Mendengar ucapan Bu Marni beberapa wartawan tampak tak enak hati karena sang narasumber tak nyaman dengan kehadiran mereka, beberapa lagi ada yang berbisik dan mengatakan jika Bu Marni menyembunyikan kebusukan kampusnya. Bahkan sejak berita kehilangan itu calon mahasiswa tampak mempertimbangkan lagi keputusannya itu.
"Anda tak perlu mengusir mereka, mereka juga akan pergi jika Anda telah menjawab semua pertanyaan mereka." Anjani masih belum ingin mundur karena ia merasa kesal dengan ucapan Bu Marni yang hanya bisa menjanjikan saja.
Bu Marni berdiri dengan cepat kemudian memberikan isyarat agar para wartawan pergi dari kampus tersebut dan tidak menanyai dirinya perihal hilangnya keempat mahasiswa di kampus itu.
"Saya dosen di sini, saya hanya menjalankan apa yang seharusnya saya jalani dan satu lagi yang perlu Ibu Anjani ketahui bahwa pihak kampus tak pernah menyerah mencari keberadaan 7 mahasiswa itu, pihak kampus berusaha bertanggung jawab jadi jangan khawatir kembalilah ke rumah dan tunggu kabar dari kami," kata Bu Marni yang memberikan kode agar Anjani keluar dari ruangan tersebut dengan ocehan yang tak kunjung selesai.
"Astaga sombong sekali dosen ini, awas ya saya akan melayangkan tuduhan atas hilangnya semua anak di sini dengan nama Anda. Kampus ini akan menerima semua yang harusnya diterima sejak dulu!" desis Anjani kemudian keluar dari ruangan dosen tersebut dengan membanting pintu sementara orang tua yang lainnya tak berani sebegitu bar-barnya.
"Kami akan menunggu kabar baik darimu, Bu. Kami mempercayai nasib anak kami ditanganmu, tolong untuk segera mengghubungi kami," ucap Rosa sambil menepuk-nepuk punggung Bu Marni sebelum benar-benar pergi dari ruangan dosen tersebut.
Begitu pun dengan yang lainnya perlahan mereka pun bubar dan meninggalkan ruangan dosen, wartawan juga terlihat langsung membenahi peralatan yang sudah mereka gelar di ruangan dosen.
"Astaga apa sebenarnya yang mereka pikirkan? Apa pikir mereka saya ini sedang enak-enakan dan tak mencari sama sekalI? Bisa gila lama-lama menangungi anak-anak orang kaya itu, aku harus segera menemukan mereka," ucap Bu Marni sambil mengipaskan sebuah kertas ke arahnya. Tiba-tiba saja cuaca di sekitarnya menjadi sangat panas.
Sementara itu berita telah tersebar di mana-mana dengan headline KAMPUS X TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS KEHILANGAN KE 7 MAHASISWANYA. Bu Marni membanting ponselnya saat ia melihat headline news dengan tulisan capslock muncul di layar ponselnya.
"Anak-anak itu harus segera aku temukan agar tak membuat fitnah lagi," kata Bu Marni kemudian memberitahukan agar petugas kebersihan atau siapa pun di kampus untuk tidak membuka mulut untuk kasus ini apapun yang terjadi.
Sementara itu sejak Fendi berkata seperti itu Stefan selalu merenungi dan mencoba mengingat apa sebenarnya yang telah ia lewatkan. Namun, bagaimana pun ia mengingat tetap saja ia tak mampu tahu apa yang dimaksud oleh Fendi.
"Tumben akhir-akhir ini Stefan jadi lebih kalem," celetuk Gilang sambil menyeruput mie gelas yang baru saja ia buat itu. Stefan melihat ke arah Gilang dengan malas, ia sudah seperti kembaran dengan Gilang yang tak bisa diam mulutnya. Namun jika sekali saja ia diam dan kalem pasti orang menanyakan penyebab ia tutup mulut dalam jangka waktu yang lama.
"Tutuplah mulut lo, gak guna," ujar Stefan seraya kembali ke ruangan di mana mereka beristirahat jika malam tiba. Gilang melihat Stefan dengan senyuman liciknya, ia tahu bawa pemuda itu sedang dalam masalah sehingga tidak ada raut semangat untuk mengoceh di wajahnya.
Rasanya Gilang benar-benar ingin menjahili pemuda itu walaupun mereka tak terlalu akrab, namun sifat mereka sama kemungkinan besar mereka sebenarnya cocok hanya karena gengsi diantara mereka dan lagi tim mereka berbeda pastilah akan sangat memalukan jika mereka sebenarnya akrab.
“Jangan jahili dia, dia sepertinya sedang dalam pemikiran yang berat,” kata Fendi yang berusaha menahan Gilang agar tak mengganggu Stefan. Gilang melihat tangan Fendi yang menahannya kemudian mengangguk paham.
“Selamat datang di game survival. Halo para pemain hebat, untuk misi ke 10, ada sebuah teka-teki untuk masing-masing pemain. Kami akan memberikan beberapa kartu untuk kalian dan kalian harus menebaknya. Jika kalian salah maka hukumannya adalah kalian tak bisa mengikuti misi selanjutnya alis kalian gagal, mohon untuk berhati-hati dalam menebak. Semoga harimu menyenangkan”
Gilang dan Fendi melihat ke atas mereka yang merupakan langit-langit supermarket itu, kemudian menghela napas mereka pelan. Entah bagaimana mereka akan melewati ratusan misi sedangkan hari gini mereka masih di misi ke 10.
“Apa menurut lo kita ada kesempatan untuk keluar?” tanya Gilang yang merasa frustasi dengan game yang membuat mereka terperangkap di tempat itu.
“Apa lo takut gak bisa keluar? Astaga, game ini gak separah itu boy, Cuma ya seperti yang lo tahu mungkin saat kita menyelesaikan misi ini di dunia nyata kita sudah seharusnya skripsi dan wisuda bahkan mungkin aja kita sudah punya anak satu,” kata Fendi yang memikirkan betapa memuakkannya hidup mereka ketika keluar dari sini.
Gilang tiba-tiba saja langsung berjongkok menangisi nasibnya yang akan menjadi tua tanpa bisa lulus dengan baik dari bangku kuliah, belum lagi ia harus mengulang agar bisa jadi sarjana sementara usianya tak lagi muda.
“Astaga, kita akan terperangkap di sini sampai tua! Gue gak mau, kita harus cari cara agar kita bisa keluar dari sini secepatnya. Haruskah kita menguntit Andrew lagi dan mengacak game ini sesuka kita?” tanya Gilang yang merasa bahwa hanya dengan cara kekerasanlah mereka bisa lolos dari dunia game ini.
“k*******n aja gak akan cukup, kita gak tahu bagaimana cara mengontrol game ini karena sepertinya Andrew tak akan bodoh untuk meletakkan pusat kontrol game ini di tempat yang terlihat, mungkin saja dia memilih lokasi yang jarang kita jangkau? Bisa jadi kan?” tanya Fendi yang mengira-ngira letak pusat kontrol tersebut.
Saat Gilang dan Fendi sedang memikirkan itu, teman-teman yang lain pun datang untuk melakukan misi. Untuk beberapa misi sepertinya Andrew tak memberikan sebuah misi yang berat hingga mereka merasa lelah, hanya saja sebagai gantinya mental mereka diserang satu persatu dengan sebuah game yang membuat masing-masing dari mereka cukup emosi untuk ini.
“Ayo kalian jangan banyakan mikir. Duduklah di sini, kita akan segera memulai misi biar cepet kelar dan cau dari sini,” ucap Sean sambil memberikan sebuah kode pada Gilang dan Fendi untuk segera bergabung di dalam lingkaran itu.
Ketika mereka sudah siap dan duduk sila di dalam lingkaran, sebuah kartu muncul di depan masing-masing pemain. Sean dan yang lainnya langsung membuka kartu tersebut dan melihat sebuah kalimat yang mendeskripsikan seseorang dan mereka harus menebaknya.