Bab 6. Sahabat

1319 Words
# Arga tampak serius menatap ponsel di tangannya. Raut wajahnya terlihat sedikit muram meski saat ini dirinya tengah berada di tengah teman-temannya. Hanya ketika Maura menepuk bahunya, barulah Arga meletakkan ponselnya di atas meja dalam posisi terbalik. “Kau akan merusak suasana kalau seperti itu terus,” sindir Maura. Arga tersenyum. “Bagaimana bisa aku merusak suasana? Bintang utamanya saja belum datang,” balas Arga. Maura tertawa. “Memangnya secantik apa sih wanita yang sudah mampu membuatmu menjadi segalau ini?” tanya Maura. Dia mencoba mengambil ponsel Arga namun dengan cepat Arga segera menyimpan ponselnya ke saku celananya. “Pokoknya cantik dan yang jelas lebih cantik darimu.” Kali ini nada suara Arga terdengar mengejek. Maura malah tertawa keras. “Tapi dia memutuskanmu begitu saja hanya karena kau melarangnya datang ke acara pernikahan saudaranya, itu artinya kau sudah gagal mempertahankan wanita yang kau suka. Kau akan menyesal nanti kalau ternyata dirimu kena tikung pria lain,” ucap Maura. Arga menggeleng pelan. “Kami memang sering seperti ini, nanti saat bertemu lagi dan amarahnya sudah reda, kami akan kembali baik-baik saja,” ucap Arga. “Memang kenapa kau putus dengan wanita yang menjadi kekasihmu itu? Aku tahu kau memang terkadang sering bersikap kekanak-kanakan hanya karena hal kecil. Kau harus tahu, tidak semua perempuan akan tahan dengan sikapmu yang mudah merajuk. Aku saja yang jadi temanmu tidak tahan.” Maura menuangkan minuman ke gelas Arga. Arga terdiam selama beberapa saat. Dia tahu terkadang dirinya memang sering bersikap terlalu kekanak-kanakan dalam hubungan. Namun itu bukan berarti dia tidak serius dengan hubungannya kali ini. “Sebenarnya aku hanya merasa kesal karena dia lebih memilih untuk menghadiri pernikahan saudaranya dibandingkan merayakan ulang tahunnya bersamaku. Aku sudah terlanjur mempersiapkan segalanya untuk melamarnya tepat di hari ulang tahunnya,” ucap Arga. Dia sekarang menyesal karena sempat termakan emosi saat itu sehingga membuatnya akhirnya putus dengan wanita yang sangat dicintainya. “Tuh kan, masalah sepele. Aku tidak akan heran kalau nanti kau benar-benar kehilangan wanita yang kau cintai itu,” ucap Maura. Arga yang kesal mendorong kepala Maura dengan tangan. “Memangnya kau tahu apa? Kau saja tidak bisa bertahan lama dalam satu hubungan. Kalau terus seperti ini malah dirimu yang akan kehilangan peluang untuk menikah sebelum usia tiga puluh tahun,” balas Arga. Lagi-lagi Maura tertawa. “Hei, aku tentu saja tahu karena aku juga wanita. Aku bicara begini karena aku peduli padamu dan Cakra, sahabatku yang berharga,” ucap Maura. “Kau bilang sahabat sedangkan kau tidak datang pada pernikahan Cakra. Padahal Bali dan Jakarta bukan jarak yang terlalu jauh untuk sekedar memberi dukungan pada sahabatmu yang akan mengarungi bahtera rumah tangga,” ucap Arga. “Ck ... kau tidak tahu kalau Cakra akan menikahi nenek sihir! Buat apa aku datang pada pernikahan yang akan membawa kehancuran pada Cakra. Tidak terima kasih. Aku lebih memilih mendoakan Cakra segera bercerai dengan nenek sihir itu. Kau sendiri? Bisa-bisanya kau datang ke Indonesia untuk mengejar kekasihmu tapi kau tidak bisa menghadiri pernikahan Cakra kemarin,” balas Maura. Arga tertawa. Memang benar dia datang ke Indonesia untuk mengejar kekasihnya, tapi masalahnya dia bahkan tidak tahu di mana kekasihnya itu berada sehingga di sinilah dia, terdampar di Bali setelah gagal menemukan tempat tinggal kekasihnya di Jakarta. Satu-satunya yang Arga miliki hanyalah alamat sebuah rumah sederhana di daerah Tebet namun setelah dia mendatangi rumah itu, kenyataannya rumah itu sudah lama kosong dan orang-orang di sekitarnya mengatakan kalau pemilik Rumah itu sedang berada di luar negeri untuk berobat karena sakit. Arga tentu saja sudah mencoba menghubungi kekasihnya berkali-kali tapi masalahnya wanita yang dicintainya itu memblokir nomornya dan semua akses sosial media mereka setelah pertengkaran mereka sebelumnya. Itulah sebabnya Arga sampai melewatkan pernikahan Cakra meski dia juga berada di Jakarta. “Sahabat bisa menunggu tetapi cinta tidak,” ucap Arga sambil bercanda. “Bicara tentang Cakra, sepertinya si pengantin baru sudah datang.” Maura menunjuk ke arah sosok Cakra yang melangkah ke arah mereka. Maura mengangkat tangannya dan melambai sambil memanggil nama Cakra untuk membuat Cakra menyadari di mana dirinya dan Arga berada. Cakra menyapa beberapa kenalannya yang lain sebelum akhirnya melangkah ke arah tempat Maura dan Arga berada. “Aku benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri, bagaimana bisa aku masih berteman baik dengan kalian berdua sedangkan kalian sama sekali tidak muncul di pernikahanku,” ucap Cakra. Maura memutar matanya mendengar ucapan Cakra. “Oh ya, bicara tentang pernikahan, mana Nyonya muda Adhiatma? Jangan bilang kau meninggalkan si nenek sihir Fenny di hotel,” ucap Maura. Arga menyikut Maura untuk membuatnya berhenti menyindir. “Abaikan dia, selamat untuk pernikahanmu,” ucap Arga akhirnya. Dia menepuk punggung Cakra pelan. Cakra hanya tertawa pelan. “Thank’s Ar,” ucap Cakra. Dia kemudian duduk di salah satu tempat kosong bersama dengan Arga dan Maura. “Sayangnya aku tidak menikah dengan Fenny,” lanjut Cakra. Dia menuang minuman untuk dirinya sendiri dan meneguknya cepat. Sementara itu Arga dan Maura saling berpandangan mendengar apa yang di ucapkan oleh Cakra. Sebagai teman lama Cakra, mereka berdua bisa langsung tahu kalau saat ini ada sesuatu yang salah dengan dengan sahabat mereka itu. “Jangan bilang kau tidak jadi menikah? Pantas saja tidak ada berita heboh tentang pernikahanmu di media,” ucap Maura. Cakra kembali tertawa. “Aku jadi menikah kok. Hanya saja ada beberapa hal yang terjadi dan memang sengaja di tutupi agar tidak membuat heboh,” ucap Cakra. Arga mengerutkan dahinya. Dia langsung teringat dengan kalimat Maura yang mengutuk Cakra untuk segera bercerai. “Jangan bilang kalau dirimu langsung menceraikan istrimu begitu menikah? Itu akan sangat kejam untuk seorang wanita sekalipun dia wanita yang buruk seperti yang dikatakan oleh Maura tadi,” tebak Arga. Cakra mendesah pelan sambil tersenyum. Wajahnya tetap terlihat tenang. “Tentu saja tidak. Mamaku bisa pingsan karena serangan jantung kalau itu terjadi. Aku hanya tidak jadi menikah dengan Fenny. Dia membatalkan pernikahan kami hanya selang tiga hari sebelum hari H. Dia berselingkuh dariku dan lebih parah lagi, dia memilih selingkuhannya,” lanjut Cakra. Dia mungkin terlihat biasa saja namun kilat di matanya jelas menunjukkan kalau tersimpan kemarahan yang besar atas perbuatan Fenny. Maura tertegun mendengar itu. Dia sudah lama tahu kalau Fenny memang berselingkuh di belakang Cakra, namun dia memilih diam karena dalam penilaiannya Cakra tidak akan pernah percaya kalau dia mengatakannya. Kali ini tatapan Maura menjadi serius. “Jadi siapa wanita malang yang akhirnya kau nikahi?” tanya Maura. Cakra memutar gelas bekas minumannya di atas meja dengan senyum merekah. “Keluarganya menawarkan adik perempuan Fenny sebagai gantinya dibanding harus mengembalikan semua mahar serta mas kawin yang aku dan keluargaku berikan. Bukan tawaran yang buruk sih karena adiknya juga cantik meski tidak secantik Fenny dan mengingat mereka saudara kandung, dia pasti sama serakahnya dengan keluarganya,” ucap Cakra. Maura menarik napas panjang. “Seharusnya kau membatalkan saja pernikahan itu. Menikahi perempuan yang bahkan tidak kau sukai sama saja menyiksa diri sendiri. Kau yakin kalau dirimu baik-baik saja?” tanya Maura sekali lagi. Dia terlihat khawatir dengan Cakra, bagaimanapun mereka sudah lama menjadi teman. Cakra tertawa. “Lebih dari baik sebenarnya. Pernikahanku tidak seburuk yang kau pikirkan. Aku mungkin bukan pria pertama untuk Fenny Wiratama, tapi aku adalah pria pertama untuk adiknya yang kunikahi. Aku mungkin kehilangan wanita yang kucintai tapi malam pertamaku bersama Kaluna Wiratama setidaknya setimpal dengan semua kerugian yang disebabkan Fenny,” ucap Cakra. Saat Cakra mengatakan nama istrinya, gelas di tangan Arga meluncur jatuh dan membuat semua orang kini menengok ke arah mereka. Bahkan Cakra dan Maura kini menatap heran ke arah Arga yang tampak tertegun dengan wajah yang syok. “Nama istrimu siapa?” tanya Arga. Nada suaranya terdengar bergetar. Matanya memerah menatap Cakra. “Kaluna Wiratama,” jawab Cakra. Suasana menjadi hening untuk seketika setelah Cakra kembali mengulang nama wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya itu. “Arga, apa kau mengenal Kaluna Wiratama?” Kini Cakra yang bertanya. Sementara itu Maura yang mulai merasakan ketegangan di antara kedua sahabatnya hanya bisa terdiam. Berharap kalau semua tebakan dan kekhawatirannya salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD