Para(h)s**t

1649 Words
Hp gue bergetar dan mengeluarkan suara nyaring tanda ada telpon, bergegas gue mencari sumber suara. Hp yang sejak tadi teronggok di bawah bantal karna gue tinggal nyupir. Nyuci Piring. "Assalamu'alaikum, Selamat Pagi. Ada yang bisa dibantu?" Bukannya jawaban dari salam gue yang terdengar, malah kekehan seperti menahan tawa dari seberang sana. "Hallo di sini ada yang ngucap salam loh, bukannya dijawab." "Iya iya, wa'alaikumsalam. Selamat pagi juga. Tolong bantu sampaikan kalau Saya kangen dengan pacar Saya." Ucap orang di seberang sana yang gue yakin kalian sudah tahu siapa yang menelpon gue di pagi buta ini dengan mengucapkan kalimat yang mengandung uwwuuu. "Dasar kang gombal." Cibir gue, padahal sambil cengar-cengir untung di telpon bukan video call. "Haha.. Lagi ngapain?" "Baru selesai nyuci piring. Ngape pepagi dah nelpon? Di hari minggu yang mega mendung ini tumben-tumbenan udah sadar? Biasanya masih molor." Cela gue mengingat hobinya Bang Sul, tidur, kayak gak ada keinginan buat bangun lagi. Bang Sul terkekeh lagi. "Abang mau ngajakin ibu jalan-jalan ke taman Paradise. Ikut gak?" Gue berpikir sebentar, ikut tidak ya? Gue menengok ke arah jam dinding baru menunjukkan pukul 06.45. "Jam berapa perginya?" "Jam 8 lah." "Gile Lu bang. Mau bantuin orang tamannya buka gerbang atau gimana?" Tanya gue. Gila bener itu mau ke taman buat jalan-jalan atau mau bantu nyapu-nyapu dulu? "Haha, kan mau jemput Kamu dulu. Ke sana juga sekitar 40 menitan. Jadinya paslah." Wait jemput? Oh No. Kalau jemput berarti Ibu mampir ke sini dulu kan? Wah gawat bisa heboh kampung ini nanti gara - gara kehebohan Emak gue karena kedatangan calon besan. Gue gak bisa bayangin, gue belum siap ey. "Perginya pakai mobil, rame-rame sama Mbak Santi juga sama anak-anaknya." Gue menghembuskan napas berat. "Aku aja deh yang ke rumah Abang. Sekalian mau bawa motor jalan. Udah lama di rumah aja, entar rusak lagi." Elak gue biar gak ada adegan jemput menjemput. Sumpah gue belum siap mempertemukan emak gue dan Ibunya Bang Sul. Gak siap aja pokoknya. Belum siap. "Ya elah motor aja mulu diajak jalan. Pacarnya kapan Neng?" "Eh tolong lah ya situ yang sibuk. Cibir gue mengingat seminggu ini kami belum ada bertemu. Biasanya tanpa terduga Bang Sul akan mampir ke rumah sepulang kerja cuma sekedar buat nengok gue sambil ngantar cemilan. Katanya takut dia kekurang asupan yang manis-manis kalau jarang ngelihat gue. Sa ae Lu bwang. Padahal kadang video call juga walau juga kadang gak gue angkat karena malas. "Maaf. Kemarin tutup buku bulanan jadi agak sibuk." Alasannya, gue ngerti sih apalagi sekarang ada Ibu di rumahnya, masa ia dia biarin Ibu sendirian di rumah padahal jarang ketemu. "Oke, dimaafkan tapi traktir mango float ya?" Kok gue ngerasa segampang itu ya? Kok cuma minta mango float doang. "Gampang. Abang beliin sampe Kamu kembung." Katanya membuat gue mencebik. "Sama ayam goreng juga." "Oke." Jawabnya membuat gue tersenyum sumringah. Udah awal bulan gini biasanya Bang Sul udah gajian. Haha sesekali malak gak apa-apalah yah. "Aku mandi dulu deh kalau gitu mau siap - siap." "Gak usah buru - buru. Bawa motor jangan gaya - gayaan jadi pembalap. Kalau otw kasih kabar." Pesannya sepanjang jalan kenangan. "Iya, oke bos." Jawab gue dengan nada ceria walau sebenarnya sedang mencibir. *** Jam hampir menunjukkan pukul 9 pagi saat gue memarkirkan motor di depan rumah Bang Sul. Di hari minggu yang mulai cerah ini Bang Sul mengajak gue ikut bergabung dengan acara jalan-jalan keluarganya. "Assalamu'alaikum." Gue mengucap salam sembari melepaskan sepatu hendak masuk ke dalam rumah yang pintunya sudah terbuka lebar tidak seperti biasanya. "Wa'alaikumsalam." Ibu langsung ke luar menyambut kedatang gue. "Ayo masuk," ajaknya sembari merangkul punggungku akrab usai aku menyalaminya. "Mas Mu ini loh, mau ngajakin Ibu jalan - jalan katanya kasihan ngelihat Ibu di sini gak ke mana-mana," jelasnya lagi membuat gue cuma tersenyum canggung sambil mengiyakan. Sejujurnya gue belum merasa terlalu nyaman, deg-degan nya itu loh kagak nahan. "Iya Bu. Maaf ya Yaya jarang main ke sini," ucap gue basa basi, sebenarnya gak enak sih tapi mau gimana lagi, bukannya gue sok sibuk tapi gue mesti jagain ponakan gue selagi orang tuanya sibuk mencari nafkah. "Gak apa-apa Ibu ngerti Kamu juga ada kerjaan." Ibu mengelus punggung gue lembut, enak bener Ya Allah kalau beneran nantinya jadi mertua, baik banget ey. "Nenek," teriak lantang seorang anak laki-laki yang berlari langsung memeluk kaki Ibu. "Gendong," rengeknya. "Baim." Mbak Santi yang baru saja muncul dari luar pintu memelototkan matanya. "Udah gede jangan minta minta gendong Nenek. Kamu udah berat." Lanjutnya. Baim, bocah imut anak pertama Mbak Santi. Bocah berumur hampir 6 tahun itu terus merengek minta digendong. "Ya udah sini." Ibu mengangkat tubuh gembul Baim. "Turunin aja Nek. Nanti keseringan. Baim turun nanti kita gak jadi pergi kalau Baim minta gendong terus," ancam Mbak Santi sambil menggendong Kayla anak bungsunya, yang super imut. Tiiinn Suara klakson mobil terdengar. "Nah itu Malik. Ibu ambil tas dulu." Ibu masuk ke kamarnya sementara gue membantu Mbak Santi membawa perbekalan kami. "Mas Malik darimana?" Tanya gue pada Mbak Santi. "Isi angin. Tadi pagi bannya kempes, untung masih bisa dibawa tadi." Gue ber Oh ria pantes dari tadi gak kelihatan. "Gimana? Gak bocorkan?" Tanya Mbak Santi. "Gak kok Mbak, cuma kurang angin aja." Enggak bukan. Itu bukan Bang Sul yang menjawab melainkan manusia yang sebenarnya gak pengen gue temuin, manusia paling gue hindari keberadaannya. Siapa lagi kalau bukan si Laras yang sudah duduk anteng di kursi samping kemudi. Dia bahkan gak turun hanya menurunkan kaca jendela. Bang Sul keluar dari mobil membantu gue membawa barang yang akan dibawa. "Udah lama datangnya?" Tanya Bang Sul. Gue menggeleng. "Baru kok," jawab gue. Sebenarnya gemes pengen nanya kenapa makhluk itu bisa sudah ada di mobil. Roman-romannya dia ikut Bang Sul isi angin. Bang Sul mengelus kepala gue lembut. "Eh pagi-pagi udah mesra-mesraan, pada jomblo ini," ucap Ibu tersenyum jahil. "Upsss." Bang Sul terkekeh. Sengaja gue melirik ke arah mobil melihat ekspresi muka manusia yang hatinya rusak karena iri dan dengki. "Ibu gak apa-apakan duduk di belakang? Laras agak mual soalny kalau naik mobil gak duduk di depan." Ibu melirik ke gue sebentar sebelum menjawab ucapan manusia yang sebenarnya amat sangat gak pengen gue sebut namanya. Gimana enggak dari awal ketemu dia seperti sudah mengeluarkan hawa - hawa ngajakin war sama gue. "Ibu sih gak masalah." "Maaf ya Bu. Gak enakkan sampai sana malah mabok." Ingin rasanya gue teriakin di mukanya 'Modus Lo Bangke'. Lagian sekalian aja noh duduk di kap depan mobil sekalian biar sepoy-sepoy ditiup angin dijamin gak mabok, tapi gak kejamin keselamatan. Akhirnya beginilah formasi kami. Bang Sul duduk di depan karena setir mobilnya di depan tentunya, bersama dengan makhluk jadi-jadian. Ibu dan Mbak Santi di tengah jadilah gue memilih duduk paling belakang bersama Baim, walaupun tadi ibu mengajak gue untuk duduk di tengah tapi gue lebih memilih duduk di belakang. Jengkel banget sumpeh melihat muka jumawa dan sok menang dari makhluk itu. Ya Gusti semoga hamba gak hilaf nyakar mukanya soalny udah potong kuku kan sayang kalau gue cakar tapi gak berbekas. Gue melihat ke luar jendela menikmati pemandangan di jalan daripada gue mesti ngelihat ke depan ke arah manusia sok akrab yang sekarang asik mengobrol dengan Bang Sul dan sesekali ditimpali oleh Ibu maupun Mbak Santi. "Kayla," seru gue sambil ciluk bah ke arah gadis kecil yang memang berdiri menghadap ke arah gue. Kayla tertawa renyah menggapai-gapai wajah gue. "Apa Kayla, mau digendong sama Kakak?" Tanya gue dan gadis kecil berusia setahunan itu menjulurkan tangannya lebih jauh minta agar gue mengambilnya. Dan beginilah akhirnya, sampai kami tiba di tamanpun Kayla masih tetap anteng dan gak mau turun dari gendongan gue. Setelah gak sampai setengah jam kami berkeliling bersama akhirnya Bang Sul mengajak kami ke sebuah Pendopo yang menghadap ke arah kebun bunga dan danau penuh ikan Koi dan Nila. "Mbak boleh titip Kayla gak ya? Ini Baim dari tadi ngerengek mau naik sepeda listrik." Mbak Santi meminta bantuan, sepertinya punya dua orang anak yang sedang aktif - aktifnya membuat Mbak Santi kewalahan. "Mbak temenin Baim aja, biar Kayla sama Kita." Wait-wait bukan, bukan gue atau pun Bang Sul yang menjawab tapi mahkluk jadi - jadian itu. Sok baik banget padahal jelas dari tadi gue yang gendong Kayla, dia mah cuma kayak benalu yang kerjaannya cuma nempel sama Bang Sul. Sementara Mbak Santi pergi ke tempat peminjaman sepeda dan Ibu lebih memilih duduk di pendopo, katanya capek. Bang Sul mengajak gue keliling tapi yah mau gimana ya yang namanya benalu yah tetap benalu udah kayak lintah nempel terus gak mau lepas. Walau gue gak enak ninggalin ibu sendirian tapi ibu bersikeras bilang kalau dia gak apa-apa tinggal sendiri. Gue sih sebenarnya mau-mau aja di Pendopo aja bareng Ibu tapi gimana gue gak bisa biarin ular ini berduaan sama pacar gue. Sebenarnya berat juga sih gendong anak sambil keliling tapi mau gimana lagi Kayla gak mau digendong Bang Sul apalagi sundel satu itu. Lihatkan masih kecil aja Kayla sudah bisa membedakan mana manusia mana sundel. Gue mengeluarkan HP hendak Berfoto bersama Kayla. Sebel aja gitu dari tadi kami jalan tapi seolah si Sundel itu yang pacarnya Bang Sul dan gue cuma babunya. Gimana enggak gue cuma mengekor di belakang mereka sementara tu sundel selalu menggandeng lengan Bang Sul dan yang digandeng merasa biasa saja. Sumpah pengen gue lempar mereka berdua. "Mau foto? Sini Abang fotoin." Belum lagi gue mengulurkan HP si sundel itu sudah lebih dulu berteriak heboh dan menarik Bang Sul. "Ayok, fotoin Gue di situ. Gue pengen masuk labirin," katanya sembari menarik Bang Sul menjauh dari gue membuat tangan gue yang hendak memberikan HP tadi menggantung bebas. Bisa gue lihat tampang sok menangnya saat Bang Sul manut aja mengikuti tarikan tangannya. "Kayla kalau sudah gede nanti jangan jadi Sundel Bolong kayak gitu ya. Mukanya aja yang cantik tapi hatinya busuk ya. Dan kalau ketemu manusia kayak gitu dijambak aja. Halal kok," terang gue sedikit "meracuni" Kayla supaya kelak dia tidak menjadi manusia sejenis dengan si Laras Sundel. Ok fix mulai saat ini dia gue beri gelar titisan dedemit
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD