapi kamu endak balas-balas.” “Iya Nek,insyaallah Aydan akan menikah. Aydan tidak pernah menundanya tapi menunggu waktu yang pas aja.” Nining menggeleng tak habis pikir,keras kepala cucunya ini mirip dengan ibunya sendiri. Ia duduk di kursi,menatap bagaimana cucunya makan dengan lahap. Nining sebenarnya ingin Aydan tinggal disini bukan malah di Jakarta dimana tak ada yang memperhatikan tapi ya mau bagaimana,Aydan bukan anak kecil. Malahan sebentar lagi masuk kepala tiga umurnya. “Nak,umur kamu itu sudah masuk 30 tahun beberapa bulan lagi. Masih belum?” tanyanya dengan suara lemah lembut,berdiri menyediakan minum untuk Aydan. “Kamu endak mau rasain punya istri toh? Kamu endak perlu masak cukup makan. Tapi jangan anggep istrimu pembantu juga,dia perannya bukan itu.” Wejangan ini sudah ribuan kali Aydan dengar,makanya ia tak begitu menanggapinya. Palingan kalau Lelah,neneknya akan berhenti sendiri dan akhirnya menyerah juga. “Kalau menurut nenek,perempuan itu mudah dipahami. Mereka cantic dengan akhlak mereka,bukan dari kelebihannya kamu mencari tapi dari kekurangannya…” sepanjang Aydan makan,ia ditemani celotehan neneknya yang sangat Panjang membahas dunia perempuan tiada habisnya. Setiap kali Aydan mendengarkan neneknya bicara begini maka Aydan akan teringat dengan Umminya. Cerewetnya juga sama,mungkin memang keturunan dari Nining. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal,Aydan pun hanya mengingat samar-samar wajah mereka. Sesekali melihat fotonya jika memang memungkinkan. “Kamu beneran belum punya calon?” Helaan napas Aydan terdengar. “Nak,Nenek sudah tua. Mau liat kamu bahagia itu lumrah bagi semua orangtua di dunia ini,walaupun kamu selalu bilang jangan khawatir tapi Nenek mana bisa. Pengen liat kamu menikah,bahagia.” Aydan menatap nanar piringnya yang sudah kosong,”Nenek keberatan kalau dia sangat jauh dari CV-CV yang biasa nenek berikan pada saya?” tanyanya dengan suara pelan. “Sangat jauh? Yang ada di pikiran Nenek pas kamu mengatakan itu adalah dia jauh dari agama,anak kota sekali? Benar?” Dengan kaku Aydan mengangguk. “Aydan Athallah,liat nenek.” Aydan melakukannya,matanya menatap bagaimana tuanya neneknya sekarang. Mungkin ada waktu dimana Aydan akan mendengarkan berita duka atas nama neneknya suatu hari nanti layaknya Aydan mendengarkan berita duka kedua orangtuanya telah meninggal. “Nak,Jangan tanya nenek tapi tanya hatimu sendiri. Kamu siap membimbing perempuan itu? Kamu mau menjadi kepala keluarganya dan tidak masalah dengan sikapnya? Nenek akan merestui selama kamu menerimanya,Nak. Yang terpenting bagi nenek adalah kamu menerimanya dan siap membimbingnya. Agamanya islam kan?” Aydan dengan cepat mengangguk. “Nah,nenek hanya fokusnya kesana. Selama agamanya islam maka selanjutnya giliran kamu yang membimbingnya kalau memang kamu siap menikahinya. Jangan terlalu lama menggantungkan perempuan,Nak. Nenek tidak suka,” ia berdiri mengambil piring Aydan lalu membawanya ke wastafel. “Kenalnya sudah lama?” pertanyaan Nining kembali terdengar “Hampir setahun,dia duluan yang suka sama saya. Tapi selama 4 bulan ini saya sudah memikirkannya dan jalan keluar yang saya dapatkan hanya satu,Nek. Yaitu menikah,” Nining kembali duduk di tempatnya menatap cucunya dengan sendu,ia tau mana mungkin Aydan mau kemari jika tak punya tujuan lain. liburan semester atau sekedar berkunjung hanya alasan semata,ternyata mau membahas kegaulaunnya tentang perempuan. “Dia cantic?” “Nenek,saya bahasnya bukan itu.” Nining tertawa kecil,”Anak kota setau nenek selalu cantic dan berkelas serta pikirannya yang terbuka. Bisa dikatakan belajar agama dalam versi mereka harus ada alasan utamanya dan jawabannya,tidak seperti kita yang kadang hanya bisa mengatakan wallahualam. Benar bukan? Pasti perempuan yang buat kamu bingung itu selalu mau jawaban yang tepat kan?” dalam hati Aydan membenarkan apa yang neneknya katakan. Callisa selalu mau jawaban setiap kali Aydan membahas agama. “Namanya siapa? Nenek mau liat.” Aydan mengeluarkan ponselnya,seingatnya foto profil pesan Callisa adalah fotonya sendiri dengan wajah polos tanpa make up. Tersenyum kearah kamera dengan pose duduk santai dimeja makan,Aydan hanya melihatnya sekali selebihnya tidak pernah lagi,takut Zina. “Princess Callisa.” Beritahunya sembari menyerahkan ponselnya pada neneknya. Dalam semenit,Aydan memperhatikan ekspresi neneknya. “Masyaallah cantiknya,ternyata tipe kamu yang kayak gini. Senyumannya nular sekali,nenek bisa merasakan dia perempuan ceria dan punya dunianya sendiri,hatinya hangat dan menyenangkan. Bawa kesini sesekali,Nenek mau ketemu dia. Eh jangan,nanti malah jadi fitnah. Nanti kalau nenek ke Jakarta,bawa ketemu sama dia ya,” melihat fotonya saja sudah membuat Nining senang,mana mungkin pilihan Aydan adalah kesalahan. “Tapi Nek,dia anak orang kaya.” Nining tertawa lagi,”Dia menyukaimu?” Aydan mengangguk. “Apa dia pernah mempersalahkan tentang kasta?” Kali ini Aydan menggeleng. “Jangan menggantungkan perempuan terlalu lama. Nenek tidak suka karena nenek juga seorang perempuan,” Memikirkan tentang perempuan memang tiada habisnya,Aydan hanya tersenyum menanggapi ucapan neneknya. “Nenek tidak mempermasalahkan Namanya yang sangat jauh dari islam?” “Kamu ini kenapa sebenarnya,Aydan? islam tidak memberikan syarat bahwa perempuan yang kamu nikahi harus sepenuhnya tau agama. Islam tidak pernah mengatakan Namanya harus ada unsur arab tau Al-Qur’annya. Nama adalah do’a dan bentuk kasih sayang orangtua pada anaknya,kamu mempersalahkan kasih sayangnya orangtua Callisa? Usia kamu sudah 29,Aydan. sudah sangat paham tidak perlu nenek jelaskan Panjang-panjang.” Aydan diam lagi, “Menunda sama saja kamu ragu dengan pilihan kamu sendiri,Allah memang yang menentukan tapi yang memilih akan melaksanakan atau tidak itu tergantung manusia. Seperti mereka diberikan hidayah belajar agama,Allah memang yang menentukannya tapi habis itu? Tergantung si manusia,mau tidak belajar agama? Atau cuman sekedar niat saja endak ada kemajuan. Atau mereka belajar agama pas awalnya setelahnya bosan. Pilihan selalu ada ditangan manusia,hanya saja banyak yang tidak menyadarinya,” Nining rasanya berhadapan dengan para hadirin pengajian lalu mengisi materi,cucunya ini perlu dakwah sepertinya. Tapi jika dipikir kembali,manusia mana yang waras saat sudah berhubungan dengan perasaan? Masih untung cucunya sadar batas agama,kalau tidak? Sudah masuk dosa besar Namanya. “Seperti kamu,Allah memang menentukan kamu tau banyak tentang agama. Tapi selanjutnya kamu yang memilih bukan? Mau jadi ustadz? Pembina? Atau mengabdi pada pesantren? Dan akhirnya kamu memilih menjadi dosen. Semua kiprahnya sama,Allah tidak memberikan kesulitan apapun tanpa adanya iringan kemudahan di belakangnya. Cobaan itu kadang manusia lebihkan,meraka jadinya tidak sadar kalau merekalah yang menjerumuskan dirinya kedalam cobaan itu sendiri.” Menatap cucunya dengan lembut,”Saran nenek,lamar dia segera dan percepat pernikahan. Kalau memang kamu yakin jalan keluarnya adalah pernikahan maka segerakan,niat baik jangan ditunda. 4 bulan sudah sangat cukup untu berpikir.” Nasihatnya dengan lembut,tenang dan sangat menenangkan pikiran Aydan. “Siapa Namanya tadi?” “Princess Callisa.” “Jadikan dia ratu,jika orangtuanya menjadikan dia putri kerajaannya maka kamu harus menjadikan dia ratu istanamu. Jika ratu istana bahagia maka yang lainnya ikut dimudahkan,Nak.” Aydan tersenyum,memeluk neneknya dengan senang. “Beritahu kami kalau kamu siap menghadap keluarganya,lamaran resmi. Saran nenek temui dulu ayahnya dan utarakan niatmu. Keluarga kita tidak pernah mengajari kamu menunda niat baik.” Aydan mengangguk beberapa kali. Bismillah,semoga ini adalah jalan terbaik untuknya juga Callisa. Aamiin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD