Gue celingukan sendiri sudah kayak anak hilang. Bang Sul dan Dedemit itu entah ke mana perginya.
"Kay, makasih loh ya. Untung ada Kayla kalau tadi Kakak cuma sendirian mending Kakak pulang naik angkot," ucap gue bermonolog.
Namun sesaat kemudian gue menggeleng, teringat kalau jarak taman ini ke jalan raya cukup jauh. Lumayan kalau jalan bisa gede betis.
Sebenarnya gue pengen ngumpat kesel, tapi gak baikkan mengatakan hal-hal jelek di depan anak-anak nanti mereka niru bagimane? Daripada gue kesel sendiri lebih baik gue keliling sembari mencari spot yang bagus untuk berfoto sementara itu Bang Sul sama sekali gak kelihatan. Boro-boro mau nyariin gue, nelpon aja kagak. Gak inget kali dia kalau gue ikut atau dalam pikirannya gue ini cuma babysitter buat jagain keponakannya kali ya.
Gue menurunkan Kayla di sekitaran jalan yang rindang seperti sebuah lorong dengan penuh pohon yang gue gak tahu namanya apa, tapi di sini sejuk banget dan sepanjang jalan ada bermacam-macam patung binatang, walau yaaah bentuk mukanya terkadang ada yang lucu sampai terlihat menyeramkan.
"Kayla berdiri di sini, bentar ya biar Kakak foto," ucap gue mengarahkan Kayla. Ini bocah biar kate masih kecil udah sadar sesadar-sadarnya sama kamera, mana udah pinter gaya-gayaan lagi.
"Wih ada monyet, foto monyet." Gue menoleh ke arah suara, suara yang sudah gue kenal banget.
"Bangke," hardik gue kemudian menggendong Kayla kembali.
"Baru sebentar gak ketemu udah punya anak aja Lo." Apa gue beneran udah kelihatan kayak emak-emak ya kalau gendong bocil begini?
"Hebatkan Gue? Lo yang tunangan Gue yang punya anak duluan," ucap gue sebelum akhirnya mengetuk-ngetuk kecil kepala sambil mengucap kata amit-amit berulang-ulang.
Dia tertawa sampai lemak di perutnya terlihat bergoyang. Kenalin manusia berbadan bongsor ini teman gue jaman kuliah dulu, namanya Riko. Bisa dibilang kami akrab banget waktu kuliah dulu, tapi jangan salah kira ya kami cuma pure temenan. FYI dia sekarang sudah tunangan dan gue juga kenal sama calon istrinya. Dengar-dengar sih mereka akan melangsungkan pernikahan tahun ini.
"Sendirian aja Neng?"
"Eh mata Lo silau sampe bocil segede ini gak kelihatan?"
Dia tertawa lagi, maklum dia emang sereceh itu. Tangan Kayla menggapai-gapai seolah minta digendong sama teman gue.
"Kayla mau digendong sama Oom gendut?" Tanya gue membuat Riko berdecak sebal dengan ucapan gue yang sering mengatai dia gendut, lah bagimane emang fakta.
"Ini Gue udah mulai diet," ucapnya sambil menepuk lemak diperutnya.
"Biar muat ya kebayanya?" Ejek gue sambil cekikikan.
"k*****t emang," hardiknya yang langsung gue pelototi. Seenak jidatnya aja ngomong depan anak kecil.
"Lah kan Lo sendiri yang bilang kalau k*****t itu sejenis kelelawar, jadi gak apa-apa dong," belanya. Lah bener juga gue biasanya kalau keceplosan bilang k*****t pasti langsung bilang kalau k*****t itu sejenis kelelawar gitu.
"Iye, iye. Ni gendong." Gue menyerahkan Kayla ke dalam gendongan Riko.
"Anak Lo beneran ni?" Tanya nya yang langsung gue hadiahi bogeman di lengan kanannya.
"Mantep bener Gue, baru lulus setahun anak Gue udah segede ini."
"Yah kirain gitukan," katanya kemudian tertawa lagi sampai perutnya bergoyang membuat Kayla tertawa senang karena tubuhnya ikut bergoyang.
"Ni serius nih Gue nanya. Lo keliling sendiri ni? Ngenes amat."
Nah loh ni orang aja ngatain gue ngenes. Tapi emang ngenes sih, punya pacar tapi lebih perhatian sama temannya daripada sama pacarnya.
"Tolong pertanyaannya dikondisikan. Saya sedang dalam fase ingin menelan orang."
"Widiih, PMS Lo?" Ceplosnya membuat gue memandangnya dengan pandangan malas.
"Lo jangan ngatain orang aja ya, Anda juga jalan sendirian ya," bela gue.
"Gue ke sini sama emak sama sepupu Gue. Mau piknik mereka, Gue mah cuma dijadiin sopir doang."
"Icha gak ikut?" Tanya gue. Icha itu tunangannya Riko ya.
"Pulkam dia. Dateng ya, tanggal 15 bulan depan Gue resepsi."
Gue menadahkan tangan. "Undangannya mana woy? Masa Gue cuma diundang pake omongan doang."
"Yah nantilah woy Gue anterin, masih tiga minggu lagi juga."
"Eh tapi Gue nanya serius ni. Lo ke sini sama siapa?" Tanyanya lagi berhubung gue emang belum menjawab pertanyaannya tadi.
"Sama keluarga pacar Gue."
Riko tertegun, "Jangan bilang ini anak pacar Lo?"
"Lo mau Gue bogem lagi?" Gue mengacungkan kepalan tangan ke hadapannya.
"Ini keponakannya."
Dia mangut-mangut sok ngerti. "Lah terus pacar Lo mana? Kok bisa Lo kayak anak ilang?"
"Lagi mojok kali sama..," gue membuat tanda kutip dengan kedua tangan gue, "Selingkuhannya."
"Wah serius Lo? Mana pacar Lo? Biar Gue pecahin palanya."
"Woy kalem bos, ngeri amat omongan Lo."
"Lo lagi becanda atau serius ni? Kalau beneran Gue pecahin betul palanya, kan badan Gue gede. Tapi kalau pacar Lo letoy sih," candanya horor sumpah.
"Lagak Lo ndut." Wait jangan dianggap serius ya omongannya si Riko endut, dia emang suka gede koar doang kayak badannya.
"Jadi?"
"Biasa yang kayak di sinetron-sinetron itu loh. Sahabatnya pacar, terus sok nguasain."
Riko cuma mangut-mangut males kali ya dengar drama kayak begini.
"Yah udahlah daripada Lo galau mending Kita naik itu." Gue mengikuti arah tangan Riko yang sedang menunjuk ke
bebek-bebekan di tengah danau.
"Bayarin." Gue nyengir, gak mau keluar duit.
"Iye gue traktir dah, untung gue baek," pujinya pada diri sendiri.
"Yah gue kan pengangguran. Mana punya duit gue. Tipis."
"Iya iya gak usah dijelasin. Ngenes gue dengernya." Kan apa gue bilang disetiap koarnya selalu ada kata ngenes di dalamnya.
Kami sedang mengantri sampai gue sadar kalau ada bocil diantara kami. Lah emang boleh ini bocah ikut naik?
"Ko. Ini bocil boleh ikut naik kagak ya?"
Riko menoleh ke belakang, ke arah gue yang mengantri di belakang badan gembulnya.
"Ya bolehlah. Tu ada pelampung buat anak-anak." Tunjuknya ke arah sungai di mana ada sepasang suami istri beserta anaknya naik bebek-bebekan.
Sesampainya di antrian kami, gue lekas memasang pelampung serta membantu Kayla memakai pelampungnya. Bocah cantik ini terlihat begitu antusias bahkan dia tidak berhenti tersenyum sambil menunjuk-nunjuk bebek-bebekan berwarna kuning yang akan kami naiki.
"Anaknya dipegang yang benar ya Bu. Hati-hati jangan sampai dilepas," ucap petugas wahana bebek-bebekan ini membuat gue dan Riko saling pandang.
"Bu anak Kita dipegang yang benar ya," Sontak gue melotot ke arah Riko bangke emang.
"Kayuh aja gak usah banyak bacot." Yang dihadiahi tawa receh si manusia gembul.
Kami mulai berjalan menelusuri danau, melihat pemandangan sekitar, luar biasa bisa membuat pikiran menjadi tenang.
"Cowok kayak gitu mah tinggalin aja," ucap Riko membuat gue sontak menoleh padanya.
"Maksud Lau?"
"Cowok kayak gitu gak pantes dipacarin. Ini Gue nasehatin Lo sebagai sahabat Lo yah. Jangan diajak becanda dulu," ucap Riko lagi membuat gue menganggukkan kepala siap mendengar wejangan dari manusia yang mau menikah sebentar lagi.
"Kalau dia emang sayang sama Lo dia gak akan ninggalin Lo sendirian di tempat asing kayak gini dan lebih milih jalan sama temannya. Dia akan selalu milih Lo seberat apapun pilihannya. Di luar pilihan tentang orang tua tentunya." Gue diam mendengar petuah Riko, kalau di ingat-ingat hubungan Riko dan tunangannya dulu juga disempili oleh orang ketiga, biar dikata Riko ini badannya makan tempat tapi banyak cewek yang suka sama dia secara dia banyak duitnya.
"Gue belum pernah ketemu cowok Lo sih, tapi kalau dia cuma bisa nyakitin Lo mending tinggalin. Hidup Lo terlalu berharga buat Lo buang-buang waktu dengan orang yang salah." Gue terdiam, berpikir apa iya gue harus ngalah? Tapi selama ini gimanapun keadaannya Bang Sul selalu bela gue, yah mungkin.
"Makasih ya udah khawatir sama Gue, Gue baik-baik aja."
"Wess gak udah sok gaya-gayaan dah Lo udah cocok kayaknya Lo jadi pemeran Suara Hati Istri," ucap Riko kemudian tertawa. Bangke emang disaat gue meresapi semua kalimatnya ujung-ujungnya dia malah ngelawak. Tapi bener setelah mendengar ucapan Riko gue jadi mikir lagi apa benar justru gue yang jadi orang ketiga di antara mereka?
Coba gue ingat-ingat? Beberapa kali si Mak Lampir itu dengan seenaknya merangkul atau menggandeng tangan Bang Sul dan Bang Sul tu kelihatannya biasa aja, kayak sudah terbiasa gitu digituin. Pernah juga gak sengaja gue lihat dia tiduran sambil senderan ke Bang Sul padahal posisi waktu itu gue sama Ibu ada di rumah. Ah ingat itu kok rasanya sesak ya?
"Udah gak usah galau gitu, santuy gan. Dunia tak sebesar daun kelor."
"Lo sih k*****t, omongan Lo bikin galau," protes gue. Emang iya gue jadi ngerasa sesak begini.
"Eit gak boleh ngomong begitu, ingat ada bocil." Gue menoleh ke arah Kay yang sedang tertidur di dalam gendongan Riko.
"Molor anaknya. Kayaknya perut Lo serasa kayak springbed deh sampai dia bisa tidur selelap itu, haha." Tawa gue yang di ikuti dumelan kesal Riko.
"Eh, udah cocok belom gue momong anak begini?"
Gue menoleh lagi ke arah Riko melihat dan menimbang apakah terlihat cocok kemudian mengangkat kedua jempol gue.
"Cocok."
"Yess, abis nikah Gue langsung buat anak biar cepat jadi bapak," katanya dengan semangat, dasar kaum adam.
"Alah pengalihan isu aja Lo, padahal niat Lo nikah emang cuma pengen mantap-mantap kan Lo sok lagak mau punya anak." Riko tertawa kencang membuat perutnya kembali bergetar gue sudah khawatir si Kay bakal kebangun nyatanya malah makin lelap tidurnya.
"Sumpah ya cuma sama Lo cewek yang bisa Gue ajak ngobrol bar-bar begini. Sayangnya Lo gak pernah punya rasa sama Gue."
"Siniin Kay." Tangan gue menggapai tubuh Kay hendak gue pindahin ke gendongan gue.
"Gak usah biar Gue aja yang gendong." Tolak Riko.
"Siniin, Gue pengen dorong Lo ke Danau soalnya," ucap gue mengemukakan niat gue.
"Haha, Gue kan emang pernah suka sama Lo nyet. Cuma Lo nya aja yang selalu nganggap ucapan Gue becandaan." Gue tertegun iya sih beberapa kali dia bilang suka sama gue tapi kan.
"Eh Riko Mariko, mana ada perempuan yang bakal nganggap serius kalau Lo ngomongnya sambil cekakak cekiki cengengesan."
"Yah kan biar Gue gak malu Lo tolak. Lagia Lo gak ada baper-bapernya sama Gue heran, jadi gak yakin Gue sama gender Lo." terangnya.
"Wah emang pantes Lo Gue tenggelamin di rawa-rawa pake segala mempertanyakan orientasi s*****l orang, emang dasarnya Gue nganggap Lo kayak abang aja mangkanya kebal." Gue bisa mendengar helaan napas berat dari Riko eh ini karena ucapan gue atau karena Kay yang nangkring di perutnya?
"Iya deh. Tapi jangan sia-siain waktu, tenaga dan hidup Lo buat orang yang gak pantas buat Lo kasih kasih sayang," petuahnya lagi.
"Btw, cowok Lo pake baju kemeja kotak-kotak biru ya? Pake jeans hitam sama dalaman kaos hitam, sepatu putih ya?" Tanya Riko membuat gue mengangguk heran kok dia udah kayak peramal aja bisa tahu.
"Kok Lo tahu? Cenayang Lo?"
"Haha Gue bisa kali membaca pikiran Lo, kayaknya ada dalam bola mata Lo saat Gue menatapnya." Riko memperhatikan wajah gue, walau bagaimanapun gue salah tingkah woy calon laki orang jangan tetibaan buat gue baper ya.
"Nah udah," ucapnya lagi.
"Udah apaan?"
"Lo gak ngerasa hawa panas gitu dari belakang Lo?" Gue menyerjitkan dahi, O Ow jangan-jangan.
"Riko jangan bilang..." Belum selesai gue bicara Riko sudah lebih dulu ngakak tertawa.
"Gila ya tatapan cowok Lo udah kayak mau nenggelamin ni bebek-bebekan, udah kayak mau nebas gue aja." Gue gak berani nengok sumpah kok jadi horor begini, tapi wait kan Bang Sul duluan yang ninggalin gue.
Dengan komat-kamit membaca doa minta keselamatan dari tuhan yang maha esa, gue beranikan diri menoleh ke arah yang tadi ditunjuk Riko, dan benar saja Bang Sul sedang menatap kami dengan tatapan membunuh.