Kesalahan bocah SMA

1043 Words
Sean mengerjapkan matanya perlahan, ia melihat sekitarnya yang memperlihatkan teman-temannya yang sedang berbicara serius. Alefukka yang pertama kali menyadari bahwa Sean sudah siuman. "Syukurlah lo udah sadar, An. Gimana kepala lo masih sakit?” tanya Alefukka yang merasa khawatir dengan keadaan sahabatnya itu. Sean mengangguk pelan, namun rasanya kepalanya masih terasa berat. “Ini nih minum dulu. Sorry karena kita gak bisa berbuat banyak buat obatin lo, di sini obat-obatan sangat minim jadi kita kasih lo istirahat aja,” kata Darren yang merasa bersalah karena tak bisa menemukan obat untuk Sean. “Thanks, gue berterima kasih karena kalian masih mau gotong gue ke sini gak ninggalin gue dimakan zombie,” kata Sean dengan sedikit tawanya yang terlihat sekali dipaksakan. “Oh iya omong-omong, siapa yang mukul lo sampai kayak gini? Apa lo lihat orangnya?” tanya Fendi yang berada di hadapan Sean. Sean mencoba mengingat, namun rasanya ia tak bisa mengingat kejadian tadi subuh. "Gue gak lihat jelas orangnya karena waktu itu bener-bener gelap dan gue sempet bingung karena gak bisa nemuin Gilang,” kata Sean yang masih sibuk mengingat kejadian sebelum ia benar-benar pingsan berjam-jam. Gilang yang mendengar itu merasa tidak enak karena di dalam keadaan seperti ini Sean masih memedulikan dirinya sementara Gilang malah hampir saja membuat Sean meninggal. Gilang mendekati Sean dengan mata berkaca-kaca merasa berdosa karena sangat egois dengan sahabatnya itu. “An, gue bener-bener minta maaf karena gue udah mau korbanin lo sementara lo malah mau nyelamatin gue. Gue bener-bener gak tahu apa sebenarnya gue sahabat lo atau bukan? Gue merasa gak pantas menjadi sahabat lo karena terlalu egois dan tega membiarkan lo hampir meninggal,” kata Gilang yang menahan tangisnya. Sean mengangguk sambil tersenyum samar. “Bagaimana pun juga gue yang udah bawa kalian ke sini jadi gue wajib menyelamatkan kalian apapun yang terjadi. Gue tahu kalian stres dan takut kalau gak bisa balik ke dunia nyata begitu pun juga gue. Gue minta maaf karena gue udah bikin susah kalian dan ini semua menyangkut masa depan kalian,” kata Sean yang masih merasa tidak enak dengan sahabt-sahabatnya itu. Andaikan saja waktu itu ia tidak memungut PC tersebut mungkin saat ini mereka masih dalam keadaan hidup normal dan sedikit lagi mereka skripsi kemudian wisuda dan menempuh cita-cita masing-masing. Namun, itu semua tak terjadi karena dirinya. “Udah udah gak usah dipikirin, lagian sekarang juga sudah terlanjurkan? Jadi, gak ada alasan untuk kita saling menyalahi terus. Mending kita mikirin rencana kita untuk keluar dari sini itu gimana bukan malah ungkit-ungkit, ok?” ucap Alefukka yang berusaha agar teman-temannya itu bersatu lagi dan tak memikirkan dendam satu sama lain. Mereka mengangguk setuju kemudian tersenyum dan berpelukan. Mereka harus sadar bahwa ego di tempat seperti ini tak akan berlaku, kebersamaanlah yang paling penting saat ini karena jika mereka terus berpencar dan mengedepankan ego masing-masing maka mereka tak akan bisa menjadi pemenang dalam game ini. “Ok sekarang clear kan kalau kalian gak akan berantem? Terutama Gilang sama Darren nih yang udah kayak kucing dan anjing,” kata Fendi yang merasa kesal dengan dua orang manusia itu. “Kalau gue sih tergantung keadaan, kadang ada orang yang mentang-mentang kita diam malah dikira kita kalah dan jadi semena-mena,” kata Darren sambil melirik ke arah Gilang. Gilang tampak salah tingkah karena merasa tersindir dengan ucapan Darren. Mereka sudah tahu ke mana arah pembicaraan Darren maka mereka menghentikan pembahasan itu. “Bagaimana kalau sekarang aja kita cari zombie yang ternyata manusia itu biar ceper jalanin misi selanjutnya. Gue, Darren dan Gilang yang cari. Fendi jagain Stefan sama Sean ya, gue titip Sean sama kalian jangan pernah tinggalin dia sendirian,” kata Alefukka yang sudah mewanti-wanti untuk menjaga sahabatnya itu. “Sip, tenang aja gue bakal jagain Sean. Kalian juga hati-hati jangan sampai celaka,” kata Fendi yang memberikan semangat sekaligus nasihat. Alefukka mengangguk mereka pun langsung keluar dari supermarket tersebut dengan sangat hati-hati. Di dalam supermarket itu tampak Sean, Fendi dan Stefan yang saling berdiam diri. Mereka benar-benar canggung dalam keadaan seperti ini. Sean yang sudah bisa berdiri pun memilih untuk mengelilingi supermarket tersebut untuk memilih makanan ringan yang bisa ia makan saat ini. “Gue mau milih makanan dulu,” ucap Sean sambil berjalan pelan menuju rak-rak jajanan yang membuat siapa saja ingin mengambilnya. Fendi dan Stefan hanya mengangguk sambil memperhatikan Sean yang tampak masih pucat itu. “Lo gak samperin Sean? Kalian dulu kan akrab kenapa gak akrab lagi sekarang?” tanya Stefan yang masih penasaran mengapa Fendi memilih diam dan merasa canggung dengan orang yang dulunya sangat akrab. “Gak semudah itu akrabin diri lagi. Apa pun yang sudah hancur, bila dikembalikan tidak akan pernah sama lagi, Fan,” kata Fendi yang merasa bersalah dengan Sean. Stefan mengangguk membenarkan hanya saja rasanya aneh jika mereka canggung seperti itu. Sementara Sean yang sedang memilih makanan pun sayup-sayup masih bisa mendengar ucapan kedua orang itu. Sean tampak menghela napasnya pelan kemudian mengambil beberapa bungkus makanan ringan dan beberapa minuman untuk mereka santap. Sean mendekati kedua orang itu yang tiba-tiba diam ketika Sean datang. “Ini jajanannya, dari pada lo bingung mau akrabin diri sama gue lagi atau gak mending lo isi dulu perut. Mikirin kayak gitu juga butuh energi,” kata Sean sambil menyodorkan keranjang tersebut pada Fendi. Fendi mengambil keranjang itu kemudian menghembuskan napasnya kasar. “Pendengaran lo masih bagus rupanya. But, maaf karena gue udah salah selama ini sama lo dan lo tahu kan gak mudah buat gue berlagak seperti gak pernah terjadi apa-apa pada kita?” kata Fendi to the point. Sean mengangguk membenarkan ucapan Fendi. Namun, bagi Sean itu adalah masa lalu dan ia tak pernah dendam dengan perlakuan Fendi terhadapnya. “Anggaplah itu kesalahan remaja SMA, kita udah kuliah dan hampir wisuda dan kita bukan lagi siswa SMA yang musuhan hanya karena game kan? Maka anggaplah itu permusuhan sudah berlalu dan kesalahan anak-anak labil gak usah dimasukin hati,” kata Sean dengan santainya. Bahkan sampai saat ini ia tak pernah dendam pada Fendi, hanya saja ia merasa kesal karena Fendi masih menerornya saja sampai sekarang. “Gue gak tahu lo semurah hati itu, lo udah lebih dewasa,” kata Fendi sambil tertawa renyah sementara Stefan yang melihat drama persahabatan itu hanya bisa menggelengkan kepalanya saja. Ia heran karena permusuhan Fendi dan Sean hanyalah sebatas game beradu paling jago.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD