Bab 5. Pengantin Yang Tidak Beruntung 2

1489 Words
# Luna yang masih remaja kini berlutut di depan ibu tirinya dan juga ayah kandungnya. “Aku mohon, selamatkan Mamaku. Aku akan melakukan apa saja asal Papa menyelamatkan Mamaku,” ucap Luna sambil menangis. Nyonya Wiratama menggigit bibirnya pelan dan memalingkan wajah dari Luna sementara Tuan Wiratama, sang ayah tampak menunduk serba salah. Luna merangkak pelan dan meraih kaki ibu tirinya, Nyonya Wiratama “Aku mohon Tante. Kali ini saja tolonglah Mamaku. Aku janji akan melakukan apa pun yang Tante inginkan dan aku janji seumur hidupku kalau aku tidak akan pernah meminta apa-apa lagi pada Tante dan Papa,” ucap Luna sambil terus memohon. Dia tahu pasti kalau ibu tirinya tidak menyukainya dan dia juga bisa merasakan kalau rasa sayang ayahnya tidak pernah untuk dirinya. Bagaimanapun dia hanya anak dari wanita yang pernah menjadi simpanan sang ayah. Dirinya tidak akan pernah diakui dalam keluarga ini. Hanya saja Luna tidak memiliki cara lain lagi. Ibunya membutuhkan perawatan dan dia tidak tahu pada siapa lagi dia bisa mengharapkan belas kasihan selain kepada ayah kandungnya dan ibu tirinya meskipun dia tahu kalau dia dan ibunya jelas-jelas dibenci. Nyonya Wiratama akhirnya menatap Luna. “Aku tidak akan keberatan untuk menolong wanita itu jika kau mengirim anak ini dan wanita itu ke luar negeri. Aku tidak ingin melihat mereka berada di sekitar kita, apalagi di sekitarmu dan anak-anak kita,” ucap Nyonya Wiratama pada suaminya. “Papa belum tentu setuju. Bagaimanapun Papa menganggap Luna sebagai cucunya juga,” ucap Tuan Wiratama. Nyonya Wiratama berdiri dan menendang tubuh kurus Luna hingga terjungkal. “Kalau begitu biarkan saja w************n itu mati karena penyakitnya!” ucap Nyonya Wiratama dengan nada tinggi. Luna yang mendengar ucapan ibu tirinya, kembali merangkak dan berlutut sambil memeluk kaki ibu tirinya dan menangis. Dia mengabaikan rasa sakit yang diterimanya dari ibu tirinya. Kakeknya memang menyayanginya tapi bahkan kakeknya membenci ibunya karena dianggap sebagai wanita yang menggoda sang ayah yang sudah berkeluarga sehingga mustahil Kakeknya akan membantu ibunya yang sedang sekarat. Satu-satunya harapan yang Luna miliki hanyalah ibu tirinya sekarang. Karena ayahnya hanya akan membantu kalau ibu tirinya mengizinkan. “Aku mohon Tante. Aku akan membujuk Kakek agar membiarkanku pergi dari rumah ini. Tolonglah Mamaku,” ucap Luna. Tuan Wiratama menarik napas panjang melihat hal itu. Meski begitu dia kembali diam. Nyonya Wiratama kembali menatap Luna sekarang. Dia sudah lama ingin menyingkirkan Luna dari jangkauan pandangannya dan mungkin ini adalah waktu yang tepat. “Pengobatan di Malaysia tidak seberapa mahal, begitu juga pendidikan di sana. Kau tinggal mengirim wanita itu dan Luna ke sana, dengan begitu aku tidak perlu melihat atau mendengar tentang mereka lagi,” ucap Nyonya Wiratama dengan nada sinis. * Luna membuka matanya perlahan ketika cahaya senja mulai meredup. Dia mengingat kembali masa lalu ketika dirinya datang ke rumah keluarga Wiratama dan memohon kepada ayahnya untuk menolong ibu kandungnya yang sakit keras. Langit dan laut di luar jendela sudah tampak memerah diwarnai oleh matahari yang terbenam. Hanya tinggal menunggu waktu baginya bersiap untuk makan malam. Luna tahu kalau dirinya harus segera terbiasa dengan keadaannya sekarang. Keadaan di mana dirinya tidak hanya menjadi pengantin pengganti untuk Fenny tapi juga seorang istri yang harus selalu melayani suaminya, Cakra setiap kali pria itu meminta. Sayangnya Luna merasa seakan dia telah kehilangan dirinya sendiri. Dia bahkan tidak begitu ingat bagaimana perjalanan dari hotel di Jakarta, bandara hingga akhirnya mereka tiba di Bali dan sekali lagi Cakra mengulangi semua yang dia lakukan sebelumnya. Merasa sesak, Luna merasa seakan tidak ada ruang tersisa untuk dirinya sendiri dalam hidupnya saat ini. Yang terbaik yang bisa dilakukannya hanya memeluk tubuh telanjangnya di balik selimut sambil menahan air mata yang terus membasahi pipinya. Berharap kalau semua yang sudah terjadi kepadanya hanya mimpi dan ketika dia bangun, setidaknya dia berada di tempat berbeda. Hanya saja, gaunnya yang robek, pakaian dalamnya yang tidak lagi berbentuk dan sepatu yang dia kenakan saat datang tadi, kini terlempar ke berbagai arah. Bola mata Luna semakin dalam dan memerah menahan luka saat dia melihat pakaiannya yang berserakan di lantai kamar. Itu adalah tanda kalau semua yang dia alami nyata selain tubuhnya yang terasa sakit. “Kau sudah bangun?” Suara Cakra terdengar, membuat Luna merasakan tubuhnya gemetar hanya dengan mendengar suara pria yang sebenarnya adalah suaminya itu. Meski begitu Luna mencoba mengumpulkan segenap kemampuannya untuk memberi jawaban pada Cakra. “Aku masih ingin tidur,” jawab Luna dengan suara pelan. Sekilas Luna terlihat tenang dengan perlakuan buruk Cakra yang diterimanya. Kesedihan yang dia rasakan seakan mengalir pelan seperti gelombang laut yang pada akhirnya memudar menjadi buih putih. Cakra mendekat dan mengulurkan tangannya menyentuh dahi Luna. “Apa kau sakit?” tanyanya. Tangannya bisa merasakan kalau suhu tubuh istrinya sedikit lebih hangat. Hanya sampai kemarin malam, wanita yang dinikahinya itu adalah seorang perawan dan mereka menghabiskan malam yang panas begitu tiba di Bali. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Cakra meski dia tahu kalau dibanding menikmati bulan madu mereka, Luna lebih terlihat seperti pasrah atau mungkin putus asa. Setelah malam ini, tidak ada jalan bagi Luna untuk meninggalkannya. Bahkan ketika Fenny kembali, Luna tidak akan memiliki banyak pilihan kecuali terus berada di sisinya dan memohon cintanya. Dengan demikian, Fenny akan menyesali telah melepaskan dirinya untuk menikah dengan saudara perempuannya sendiri yang sekarang menjadi istri sah Cakra. “Sepertinya kau demam,” ucap Cakra. Tapi Luna menggeleng pelan. “Aku hanya merasa lelah. Kau tidak membiarkanku untuk tidur atau beristirahat dengan benar sejak kemarin,” ucap Luna dengan suara yang semakin serak. Cakra tertawa. “Apa semua itu terlalu berlebihan untuk Nyonya muda keluarga Adhiatma?” tanya Cakra. Tangannya menelusuri bahu telanjang Luna yang sedikit menyembul dari balik selimut. Luna tidak menjawab. Cakra menekan bahu Luna hingga akhirnya Luna sedikit meringis. “Bahkan setelah tidur denganmu, kurasa kau masih tidak bisa dibandingkan dengan Fenny,” ucap Cakra. Luna menatap Cakra dingin. “Apa maksudmu?” tanya Luna. “Maksudku, aku mungkin akan memiliki wanita lain selain dirimu. Kau tidak bisa menjadi satu-satunya untukku karena aku saja tidak merasa memiliki perasaan spesial kepadamu meskipun kita sudah menghabiskan dua malam yang menyenangkan bersama. Jadi jangan sampai kau mengandung anakku. Aku tidak akan pernah ingin memiliki anak dari wanita yang tidak kucintai,” ucap Cakra. Luna mengerjap menatap Cakra. Jika ingin jujur, dia juga tidak berharap akan mengandung anak dari pria yang bahkan tidak dicintainya. Tapi dalam hal ini bukan dia yang memaksa untuk melakukan semua ini dan bukan dirinya juga yang dengan ceroboh menumpahkan benih ke dalam rahimnya dengan sembarangan. “Kalau tidak ingin, seharusnya kau tidak melakukannya,” ucap Luna. Cakra menatap Luna. “Oh, memangnya kau ingin mengandung anakku? Anak dari suami yang terpaksa kau nikahi dan tidak kau cintai?” ucap Cakra dengan nada mengejek. Dia mendekatkan wajahnya hingga rambutnya yang basah kini nyaris menyentuh wajah Luna. “Tidak. Aku tidak mau,” ucap Luna pelan. Raut wajah Cakra berubah mendengar jawaban Luna. Dia merasa kesal tanpa alasan. Meski begitu, dia menekan perasaannya sendiri. Menolak untuk menunjukkannya pada Luna. “Baguslah, kita sepakat kalau begitu,” ucap Cakra. Cakra meraih pakaiannya dan mengenakannya. “Aku akan keluar untuk makan dan bertemu beberapa teman, kau bisa mengurus dirimu sendiri kan? Kalau lapar, kau bisa memesan makanan dari hotel atau menggunakan kartu ini untuk makan di luar. Selain itu, jangan menghubungiku kalau tidak penting,” ucap Cakra. Luna memejamkan matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya dia berhasil mengumpulkan keberanian untuk berbicara kepada Cakra. “Ayo bercerai,” ucap Luna. Dia tidak bisa membiarkan dirinya digunakan oleh Cakra sebagai pelampiasan kemarahan pria itu kepada Fenny. Ini semua bahkan bukan kesalahannya. Perlahan Luna memaksa dirinya untuk duduk sambil tetap bergelung di balik selimut. “Aku akan menganggap semua ini tidak pernah terjadi. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan dan aku sudah melakukan kewajibanku sebagai anggota keluarga Wiratama,” ucap Luna. Cakra yang baru akan meraih pegangan pintu kini mengurungkan niatnya. “Sayangnya kau bukan anggota keluarga Wiratama lagi sekarang, tapi anggota keluarga Adhiatma. Kau adalah istriku. Kita akan bercerai kalau aku menginginkannya, bukan karena kau menginginkannya,” ucap Cakra. Dia kemudian memutuskan untuk berlalu dari kamar itu meninggalkan Luna sendirian. Cakra merasa kalau apa yang dikatakan Luna barusan adalah sebuah keinginan yang disengaja untuk menunjukkan kalau Luna sama sekali tidak peduli tentang pernikahan mereka, sementara bagi Luna sendiri, itu adalah sebuah keinginan putus asa yang sia-sia. Setelah Cakra pergi, Luna berbaring diam menghadap jendela kamarnya. Matanya menatap sayu ke luar jendela, menyaksikan matahari terbenar sambil semakin menenggelamkan dirinya ke dalam selimut dengan tubuh yang terasa penat. Kalau bisa, dia ingin bisa terus tidur tanpa pernah terbangun lagi. Luna pernah bersumpah kalau dia tidak ingin mengikuti jejak ibunya yang jatuh cinta kepada ayahnya. Dia akan menikah dengan orang yang juga mencintainya dan mengutamakan dirinya dan menjadi pengantin yang bahagia. Sayang, kenyataannya sekarang nasibnya tidak lebih baik dari ibunya. Dia tidak hanya menikah dengan tunangan saudara tirinya tapi juga menjadi pengantin baru yang tidak beruntung karena hanya menjadi pelampiasan kemarahan pria yang menikahinya untuk kesalahan yang bahkan tidak pernah dia perbuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD