Meminta kepercayaan

1048 Words
Beberapa mahasiswi tampak mendengar perkataan Sean dengan serius. Beberapa ada yang mempercayainya namun beberapa lainnya tampak masih ragu dengan apa yang dikatakan Sean. “Ini serius loh gue nggak main-main. waktu Kita nggak banyak, Cuma ada 4 jam lagi untuk menyelesaikan misi ini. Kalian harus mempercayai ucapan kami karena kepercayaan kalian sangat berharga untuk kelanjutan misi kami,” ucap Sean dengan wajah memelas. Beberapa mahasiswi saling melihat satu sama lain, mereka hendak percaya, namun ini semua sulit diterima oleh akal sehat mereka. “Kami tidak bisa mempercayai kalian begitu saja tanpa bukti, setidaknya kasih kami bukti kalau memang kalian terperangkap di dunia game,” kata salah satu mahasiswi yang merupakan salah satu fans Sean. Sean yang mendengarkan permintaan itu langsung menghela napasnya pelan, pasalnya ia tak mempunyai bukti bagaimana ia akan memberikan itu pada mahasiswi yang ingin sekali melihat bahwa apa yang dikatakan mereka bukanlah karangan belaka. “Iya, bukti apapun itu kami akan mempercayainya asalkan kalian mempunyai bukti kuat, karena ini masalah kepercayaan makanya ini bukanlah sesuatu yang mudah,” kata mahasiswi yang tepat berada di hadapan Sean. Sean mengangguk membenarkan, ia kemudian melihat ke arah tiga temannya. “Hm, kalian akan melihat kami terhisap ke dalam game setelah 4 jam kami terbebas. Hanya itu bukti satu-satunya yang akan kalian lihat,” kata Sean yang sudah merasa bahwa misi itu akan sangat gagal. “Andrew! Astaga ini beneran kamu Ndrew?” tanya seseorang yang menarik perhatian Sean dan ketiga temannya. Andrew terlihat mengangguk dengan air matanya yang sudah membasahi mimpinya. Sean melihat Andrew yang memeluk seorang wanita paruh baya merupakan cleaning service di kampus ini. “Sudah lebih dari 9 tahun kamu tidak kembali, ibu tidak pernah melihat kamu lagi Ndrew. Bahkan ibu sudah pasrah kalau ternyata kamu sudah hilang dan tak pernah kembali lagi, tapi sekarang keajaiban terjadi pada ibu doa ibu selama ini terjawab, kamu kembali, Ndrew,” ucap wanita itu yang menangis sambil beberapa kali memeluk Andrew dengan rasa tak percaya. “Apa itu ibunya Andrew?” tanya Sean pada ketiga temannya itu. Gilang, Darren dan Alefukka menggeleng pelan, mereka tidak tahu perihal ibu-ibu yang sedang memeluk Andrew itu. “Apa kalian tidak tahu? Katanya anak ibu Mimi itu sudah hilang lebih dari 9 tahun, beberapa rumor mengatakan...” ucapan Sonia terhenti membuat Sean dan ketiganya merasa bingung dengan informasi yang diberikan Sonia. "Daebak! Kalian inget kan rumor tentang kakak tingkat kita yang hilang pas kita jadi MABA? Ka Stefanus pernah bilang sama kita kalau di kampus ini ada yang hilang dan kita dilarang menyentuh apapun yang kita lihat di halaman belakang kampus,” kata Sonia yang terlihat heboh memprovokator teman-teman mahasiswi lainnya. “Oh rumor itu? Tapi katanya karena Ibu Mimi tidak mau speak up makanya sampai sekarang kasus itu selalu tertutupi, bahkan hanya anak-anak semester atas saja yang tahu perihal itu,” kata Lita yang membenarkan ucapan Sonia. “Maksud kalian apa sih?” tanya Sean yang merasa bingung dengan perkataan gadis-gadis itu yang tampaknya tahu banyak tentang kampus ini melebihi mereka. Sonia menghirup napas dalam-dalam kemudian menatap Sean dengan wajah yang tiba-tiba saja menyeramkan. “Lo pasti kotak-katik PC yang ada di belakang gedung ini kan? Kalau iya berarti selamat lo bakal jadi Andrew junior,” kata Sonia kemudian memalingkan pandangannya ke arah lain. Sean menatap ketiga temannya itu dengan wajah ngeri, bagaimana bisa mereka terjebak menjadi Andrew junior yang akan tinggal di dunia game selamanya? “I-iya gue kutak-katik PC itu karena gue gak tahu, gue pikir PC itu dibuang dan gak ada yang minat,” kata Sean yang merasa bersalah dengan ini semua. Sonia tampak menghela nafasnya dengan wajah yang Sudah kusut. “Ini gua nggak tahu ya,Gue yang tukang gosip atau gimana, tapi yang jelas ka Stefanus pernah bilang soal ini entah kalian dengerin atau nggak. Kalau ada anak yang hilang namanya Andrew dan ia terhisap ke dunia game, dan sejak itu kita dilarang untuk otak-atik halaman belakang kampus apalagi sampai nyentuh PC yang sengaja dibiarin sama Pak Iwan di luar sana, ini udah menjadi rahasia umum kayaknya kalian doang yang belum tahu,” kata Sonia yang merasa kasihan dengan tim extramers. “Tuh! Lagi-lagi harus kita yang kena padahal lo yang salah! Sumpah sih kalau caranya gini gue gak bisa tinggal diam aja, kita bisa seumur hidup di dunia game,” kata Gilang yang sudah mulai panik karena mendengar informasi dari Sonia. Sean tak menghiraukan ucapan Gilang, ia masih ingin mengorek informasi lagi yang sekiranya belum ia tahu untuk mendapatkan sedikit jalan keluar dalam menghadapi misi demi misi. “Terus, apa lo tahu cara keluar dari dunia game itu? Tolong banget kalau kalian tahu bisa langsung kasih tau kita, ah ini satu handytalk mungkin aja kalian bisa berkomunikasi sama kita melalui itu dan jangan lupa kacamata virtual realitynya dipakai jika ingin berbicara dengan kita,” kata Sean mengingatkan, ia benar-benar berharap bahwa mereka bisa keluar dari sana. Sonia menerima handytalk yang diberikan oleh Sean dengan wajah sumringah. “Gue akan usahain oppa Sean! Ahhh miss you so muccch,” kata Sonia yang hendak memeluk Sean, namun Sean dengan cepat kabur dari tempat itu. Hos..hos Sean menghembuskan napasnya kasar, kemudian melihat kampus tersebut yang begitu ramai tidak seperti dunia game yang benar-benar tak ada orang sedikit pun selain zombie, bahkan bisa dipastikan bahwa yang merupakan manusia hanyalah tim extramers dan tim gladiator. Sean mengibas-ngibaskan kaosnya yang basah oleh keringat. Rasanya cuaca begitu panas hingga membuat pengap dan susah bernapas. “Itu Sean kan?” teriak salah satu mahasiswi yang berada di bawah pohon berteriak dengan heboh membuat Bu Marni yang sedang kebetulan lewat di sana langsung melihat ke arah yang ditunjuk mahasiswi itu. Bu Marni tampak terkejut ketika melihat Sean dan ketiga temannya berada di dekat perpustakaan sedang merasa lelah, bahkan baju mereka terlihat tak terurus. Wanita paruh baya itu cepat-cepat menghampiri tim extramers dengan wajah berbinar. “Apakah ini benar-benar kalian? Sean, Darren, Gilang, Alefukka apa ini beneran kalian?” tanya Bu Marni dengan wajah bahagia sekaligus terharu. Dengan datangnya mereka sudah pasti dirinya akan menjadi pahlawan bagi ibu-ibu pendemo tersebut, bahkan ia bisa menyelamatkan nama kampus dengan kembalinya anak-anak itu. “Bu, tolong kami! Kami terhisap ke dunia game sejak pertunjukkan di auditorium itu!” kata Gilang yang memelas memeluk kaki Bu Marni berharap bahwa kali ini saja Bu Marni bisa berhati malaikat dan membantu mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD