Chapter 16

1729 Words
Hari baru telah tiba. Amir menguap baru bangun tidur. Badannya terasa sangat nyaman sekali bangun di pagi hari, mungkin karena dia tidur di tumpukan daun rumbia yang dirumbai. Aroma khas hutan hujan tropis khas hutan pedalaman papua tercium ke dalam indera penciumannya. Amir melirik ke arah pintu kamar milik Liben yang hanya ditutup menggunakan daun rumbia atau daun sagu yang dikeringkan dan diberi penyangga berupa kayu. Tidak ada sang kakak angkat di sampingnya, itu berarti kakak angkatnya telah bangun lebih dulu daripada dia. Amir berjalan keluar dari kamar, dia melihat Mace sedang masuk ke dalam rumah kecil sederhana mereka dengan membawa anyaman bambu berisi ubi rebus. "Ah anak, sudah bangun kah? ini mari makan pagi dulu, Mace baru angkat ubi rebus ini," ujar Mace ke arah Amir. Amir mengangguk. Dia duduk di tengah ruang di dalam rumah itu melihat Mace memberikannya ubi rebus. "Tunggu Mace ambil air minum untuk Amil dulu," ujar Mace keluar ke dapur kecil untuk mengambil air minum. Gelas yang digunakan oleh suku ini adalah dari buah maja yang dibersihkan dalamnya dan dijemur di bawah sinar matahari agar keras dan dapat digunakan untuk perabotan. Ada juga tempat minum yang dibuat dari ruas bambu dan beberapa labu yang bisa dijadikan tempat atau wadah yang telah dikeringkan. Air hangat yang baru diangkat dari tungku tradisional itu terlihat mengepul. "Masih ada rusa panggang tadi malam, Bapa ada bilang untuk orang-orang supaya kasih simpan sedikit untuk Anak," ujar Mace. Mace sibuk membuka tempat penyimpanan makanan yang ada rusa panggang. Amir hanya mengangguk. Begitu Mace memberikan potongan daging rusa panggang di dalam piring anyamannya, Amir berkata, "Telima kasih, Mace." Mace mengangguk dan tersenyum senang. Amir tidak pernah kekurangan senyum untuk keluarga angkatnya. Amir memisahkan dua bagian kecil daging rusa panggang untuk diberikan pada Jingjing dan Cingcing. Tiga anak campuran itu makan pagi dengan sangat khusyuk. "Mace, Pace dan Kaka Liben ke mana?" tanya Amir setelah meminum air hangat dari tempat minum. "Oh, Liben ikut Pace, Om Yoke dan lain-lain untuk berburu," jawab Mace. "Oh belbulu …," gumam Amir sambil manggut. "Mace, tiga babi hutan kemalin sudah habis kah?" tanya Amir. "Yah begitulah Anak, kita banyak orang jadi tiga babi kemarin sudah habis," jawab Mace. Amir manggut-manggut mengerti. "Mace, Amil boleh kah ikut Kaka Liben dan Pace pelgi belbulu?" Mace terlihat berpikir, dia melihat postur tubuh Amir. Untuk anak seumuran Amir, dia mempunyai badan yang cukup subur dan badan berisi, Mace perkirakan mungkin di keluarga asli Amir, dia diberi makan atau nutrisi yang cukup. Badan anak angkatnya itu terlihat sangat terawat. Bekas luka goresan dari semak belukar telah mulai menghilang. "Anak, Mace takut jangan sampai kau pergi berburu lalu kau hilang lagi," jawab Mace. Wajah Amir terlihat memelas. "Tapi Amil juga ingin sepelti Pace dan Kaka Liben yang bisa berbulu babi dan lusa …," balas Amir. Wajah Mace terlihat tak tega dengan Amir yang terlihat memelas. "Nanti Pace pulang baru Mace kasih tahu." Amir tersenyum senang. "Ok, Mace-ku." Jempol kanan Amir dinaikkan ke arah Mace. Mace yang mendengar panggilan dari Amir itu tertawa senang. Dia bahwa mendekat ke arah Amir lalu mengecup singkat dahi Amir dan berkata, "Habis makan main dengan Balo dorang e?" (Dorang=mereka) "Um, ok Mace-ku," sahut Amir. Mace tertawa geli. Umur Mace yang sudah menginjak usia lima puluh tahun lebih itu sudah tidak bisa melahirkan anak lagi, kehadiran Amir di tengah keluarganya membuat Mace sangat senang. "Ah, Mace, Amil belum cuci muka!" Amir terbelalak panik. "Hahahaha!" Mace terbahak. "Abis makan cuci muka lalu main," ujar Mace. "Ok ok!" Amir mempercepat makan paginya. Beberapa saat kemudian. "Balo, ingat e, ko jaga ini ko punya sodara laki-laki, jangan main jauh-jauh, main di sekitar sini saja," ujar Mace memperingatkan seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun. Balo mengangguk mengerti. "Baik, Mama Ina." "Ingat, pegang Amil punya tangan jangan sampai lepas," ujar Mace lagi "Baik, Mama Ina." Balo mengangguk kuat. "Nah pergi sudah main!" perintah Mace. "Baik, Mama Ina." Balo mengangguk, dia memegang tangan kiri Amir dan berkata, "Amil, mari ikut sa." Amir mengangguk. "Baik, Kaka Balo, ayo!" Amir terlihat bersemangat bermain bersama keluarga barunya. Lain halnya di hutan pedalaman, lain juga dengan suasana rumah sakit Angta saat ini. Suara tangis dan deru air mata menyelimuti keluarga besar Amir. "Sudah empat hari Amir hilang, tapi sampai sekarang belum juga ditemukan, ya Allah …." Popy tak bisa diam sesenggukan di pagi hari yang cerah itu. Suasana cerah awan tak seindah suasana hati Popy yang mendung. "Aku akan ke Jayapura untuk turun langsung melakukan pencarian," ujar Ben. Popy melirik ke arah sang suami, air mata masih memenuhi wajahnya. "Tapi di sana belum aman. Opal dan Aril saja diserang saat sedang mencari Amir, Ben." Ben menghapus air mata kekhawatiran sang istri lalu membalas, "Tenang Sayang, orang-orang Ruiz sudah ada di sana dan sedang melakukan pencarian. Aku juga akan pergi dengan beberapa bodyguard Basri." Popy memegang dua tangan sang suami. "Ben, bawa Amir ke sini, bawa pulang Amir." Ben mengangguk. Bushra menyentuh tangan lengan sang suami. "Bagaimana?" Eric melirik ke arah wajah pucat sang istri. "Masih dalam pencarian, untuk sementara belum ada info baru." Wajah Bushra terlihat kusut. Dia menutup wajahnya dengan dua telapak tangan lalu terdengar suara tangisannya. "Amir … Amir … Amir … Amir … Nenek Sira kangen Amir …." Wajah Eric terlihat susah ketika melihat sang istri meraung menangisi hilangnya sang cucu. °°° Pada siang hari, pencarian yang dilakukan oleh Naufal dan Lia tidak membuahkan hasil. Mereka sedang duduk di bawah pohon untuk makan siang. Naufal terlihat sangat kesal dan bersusah hati. Sang anak belum juga ditemukan. Di balik pohon yang diduduki Naufal, ada sang istri yang duduk ingin menyendiri. Tatapan mata yang ditunjukan oleh Ariella terlihat tidak seperti biasanya. Tidak hangat seperti tatapan kepribadian pertama tidak juga dingin seperti kepribadian kedua yang kejam, tatapan ini terlihat lurus ke arah nadi tangan kiri Ariella sendiri. Tangan kanan Ariella bergerak memegang pisau lipat yang ada di saku pisau pinggang kanannya. Bodyguard melangkah mendekat ke arah Ariella berniat memberikan makan siang untuk Ariella. "Nyonya …," ujar bodyguard itu terlihat bingung dengan tingkah sang nyonya. Matanya membulat sempurna alias melotot lebar setelah melihat mata *pisau tajam itu hendak mengiris nadi pergelangan tangan kirinya. "Nyonya!" Bodyguard membuang bekal makanan dan langsung menerjang Arilla, namun seseorang lebih cepat dari bodyguard itu. Dia adalah Naufal. "*s**l," umpat Naufal. Hampir saja nadi sang istri putus. Tangan Naufal memegang kuat dua tangan Ariella, mata mereka saling beradu. "L-Lolly …," gumam Naufal. Naufal tahu kepribadian yang ini, ini adalah kepribadian ketiga yang numpang menghuni di dalam tubuh sang istri, kepribadian ini jarang muncul. Beberapa prajurit yang sedang beristirahat melihat ke arah Naufal dan Lolly yang berusaha untuk melepaskan cengkraman. Naufal berusaha agar cengkramannya tidak lepas dari Lolly, sementara Lolly berusaha untuk melepaskan cengkraman Naufal agar dia bisa mengiris sendiri nadinya. "Lolly, dengarkan aku, kamu sedang lelah, ayo istirahat dulu," ujar Naufal dengan nada persuasif. Beginilah sang istri jika terlalu lelah, maka sewaktu-waktu kepribadian ketiga akan muncul seperti sekarang ini. Lolly hanya diam tak membalas ucapan dari Naufal, dia tetap melihat ke arah mata *pisau dan nadinya. Naufal menggertakkan giginya lalu mengcengkram erat pergelangan tangan Lolly membuat pisau yang berada di tangan Lolly terjatuh ke kaki kiri Lolly. Setelah melihat pisau itu terlepas dari tangan Lolly, Naufal melepaskan tangan kiri Lolly dan hendak mengambil *pisau itu, namun sayang sekali, tangan kiri Lolly bergerak secepat kilat meraih *pisau itu lalu …. Sek! "Tuan!" bodyguard terbelalak setelah melihat ujung pisau menusuk ke arah tangan kanan Naufal. Beberapa prajurit terbelalak kaget, begitu juga dengan orang suruhan dari gubernur Papua. °°° Amir dan empat orang anak terlihat duduk di bawah pohon besar. Koteka kecil yang dipakai oleh Amir terlihat imut dan menggemaskan di pinggang turun ke bawah. "Amil, ada kali kecil di sini, kita cari udang ayo!" ujar Balo. "Ok, Kaka Balo!" Amir mengangguk setuju. Amir, Balo dan empat anak lainnya yang berusia sekitar sembilan hingga sepuluh tahun pergi ke sungai kecil yang disebutkan Balo. Mereka berjalan sekitar seratus lima puluh meter dari tempat tinggal mereka. Pohon yang rimbun menutupi cahaya matahari yang sedang menyebarkan cahanya kekuasaannya pada siang hari itu hingga suasana di dalam hutan itu terlihat agak gelap. Akar pohon terlihat sangat besar, bisa diperkirakan bahwa umur pohon itu adalah lebih dari ratusan tahun. Tempat itu terlihat tidak terjamah oleh siapapun. Setelah berjalan pelan mengikuti langkah kaki Amir yang kecil selama beberapa saat, mereka tiba di sungai kecil yang memiliki banyak bebatuan besar dan kecil. Perjalanan mereka disertai Jingjing dan Cingcing yang tidak mau pisah dari Amir. "Balo, cari daun kaladi sudah untuk tangkap udang!" seru seorang anak kecil berumur sepuluh tahun. "Jele, ko tra lihat kah sa ada bikin apa ini?" Balo menunjuk ke arah tangannya yang sedang memegang erat telapak tangan Amir. "Kalau sa lepas tangan Amil, nanti Mama Ina marah e." "Oh, iyo iyo. Sa yang ambil daun kaladi," balas Jele. Jele dan dua kawannya mengambil daun keladi untuk menangkap udang di balik bebatuan. "Kaka Balo, ayo kita petik juga daun keladi lalu tangkap udang," ujar Amir. "Ok." Balo menyetujui. Dia dan Amir berjalan memetik dua daun keladi berukuran sedang. "Mari turun ke air sudah!" perintah Jele. Balo memegang tangan kiri Amir lalu mereka secara pelan-pelan turun ke air. Balo dan Jele membuka perlahan batu sedang sementara dua orang teman mereka yang lain terlihat bersiap-siap untuk menangkap udang dengan daun keladi. "Poro, Cilo, hah, capat sudah!" perintah Jele. Poro dan Cilo menangkap udang yang berlindung dibalik bebatuan. Amir yang melihat udang sebesar jari kelingkingnya ikut tertantang untuk menangkap udang. "Dapat!" seru Poro. "Eh, empat e!" Balo terlihat senang. Udang sebesar jari tengah mereka tertangkap. "Sa dapat dua saja!" seru Cilo. Udang seukuran jari kelingkingnya terlihat terperangkap di atas daun talas. Semenatar itu Amir manggut-manggut mengerti setelah melihat cara para saudaranya menangkap udang. Amir bersiap-siap melangkah pelan ke sebuah batu seukuran kepala orang dewasa. Sementara itu Jingjing ikut turun ke air, Cingcing memilih untuk melihat dan duduk di atas bebatuan di pinggir sungai. Mata Amir melirik ke arah sesuatu yang dianggapnya pasti adalah udang. Matanya terlihat cerah. Dengan perlahan Amir menangkap udang yang dikiranya itu. "Kaka Balo, Amil dapat udang besal!" seru Amir. Dia memperlihatkan udang tangkapannya ke arah Balo dan kawan-kawan yang sedang meletakan udang tangkapan mereka ke tempat kering. Mata Balo melotot takut, dengan cepat dia berlari secepat mungkin ke arah Amir, capit hewan itu terlihat hendak menusuk tangan kanan Amir. Balo berteriak, "Bapaaaaa ee! itu hewan racun!" °°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD