Siapa yang lawan?

1048 Words
“Kita gak pernah naif dan sebencinya gue sama Sean itu gak akan melebihi batas, gue iri sama dia gue penuh dengki karena Sean yang selalu nomor satu dan selalu dielu-elukan, but gue gak sebusuk lo yang nusuk sahabat sendiri dari belakang,” kata Fendi dengan tegas membuat Darren dan Alefukka takjub mendengar jawaban itu. Gilang tertawa keras kemudian mengalihkan pandangannya ke arah jendela. “Bahkan gue gak pernah anggap dia sahabat, gue anggap Sean sebagai pendompleng popularitas aja. Kita semua tahu bahwa tidak ada yang namanya ketulusan dalam pertemanan, iya kan Darren?” tanya Gilang yang mengutip kata-kata Darren. Darren menghirup udara dalam-dalam seakan-akan oksigen tak tersedia di dalam rumah itu. "Lo lebih baik diam karena setiap kali lo buka mulut rasanya ada aura gak bagus yang akan lo lontarkan,” kata Darren yang memelototi Gilang dengan wajah yang marah. Gilang tersenyum miring kemudian pergi ke jendela rumah tersebut melihat zombie-zombie yang berkeliaran di sana. “Misi ke 7 kita adalah lawanlah sahabatmu, anggaplah gue sebagai lawan kalian dan kalian bisa lawan gue sepuasnya,” kata Gilang yang tampak pasrah dengan keadaan. Sean memandangi sahabatnya itu kemudian mendekati Gilang. “Kita gak mungkin anggap lo sebagai lawan, gimana pun jahat lo sama gue, gue gak akan rela lo jadi lawan dalam misi ini,” kata Sean kemudian mengulurkan tangannya pada Gilang. Ia tak ingin ada pertengkaran diantara mereka disaat keadaan seperti ini. Gilang tersenyum miring kemudian menepak uluran tangan dari Sean. “Gak usah sok baik! Gue tahu lo akan bersikap seperti ini di depan teman-teman karena lo mau dianggap baik dan dianggap ketua yang bijaksana. Teruslah berakting dan asal kalian tahu karena Sean yang jago akting ini maka kita semua ada di sini,” kata Gilang sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Di dalam rumah itu cahaya hanya remang-remang, tanpa diketahui Sean menitikkan air matanya kemudian ia meninggalkan teman-temannya dan menuju ruangan lainnya di dalam rumah itu. Alefukka hendak menyusul Sean, namun Darren menahan tangan Alefukka agar tak memasuki ruangan tersebut. “Biarin dia sendiri dulu, kita udah terlalu lama bersama-sama mungkin sekarang Sean butuh waktu sendiri,” kata Darren, Alefukka melihat sahabatnya itu kemudian mengangguk paham. Mereka tak ada lagi yang berbicara, memikirkan cara keluar dari tempat itu sudah memusingkan terlebih lagi sekarang mereka harus bertengkar seperti ini. Sementara disisi lain terlihat sepasang mata yang melihat ke arah rumah di mana tim extramers dan Fendi berada. “Gue gak sabar melawan mereka, gue juga benci sama Fendi yang sok mau jadi ketua. Selama ini dia selalu di idolain sama banyak cewek sedangkan gue?” tanya orang itu dengan rasa kesal yang sudah lama ia tahan. Dengan masuknya mereka ke dalam dunia game, ini merupakan kesempatan besar baginya untuk membalaskan dendam tersebut. Rasanya tak adil jika dirinya juga gagal membalaskan dendamnya di dunia game padahal di sini membunuh pun tak akan ditangkap. “Apa lo yakin akan lawan sahabat lo sendiri?” tanya Andrew dengan satu alisnya yang terangkat. Pemuda itu mengangguk cepat seolah ia menjawab itu dengan penuh keyakinan. “Siapa yang anggap dia sahabat? Bahkan sampai detik ini gue gak pernah anggap dia sahabat, dia aja yang haus akan kepemimpinan terus anggap gue anak buah,” kata pemuda tersebut dengan penuh kebencian. “Manusia benar-benar mengerikan, terlihat sangat manis dan bersahabat akan tetapi kelakuan busuk,” kata Andrew sambil menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian pergi meninggalkannya dengan penuh ketidakpercayaan. Pemuda itu melihat Andrew yang sudah pergi menjauh darinya. Rasanya aneh juga mendengar Andrew mengatakan itu. “Apa maksudnya itu adalah gue? Ah itu orang benar-benar deh!” katanya dengan wajah sedikit kesal kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah rumah satu-satunya di daerah tersebut. Di samping rumah tersebut terdapat sebuah mall yang tak bisa dibuka pintunya. “Huft gue harus istirahat di mana ya,” kata pemuda itu dengan wajah panik karena di malam yang gelap seperti itu hanya ada dirinya dan zombie-zombie yang kapan pun bisa memakannya. Di dalam rumah itu Sean masih melamun menatap langit-langit rumah tersebut dengan wajah yang penuh penyesalan. Sean sudah berusaha semaksimal mungkin, namun sampai saat ini ia belum bisa menemukan jalan keluar untuk itu semua. “Apa lo yakin kalau Gilang adalah musuh yang dimaksud pengumuman game ini?” tanya Alefukka pada Darren yang berada di ruang tamu. Mereka berdua masih terjaga padahal hari sudah larut bahkan hari sudah berganti. “Gue gak tahu, tapi dari gelagatnya ya dialah yang bakal jadi lawan kita,” kata Darren dengan wajah sedih. Bahkan ia belum bisa membayangkan kalau dia harus melawan satu persatu sahabatnya demi keluar dari dunia game tersebut. “But, gue gak yakin kalau Gilang adalah lawan. Dia orang yang emosian sama kayak lo, Ren. Tapi, apakah orang emosian itu selalu salah? Gak kan?” kata Alefukka yang masih belum yakin lawan mereka adalah Gilang. “Tapi lo lihat sendiri kan kalau Sean hampir dibuat tumbal sama si Gilang, apa kayak gitu gak cukup buat kita nilai kalau Gilanglah yang merupakan target misi kita kali ini?” tanya Darren yang membuat Alefukka bimbang. “Kita harus lihat buktinya dulu baru bisa menuduh,” kata Alefukka kemudian beranjak dari tempat duduknya untuk beristirahat di dalam kamar. Darren melihat kepergian Alefukka, diantara yang lain Alefukka lah yang paling tepat. “Apa ada lagi sahabat kita yang bakal berkhianat? Tapi gue pastikan itu bukan gue,” kata Darren sambil menepuk-nepuk kedua pipinya. Malam itu sangat hening, bahkan hanya terdengar suara zombie-zombie yang bergrasak-grusuk di sekeliling rumah tersebut. Sean menatap Alefukka yang berada satu kamar dengannya. Bagaimana bisa ia membuat sahabat-sahabatnya menjadi seperti ini? Mereka sudah jarang mandi, makan pun Cuma kalau sedang sempat dan ada waktu. Mereka benar-benar sengsara karena ulah Sean. Pemuda itu mengacak rambutnya dengan kasar, rasa kesal, marah pada diri sendiri seakan tak pernah usai. Melihat penderitaan sahabatnya sudah seperti sebuah cermin kesalahan yang terus mengikutinya. “Kalau ada Klara di sini, dia pasti tahu cara cari solusinya,” kata Sean pelan sambil menatap langit-langit kamar tersebut dengan rasa sedih yang tak seorang pun tahu, bukan hanya sedih tapi juga takut kalau ia tak bisa menyelamatkan sahabat-sahabatnya. “Klara gak akan salahin lo kalau di dalam keadaan gini, mungkin dia juga akan kayak lo yang kebingungan dan stuck. Klara sama lo itu gak beda jauh, kalau keadaan genting juga pasti gak bisa mikir,” kata Alefukka yang ternyata masih terjaga
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD