Chapter 14

1458 Words
"Lukisan itu tidak perlu diganti rugi," ujar Haji Daeng Karamot. Amran melirik ke arah dua pamannya. "Tetap saja kami harus mengganti, Haji. Pasalnya yang membuat lukisan itu rusak adalah salah satu keluarga kami," ujar Ghifan. Wajah Haji Daeng Karamot terlihat serius dan iba. "Saya anggap lukisan saya rusak sebagai buang s**l. Saya berharap anak atau cucu dari keluarga Nabhan dan Basri segera ditemukan. Saya tidak ingin mendapatkan uang di atas hilangnya anak orang," balas Haji Daeng Karamot. "Tapi dari pihak Nabhan dan Basri telah sepakat untuk menggantikan lukisan Anda yang rusak," ujar Ghifan. Haji Daeng Karamot melirik ke arah Ghifan. "Bapak Nabhan, saya sama sekali tidak marah lukisan saya rusak oleh anak kecil, karena saya tahu bahwa anak itu tidaklah bersalah karena masih kecil dan sama sekali tidak berdosa dan itu tidak disengaja. Saya ikhlas," ujarnya. Ghifan melirik ke arah Ahsan, sang sepupu. "Maaf, tapi saya memang benar-benar ikhlas, Pak. Saya tidak ada maksud apapun dengan tidak ingin diganti rugi. Anak kecil seperti dia sangat disayangkan sekali harus hilang. Saya berdoa agar dia segera ditemukan," ujar Haji Daeng Karamot lagi. Haji Daeng Karamot benar-benar ikhlas dengan rusaknya lukisan mahal yang dia pesan. Dia tidak bisa marah pada Amir yang merupakan bocah kecil berusia dua setengah tahun. Malah beliau merasa sangat prihatin atas hilangnya Amir. Amran, Ahsan dan Ghifan saling melirik satu sama lain. Dari penglihatan mereka, jelas sekali bahwa Haji Daeng Karamot benar-benar ikhlas dan dia tidak marah. Ghifan mengantuk mengerti. "Terima kasih atas keikhlasan Haji Daeng Karamot, terima kasih juga atas doa Haji, aamiin aamiin aamiin, semoga anak, cucu atau cicit kami segera ditemukan." Haji Daeng Karamot mengangguk mengerti. "Sama-sama. Ingat, fokus saja pada pencariannya tidak usah pusing-pusing dengan lukisan saya. Nyawa lebih berharga dari pada sebuah lukisan, toh lukisan itu bisa dilukis lagi, tapi nyawa? tidak." Ghifan dan yang lainnya mengangguk mengerti. "Haji, jika ada butuh bantuan di masa depan, boleh menghubungi kami," ujar Ghifan. Haji Daeng Karamot tersenyum. "Orang tua seperti saya mau butuh bantuan apa lagi? hanya perlu sholat dan banyak dzikir agar memperbanyak amal baik." Ghifan membalas senyum Haji Daeng Karamot yang perbedaan umur mereka hanya sepuluh tahun. "Baik, Haji, kalau begitu, kami permisi pulang dulu, jangan marah kami tidak bisa berlama-lama karena ada banyak urusan dan Haji tahu sendiri bahwa keluarga kami sedang dalam kesusahan," ujar Ghifan. "Baik baik, mari silakan," balas Haji Daeng Karamot. Mereka saling berjabat tangan lalu Amran dan yang lainnya pergi meninggalkan rumah mewah Haji Daeng Karamot. Sepeninggal Amran dan yang lainnya, anak tertua dari Haji Daeng Karamot berjalan lalu duduk di sofa yang tadi diduduki oleh Amran. "Saya rasa kasihan dengan mereka, keluarga Basri dan Nabhan itu adalah keluarga baik dan dermawan, mereka juga tidak sombong meskipun usaha saya dan usaha dari Pak Ahsan itu adalah saingan," ujarnya. Haji Daeng Karamot mengangguk. "Masalah bisnis tidak perlu dibawa ke masalah pribadi. Anak sekecil itu bisa hilang," balasnya. Dia tidak habis pikir bagaimana pengawasan dari orang dewasa terhadap hilangnya anak kecil yang merusak lukisannya. °°° "Amir … di mana?" tanya Randra dengan suara serak. Randra melihat ke arah sekeliling kamar namun tak menemukan adanya sosok anak kecil yang ceria dan tukang cerewet di sisinya. "Eyang Ran …," ujar Adam. Nada suara Adam terdengar sangat sedih, bahkan dia sudah menangis. "Amir … belum pulang ke sini …." Setelah mengatakan itu Adam tak bisa mengontrol tangisnya yang penuh dengan rasa takut. Meskipun sang adik selalu jahil dan nakal untuknya, namun saudara kandung tetaplah saudara kandung. Wajah Randra terlihat menahan sakit, lalu dia menyentuh *d**a kirinya, butiran kecil keringat turun membasahi pelipisnya. "A-amir …." Randra kesakitan. "Ayah Ran!" Popy histeris saat melihat sang ayah susah bernafas. "Aah! Ben! Alan! bawa Ayah Ran ke rumah sakit!" Popy histeris. Di luar kamar Randra. "Jadi Haji Daeng Karamot mengikhlaskan lukisan beliau yang rusak itu?" Ben terlihat mengangguk mengerti. "Ya, Om Ben. Beliau bilang tidak perlu pusing dengan lukisan yang sudah rusak, hanya fokus untuk pencarian Amir," balas Amran dari seberang telpon. "Baik. Terima kasih Am," ujar Ben. "Ya, tidak masalah, Om," balas Amran. "Ayah Ran!" "Aah! Ben! Alan! bawa Ayah Ran ke rumah sakit!" "Om Ben tutup telponnya-" Ben seketika terkejut setelah mendekat suara histeris istrinya. Dia cepat-cepat menutup telepon lalu berlari ke kamar sang mertua meskipun umurnya yang telah menginjak lebih dari tujuh puluh tahun itu. Di seberang telepon, Amran terlihat sangat khawatir. Dia juga mendengar suara sang tante memanggil panik nama kakeknya. °°° "Ayah Ran, jangan pergi ninggalin Poko lagi … Bunda Momok udah pergi, Amir hilang, jangan Ayah Ran lagi …." Popy menahan sesenggukan dari tangisnya yang tak berhenti. Wajah Alan dan Dimas terlihat sangat khawatir, mereka takut jika terjadi apa-apa pada Randra. Mata Dimas dan Alan memerah setelah mendengar nama istri Randra disebutkan oleh Popy dengan bibir bergetar. Mereka mengingat lagi saat-saat kepergian dari Moti meninggalkan mereka. Detak jantung Alan memompa tak karuan, dia sangat khawatir. Situasi bertambah tidak baik, Amir belum ditemukan dan sang ayah harus dilarikan ke rumah sakit. "Ya Allah … jangan ambil Ayah Ran … jangan ambil Ayah Ran …." Popy berdoa sambil gemetaran takut. Ben memeluk istrinya yang terlihat sangat takut. Di sisi lain rumah sakit. "Papa, Kakek Ran baru saja masuk ruang ICU, beliau serangan jantung," ujar Aryan Fattah. Gaishan yang sedang duduk berbicara dengan adik iparnya yaitu Eric, langsung melirik ke arah Fattah. "Apa?!" Gaishan dan Eric langsung berdiri dari duduk mereka, sementara itu Atika yang masih dirawat di ruang itu terbelalak. "Ya Allah … telpon Ibas, cepat lihat Om Ran …," ujar Atika. Fattah mengangguk. "Iya, Tante." Fattah cepat-cepat melakukan apa yang disuruh oleh Atika, sementara itu Gaishan dan Eric berjalan keluar dari ruang rawat Atika. Mereka menuju ke ruang ICU yang merupakan ruang merawat Randra. "Alya, di sini jaga Tante Atika, sebentar lagi Mama datang," ujar Fattah. "Iya, Mas," sahut sang istri. Di luar ruang ICU, Gaishan dan Eric baru saja sampai. Mereka melihat ke arah dalam ruang ICU di mana ada Miranda yang merupakan mantan perawat profesional itu sedang menaikkan selimut dari ayah mertuanya. Bilal yang mendapat kabar bahwa sang ayah serangan jantung, langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat sang ayah, dia bahkan memberi izin pada orang lain untuk mewakilkannya dalam urusan lain. Bilal melihat wajah pucat sang ayah dari luar kaca ruangan. "Bagaimana?" tanya Gaishan. Popy tak menanggapi pertanyaan dari sepupunya, dia hanya sesenggukan. "Tidak baik, kondisi Ayah sangat buruk, selama dua puluh empat jam harus dilihat terus," jawab Ben. "Bagaimana keadaan Atika?" tanya Ben. "Alhamdulillah sudah agak membaik, namun begitulah, masih terlihat tertekan karena merindukan Amir," jawab Gaishan. "Bawa Adam ke ruang rawat Atika, meskipun tidak ada Amir, setidaknya Adam dapat mengobati rasa rindunya." Ben mengangguk mengerti, "Aku akan menelepon Lilis agar membawa Adam ke ruang rawat Atika." °°° Aqlam terlihat sedang serius mengamati layar laptop yang sedang melakukan pencarian terhadap Amir, dia berada di atas helikopter. Anak buahnya menoel lengan kanan Aqlam. "Maaf Tuan Aqlam, telpon dari istri Anda." Bodyguard itu memberi telponnya pada Aqlam. Aqlam menerima telpon itu dan menyambungkan melalui earhead agar dia dapat mendengar suara sang istri yang sedang menelponnya melalui nomor telepon dari salah satu bodyguardnya. "Ya, Chana?" ujar Aqlam. "Aqlam, tidak baik, Kakek Ran serangan jantung! Chana takut di sini sendiri!" Chana menangis sesenggukan dari seberang. "Aku akan ke Sorong untuk menjemputmu dan kita akan ke Jakarta hari ini," balas Aqlam tanpa negosiasi dengan istrinya. "Ya, cepat. Chana takut! takut Kakek Ran kenapa-napa! Chana nggak bisa tidur dan nggak bisa istirahat, selalu mikirin Kakek Ran yang sakit, mikirin Amir yang belum ditemukan dan mikirin Aqlam yang ada di sana," ujar Chana ketakutan. Wajah dingin Aqlam terlihat menyesal. Dia menyesal karena telah meninggalkan sang istri di Sorong meskipun ada banyak bodyguard yang menjaga istrinya. "Chana, jangan menangis. Aku akan ke sana sekarang." °°° Di dalam hutan, Askan melanjutkan pencariannya terhadap Amir. Sudah tengah hari namun dia belum menemukan lagi jejak Amir. Anjing pelacak yang membantu mereka sama sekali belum menunjukan tanda-tanda keberhasilan. "Tuan Askan, silakan istirahat dan makan siang dulu," ujar seorang bodyguard Basri. Askan duduk di akar pohon lalu menurunkan *s*****a laras panjang di samping kanannya. Melakukan pencarian di dalam hutan Papua harus dengan memegang *s*****a, sebab mereka tidak tahu kapan musuh akan menyerang. Askan menerima makanan yang diberikan oleh bodyguard Basri. "Hutan ini sangat lebat, aku tidak bisa membayangkan bagaimana Amir akan melewati hutan ini," ujarnya. "Semak-semak belukar dan lebatnya hutan, belum lagi hewan buas yang berada di hutan ini, bagaimana Amir bisa melewati semua ini?" ada nada putus asa dalam ucapan Askan. Jika itu orang dewasa, maka orang itu mungkin saja dapat bertahan hidup di hutan ini, namun jika itu anak kecil, maka itu mustahil bagi pemikiran orang lain. Mustahil bagi manusia namun tidak mustahil bagi Tuhan. Jika Tuhan berkehendak, jadilah! maka Jadilah! °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD