Chapter 15

1610 Words
Amir melihat orang-orang dewasa sedang sibuk memasak, ibu-ibu di suku pedalaman yang sekarang tinggal bersama Amir itu terlihat sangat sibuk meniup api. "Taruh di sini!" Yoke memberi perintah pada kawanan bapak-bapak dan pada lelaki. Enam orang laki-laki dewasa membanting babi hutan yang baru saja mereka tangkap pada saat berburu. Dua di antara babi hutan itu telah terluka dan berdarah karena terkena mata panah tajam. Sementara babi hutan yang satunya lagi masih terlihat sehat-sehat saja, hanya babi hutan itu berteriak, mungkin dia ingin agar dilepaskan, namun sayangnya, keinginan babi hutan itu tidak akan terpenuhi karena sebentar lagi dia akan menjadi hidangan untuk keluarga angkat Amir. Wajah Mace terlihat khawatir setelah melihat tiga ekor babi hutan yang telah terbaring terikat kaki tangan di depannya. Dia melirik ke arah Yoke dan berkata, "Yoke, tra ada rusa kah atau apa kah? nanti Amil mau makan apa ini?" Yoke tersenyum senang. "Oh, Mama, ko tenang saja, lihat sana!" Yoke menunjuk ke arah belakangnya. Dua orang laki-laki dewasa membanting seekor rusa yang berukuran sedang dan sudah bisa dijadikan santapan. "Mama, kita dapat satu rusa nih, cepat bikin sudah," ujar salah satu lelaki yang memikul kayu yang digunakan untuk mengangkat rusa itu. Wajah Mace terlihat senang. Dia melihat ke arah Amir. "Amil, ko makan rusa toh?" Amir yang sedang serius melihat ke arah tiga babi hutan itu melirik ke arah rusa yang ditunjuk oleh Mace. "Um … yang penting bukan babi saja, Mace," jawab Amir setelah dia berpikir. Amir sedang mengingat ucapan sang kakek buyut. "Nah, pas! Yoke, *bunuh sudah itu rusa, cepat!" perintah Mace. "Siap! siap!" Yoke mengangguk bersemangat. "Mama, kita dapat sayur ini, banyak eh!" ujar anak-anak gadis. "Nah, mari! mari!" Mace memanggil mereka ke tempat masak masal. Sayur yang dibawa oleh gadis-gadis suku pedalaman itu berupa pakis, katuk yang tumbuh secara bebas, daun matel, dan beberapa sayur lain. Amir melirik ke arah Liben. "Kaka Liben, itu Om Yoke mau bunuh babi lusa kah?" tanya Amir. Liben mengangguk. "Iya, Amil." "Amil bisa lihat kah?" tanya Amir. Dua hari lebih tinggal bersama Liben dan keluarganya membuat Amil cepat memahami logat bahasa mereka, apalagi dia pernah melakukan video call dengan teman ayahnya yang juga orang asli Papua. "Boleh, mari kita lihat," jawab Liben. Liben memegang tangan Amir lalu mereka berjalan ke arah di mana Yoke, Hans, Polo dan laki-laki lain sedang bersiap-siap untuk menyembelih hewan buruan mereka. "Om Yoke, Amil mau lihat Om Yoke bunuh *babi dan lusa," ujar Amir. "Ok, Anak! ko duduk cantik di batu itu nanti lihat saja Om Yoke bunuh babi dan rusa ini," balas Yoke. Liben mendudukkan Amir di atas sebuah batu besar dan setelah itu Liben bergabung untuk membantu Yoke dan lainnya. Beberapa anak-anak yang diselamatkan oleh Amir duduk di pinggir Amir, mereka menemani Amir, namun Pace datang dan berkata, "Ayo semua bantu-bantu biar selesai lalu cepat kita adakan doa, jangan sampai malam lagi!" Anak-anak semuanya tersebar melakukan apa yang disuruh Pace, tinggal lah Amir sendiri yang bagaikan raja duduk di atas batu singgasananya dan melihat orang yang bekerja. Pace menghampiri Amir lalu mengusap sayang kepala Amir. "Amil lihat saja e, nanti sebentar lagi Amil sudah bisa makan." "Ok, Pace." Amir mengangguk mengerti. Bocah laki-laki itu menikmati melihat keluarga angkatnya yang sibuk. °°° Irfan dan Mayjen Markus turun dari mobil tentara yang mereka tumpangi. Banyak prajurit yang bersiaga karena mengawal dua tentara perwira tinggi itu. Mereka berjalan ke rumah dinas yang merupakan rumah dinas gubernur Papua. Tak berapa lama mereka sudah duduk berhadapan dengan gubernur Papua saat ini. "Kenapa sudah tiga hari dia hilang baru bertahun saya?" gubernur Papua yang bernama Lukas itu terlihat agak marah. Pasalnya, anak yang hilang itu berada di dalam wilayah kekuasaannya, dan dia baru tahu tiga hari setelah anak itu hilang. Wajah Irfan terlihat menyesal. "Maaf Pak Gubernur, bukannya kita tidak mau memberitahu hal ini, namun hari itu terjadi pecah kerusuhan dan semuanya fokus untuk mengamankan wilayah, saya juga hari itu sempat menelpon Anda untuk membahas tentang bantuan yang diturunkan namun saya tidak sempat memberitahu masalah hilangnya keluarga saya. Karena saya tahu, sebagai abdi negara, keamanan negara yang nomor satu." "Aduh, Pak Irfan. Pak Irfan ini … saya tidak habis pikir e, bisa begini ni." Lukas menggelengkan kepalanya, dia tidak mengerti bagaimana pengawasan orang dewasa terhadap anak kecil itu. "Itu bukan anak kecil sembarangan loh. Dia punya orang tua itu mati-matian mengabdikan diri di tanah Papua ini untuk memberantas pemberontak dan mengamankan kestabilan negara. Baru saya dikasih tahu hari ini kalau anak kapten Lia dan Pak Basri hilang di daerah kekuasaan saya, saya marah sekali!" Irfan dan Markus terlihat iba. "Aduh, Pak Irfan … saya tidak habis pikir e." Pak Lukas terlihat menyayangi hal ini. "Biar seribu kali saya pikir sampai ulang-ulang itu bagaimana sampai anak kecil itu bisa hilang, saya seperti rasa menyesal begitu, adooh, tidak habis pikir e," ujar Pak Lukas sambil menggelengkan lagi kepalanya. "Begini, terkait dengan hilangnya anak Kapten Lia, pada saat itu, anjing berjenis alaskan malamute dan kucing yang berjenis British Shorthair juga hilang bersamaan dengan anak Kapten Lia. Kami perkirakan sekarang hewan yang adalah milik Anda itu sedang bersama dengan anak dari Kapten Lia," ujar Irfan. "Ya Tuhan! benar e, saya punya kiriman anak anjing dan anak kucing dari Menteri Pak Sabri itu. Hari itu saya tidak tahu sama sekali kalau akan terjadi kerusuhan, makanya saya sudah lupa itu kiriman," balas Pak Lukas baru mengingat kirimannya yang berupa anak anjing dan anak kucing yang sekarang telah menjadi teman baru Amir di hutan pedalaman papua. "Jadi itu hilang dengan anak Kapten Lia?" tanya Pak Lukas. "Menurut pihak dari otoritas bandara Sentani, kemungkinan anak anjing dan anak kucing milik Anda masuk ke dalam kardus yang berisi buah apel kiriman untuk walikota Jayapura. Dugaan kami, Amir-lah yang membuka pintu kandang dari hewan kiriman Anda," jawab Irfan. Wajah gubernur Papua terlihat berpikir. "Saya akan kasih bantuan untuk orang-orang saya. Bukan polisi atau tentara, tapi orang asli Papua yang lahir dan besar di sini untuk mencari anak Kapten Lia. Saya pikir, orang asli di sini yang lebih tahu mengenai seluk-beluk hutan Papua ini." Irfan membangun setuju. "Terima kasih, Pak Gubernur." "Ah, tidak apa-apa. Itu bukan masalah. Yang jadi masalah sekarang, anak itu hilang. Adooh, baru itu Kapten Lia yang punya anak lagi," balas Pak Lukas. "Nanti saya telpon Ibu Walikota, saya kasih tahu mengenai kabar ini," ujar Pak Lukas. Irfan mengangguk setuju. °°° Pada saat sore hari menjelang malam, orang suruhan dari gubernur Papua turun menyusuri hutan tempat diduga hilangnya Amir. Beberapa tentara bersenjata turut menemani mereka, termasuk Lia dan Askan. Pencarian dilakukan sementara tentara yang lain difokuskan untuk mengamankan wilayah dari serangan kelompok pemberontak. Naufal berjalan di belakang salah satu orang suruhan dari gubernur Papua. Dia melirik ke arah sang istri yang sekarang sedang serius melakukan pencarian. Aku tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari nanti aku akan setakut ini kehilangan anakku, batin Naufal. Di hutan Papua sisi lain. Dialog dianggap bahasa Spanyol. "Tidak ada," ujar laki-laki a. Laki-laki b yang berparas bule terlihat susah. "Cari terus, Tuan tidak menerima kegagalan." Laki-laki a mengangguk mengerti. "Apalagi yang hilang adalah keponakan beliau, cari mati kalau kita tidak menemukan keponakan Tuan Ruiz sesegera mungkin," ujar laki-kaki b. Wajah laki-laki a terlihat takut dan dia bergidik ngeri. Tuan besar Ruiz terkenal sangat kejam dan jahat. Dia tidak akan mengampuni kesalahan orang yang mengkhianati dirinya atau membuat salah padanya. °°° Suasana terlihat khusyuk di tempat perkumpulan Amir saat ini. Amir melihat Pace sedang membacakan doa syukur atas diangkatnya Amir menjadi anak angkat Pace. Bahasa suku yang tidak Amir mengerti sama sekali, membuat Amir mengerutkan dua keningnya seperti mie goreng ayam kremes. Namun, meskipun Amir tidak mengerti bahasa yang diucapkan oleh Pace, Amir tahu bahwa Pace sedang berdoa pada Tuhan yang Pace sembah. Amir hanya duduk diam sambil melihat yang lainnya mengamini doa dari Pace. Setelah berdoa, Pace membuat beberapa motif dari cat putih dan hitam pada bada Amir. Amir sekarang terlihat persis seperti Pace dan lainnya, hanya bedanya warna kulit Amir yang lebih terang. "Anak, ko sekarang anak angkat Bapa. Apapun yang terjadi, ko tanggung jawab Bapa," ujar Pace. Amir hanya tersenyum lalu membalas, "Ok." Jempol kanannya terlihat terangkat ke arah Pace. "Mari semua, kita makan makanan yang sudah dimasak bersama-sama. Ayo ambil makanan!" perintah Pace. Semua mengangguk. "Pace, Amil mau makan ubi bakal dan lusa panggang!" ujar Amir terlihat senang. "Siap, Anak. Tunggu Bapa ambil," balas Pace. Amir mendapat bagian paha rusa yang lembut dan harum. "Uuum, haluuuum!" ujar Amir senang. Sebelum menggigit daging paha rusa panggang itu, Amir mengucapkan doa makan yang diajari oleh kakek buyutnya. Doa itu berbunyi. "Bismillah." Ya, itu doa makan Amir, singkat padat dan jelas. Malam ini adalah malam yang bahagia bagi keluarga angkat Amir. Mereka menikmati hidangan bersama yang merupakan hidangan rasa syukur dari diangkatnya Amir menjadi bagian dari keluarga mereka. Keluarga angkat Amir itu berjumlah lebih dari seratus orang, mereka terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, lelaki dewasa, perempuan dewasa, gadis-gadis dan anak-anak kecil. Amir memberikan dua potong daging rusa panggang pada Jingjing dan Cingcing. …. Suasana sangat berbeda dengan keluarga angkat Amir. Di ruang rawat Atika, dia memeluk Adam. "Amir …," gumam Atika. Bushra yang merupakan nenek kandung Amir dan Adam itu mengusap air matanya saat melihat kakak iparnya yang bernama Atika itu masih terpukul perihal hilangnya sang cucu. Meskipun Atika bukan ibu kandung dari Ariella, yaitu anak kandung Bushra, namun Atika telah mengasuh Ariella dari umur tiga tahun hingga Ariella dewasa, Atika telah menganggap Ariella seperti anak kandungnya sendiri. Di tempat lain rumah sakit. Chana terlihat sangat sedih saat melihat sang kakek di dalam ruang ICU. Setelah tiba dari Sorong ke Jakarta, dia tidak membuang waktu, langsung melihat sang kakek yang sakit. Air mata Chana tumpah. "Kakek Ran …." °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD