Darren melangkah pelan menuju ruang kontrol CCTV di mall tersebut, ia memberikan kode pada ketiga temannya untuk segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Mereka harus tahu bagian mana yang aman di luaran sana.
Sebenarnya percuma juga jika misi mereka harus membunuh zombie-zombie itu, Sean mengunci pintu ruangan tersebut kemudian memberikan beberapa pakaian olahraga rugby kepada ketiga temannya itu.
Mereka pun memakai pakaian tersebut berharap bahwa dengan pakaian yang keras itu mereka bisa terlindungi dari gigitan zombie.
“Kita harus lihat dulu mana lokasi yang bagus untuk kita keluar, kayaknya akan lebih bagus kalau kita tarik aja satu-satu zombienya ke dalam sini dari pada kita yang harus keluar,” kata Darren sambil melihat monitor di hadapannya. Ia memikirkan cara bagaimana menculik satu-satu zombie ke dalam mall tersebut.
Alefukka memakai pakaian olahraga rugby tersebut dengan sedikit bingung, jika dipikirkan permainan ini semakin tidak masuk akal karena bukannya zombie yang menculik manusia malah manusia yang menculik zombie.
“Iya gue setuju sama Darren, Sean lo yang bagian culik aja. Gue yang bagian tekan tombol penutup rolling door, jadi begitu ada 1 zombie yang masuk kita harus menutupi mall ini dengan rolling door jangan sampai semua zombie bisa masuk ke dalam,” ujar Gilang yang diberi anggukan oleh ketiga temannya.
“Baiklah 49 zombie harus kita matikan. Ale, lo jangan lupa catet zombie yang sudah kita matikan,” kata Sean. Mereka benar-benar sudah menyiapkan mental untuk ini walaupun sebenarnya mereka takut jika salah satu dari mereka akan menjadi zombie, namun mereka percaya dengan kekuatan tenaga mereka yang bar-bar melebihi zombie bisa menangani amukan zombie tersebut.
Mereka benar-benar memasang strategi untuk misi kedua ini yang terbilang cukup rumit karena harus mematikan zombie tanpa alat bantuan apapun. Kalau saja pakai s*****a mungkin mereka akan mampu karena mereka berempat benar-benar pintar dalam hal menembak.
Darren menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu ruang CCTV tersebut, mereka berempat mulai kembali was-was ketika sudah keluar dari ruangan tersebut. Semua anggota tubuh seakan sudah siap dengan serangan zombie kapan pun, kecuali Alefukka yang masih tak yakin bahwa asmanya bisa kompak dalam keadaan seperti ini.
“Ale, jangan jauh-jauh. Lo jalan duluan biar gue yang jaga dari belakang,” bisik Sean memberikan Alefukka kode agar berpindah tempat tidak berjalan di belakang mereka. Alefukka mengangguk kemudian berpindah tempat.
“Nah, udah sampe. Sean lo siap-siap ya gue baka buka ini pintunya,” ucap Gilang dengan wajah serius, Sean mengangguk sudah siap berdiri di depan pintu yang akan dibuka tersebut.
Sean sedikit takut juga karena bisa saja di depan pintu itu banyak zombie yang sedang berkeliaran. Namun, saat pintu terbuka tidak ada zombie satu pun di penglihatan mereka.
“Selamat datang di game survival. Halo para pemain hebat, kami melihat sebuah keberanian dan kekompakan diantara kalian oleh karena itu misi kedua adalah pengetesan tentang keberanian kalian. Selamat misi kedua kalian telah lolos, silakan beristirahat dan menunggu misi ketiga dari kami. Sampai jumpa besok, semoga harimu menyenangkan”
Mendengar pengumuman tersebut membuat Sean menendang rolling door yang baru terbuka setengah itu. Sean tidak habis pikir dengan permainan tidak jelas tersebut, padahal ia sudah menantang nyalinya untuk misi kedua ini. namun, benar-benar nihil.
“Anak itu maunya apa sih? Dia buat game beneran gak jelas, apa dia gak punya konsep bagus buat ini semua?” tanya Sean yang mulai kesal dengan permainan yang dianggap tak waras itu. Rasanya benar-benar membuat mereka jengkel.
Alefukka terduduk lemas, ia mengontrol jantungnya yang sedari tadi sudah berdegup kencang. Bahkan ia bersyukur jika misi tersebut gagal karena ia tidak membayangkan bagaimana ia bisa melawan 49 zombie tanpa s*****a satu pun.
Mereka berempat terduduk di lantai yang sudah berbau anyir itu, bahkan Sean tak peduli lagi dengan kebersihan disaat seperti ini. ia sudah benar-benar lelah ingin pulang ke dunia nyata dan menghadapi coding yang menyebalkan, namun tidak sesulit di dunia game yang banyak sekali keanehan dan diluar jangkauan otak manusia.
“Jadi kita keputusannya ke mana nih sekarang?” tanya Gilang yang duduk dibagian pojok mall, ia bahkan sudah pasrah jika zombie masuk dari rolling door yang masih terbuka itu.
Sean melihat ketiga sahabatnya itu dengan rasa sesal, andai saja ia tidak memungut PC yang berada di halaman belakang kampus pastilah sekarang mereka tidak berada di dalam dunia game yang tidak jelas ini.
“Guys, gue minta maaf karena udah bikin kalian kayak gini. Gue bener-bener gak tahu kalau PC itu bisa mengubah hidup kita dalam sekejap gue Cuma kasihan sama PC-PC yang terlantar karena mengingatkan gue sama PC gue yang udah dibuang sama mama gue, gak ada niat nyeret kalian kayak gini,” kata Sean dengan wajah memelas.
Darren menatap Sean dengan wajah sedikit kesal, namun bagaimana pun ini memang di luar kehendak Sean dan tidak bisa menyalahkan pemuda itu sepenuhnya.
“Penyesalan emang datang belakangan, kalau datangnya di depan ya namanya pendaftaran,” celetuk Gilang yang berada di pojokan. Darren melihat Gilang sekilas sambil memutar matanya malas.
“Ya udahlah bahas gitu terus gak akan ada ujungnya, ini pelajaran juga untuk Sean biar gak ambil barang sembarangan. Untung aja kita rame-rame nyasarnya, coba kalo lo sendiri dan hilang? Siapa yang bisa cari?” kata Darren membuat Sean sadar akan kelakuannya.
Mengambil barang yang bukan milik memang tidak diperkenankan karena takut saja bahwa benda yang diambil adalah sesuatu yang bisa mencelakakan. Sean mengangguk, ia setuju dengan ucapan Darren bahwa ini adalah pelajaran untuknya agar tidak mengambil benda-benda yang bukan miliknya dengan sembarangan.
“Sorry,” ucap Sean dengan rasa sesal yang mendalam, ia bahkan saat ini bertanggung jawab dengan keselamatan ketiga temannya itu.
Darren berdiri seraya membersihkan pakaiannya yang sudah kotor sekali dengan cairan merah yang menempel di mana-mana. Sepertinya mereka harus berganti pakaian agar tidak menimbulkan bau yang tak sedap.
“Guys, gue mau nyari pakaian ganti dulu. Pakaian kita udah bener-bener bau anyir gue gak tahan,” ucap Darren sambil melihat sekeliling kiranya ada ruko yang memiliki sebuah pakaian untuknya.
“Iya gue juga mau ganti pakaian, lo berdua mau ikut gak?” tanya Gilang yang mendekati ketiga temannya itu.
“Gue sama Alefukka kayaknya nanti aja deh, gue mau ambil handytalk dulu di ruang keamanan,” ucap Sean kemudian berdiri, ia melihat ruang keamanan yang tak jauh dari tempat itu.
Mereka butuh sebuah alat komunikasi agar tidak hilang kontak di dunia game itu.