Dare

1565 Words
Botol kembali di putar, dan seketika berhenti di hadapan Tira untuk ke dua kalinya. "Truth," ucapnya. Wawa, Mutia dan juga Hana berpikir sejenak, pertanyaan apa lagi yang akan mereka berikan. "Siapa nama cowok yang dijodohin sama kamu itu?" tanya Wawa. "Ronal," jawabnya santai. "Ronal? Kaya pernah dengar nama itu. Tapi di mana yah?" Hana dan Mutia kompak mendengus mendengar ucapan Wawa. "Ya iyalah pernah dengar, orang banyak yang namanya Ronal. Ketua kelas kita waktu SMA juga, namanya Ronal, kan?" ujar Hana. "Jangan bilang Ronal yang itu?" tanya Hana pada Tira setelah tersadar akan ucapannya. Tira mengangkat bahunya acuh. "Mana aku tau, aku aja nggak pernah ketemu. Aku hanya tau namanya Ronal, udah, itu doang!" "Tapi, kalau Ronal yang mantan ketua kelas kita itu tampangnya boleh juga, Ra!" kata Mutia, Wawa dan Hana mengangguk setuju. "Bodoh amat lah! Udah, lanjut!" Sudah Tira bilang bukan, kalau dia malas membahas masalah perjodohan itu? Permainan kembali berlanjut. Hana meneguk ludah kasar, saat botol yang diputar berhenti tepat mengarah padanya. Ia mengalihkan pandangan pada tiga sahabatnya itu, dan hanya senyuman para iblis betina itu saja yang ia dapatkan. Terlebih Wawa. Gadis itu benar-benar dendam padanya gara-gara masalah si Asdos tadi. "Truth or dare?" pertanyaan horor itu keluar dari mulut Wawa yang sudah tak sabar menantikan kesempatan tersebut. Mata gadis itu berkilat licik, menanti pilihan Hana. Hana terdiam dengan raut tegang. Sebenarnya, ada satu masalah yang selama ini selalu ditanyakan oleh sahabatnya, namun selalu ia sangkal. Masa dia harus jujur sekarang, sih? "Dare," jawabnya, membuat tiga gadis di hadapannya sedikit kecewa. Akhirnya, Hana lebih memilih melakukan tantangan dibanding mengungkap kejujuran. Namun, tiba-tiba otak penuh dendam milik Wawa langsung mendapat ide brilian. "Nembak Pak Firman!" Hanya tiga kata, namun membuat Hana langsung memucat. Pak Firman adalah satu-satunya dosen termuda di Fakultas mereka. Wajahnya yang tampan, mampu membuat siapa saja terpukau akan hal itu. Dia tergolong Dosen yang pendiam dan kalem, bahkan nyaris menyentuh kata dingin. Dan yang lebih parahnya, Pak Firman itu duda anak satu. Masa iya Hana harus menembak itu Dosen duda? "Emm...Pak Firman yang satpam SMA kita dulu, kan?" ngeles Hana. "Itu Pak Kirman, Han! Jangan pura-pura nggak tau," kesal Wawa. "Hehehe! Bisa ganti target nggak?" tawar Hana dengan kekehan hambar. Mana berani dia melakukan itu, karena yang dipertaruhkan nanti bukan hanya harga diri, tapi nilai mata kuliahnya juga. Tiga sahabatnya kontan menggeleng tegas, "No!" ujar mereka serempak. Hana meringis pelan, tak ada pilihan lain kalau seperti ini. "Ya udah! Tapi nggak sekarang ya? Kalian kan tau, kalau tuh Dosen nggak mau waktu di luar kampusnya diganggu Mahasiswa. Apalagi hanya untuk hal nggak penting kayak gini," bujuk Hana. Ia berusaha menunda, dan setelahnya Hana hanya berharap tiga orang ini lupa ingatan mendadak, agar ia bisa bebas. "Oke! Kebetulan besok Mata Kuliahnya Pak Firman." Mutia menyetujui. Mata Hana membulat sempurna, bagaimana bisa ia lupa hal itu? "O...oke" okein aja dulu kali yah? Siapa tahu besok doa agar teman-temannya amnesia seketika terkabul. "Karena kita udah kena semuanya, lebih baik kita tidur. Udah jam setengah dua belas juga." Mutia yang takut jika permainan di lanjutkan dan ia akan kembali kena, akhirnya mengajak mereka untuk berhenti. "Iya. Aku juga capek, tegang mulu liat botolnya mutar," timpal Tira yang disambut tawa tiga temannya. "Siapin mental buat besok ya, Han" ejek Wawa pada Hana. "Jangan lupa, kamu juga harus siapin mental, kalau Frengki tau siapa yang bilang cinta ke dia lewat panggilan!" Wawa seketika merutuki mulut Hana, padahal ia tadi sempat lupa. Sepertinya ia dan Hana memiliki point satu sama. *** Sejak pagi, Hana merasa gelisah karena memikirkan tantangan dari para sahabatnya semalam. Sebentar lagi waktu Pak Firman masuk kelas, dan itu artinya, kalau sebentar lagi Hana harus siap mempermalukan diri sendiri. Meski berstatus duda, berdasarkan gosip yang sering Hana dengar, pria itu sama sekali tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan manapun. Jadi, besar kemungkinan kalau Hana akan ditolak, atau lebih mirisnya lagi semua ini akan berpengaruh ke nilai semesternya. Hana benar-benar takut jika mendapat nilai E di semester ini. "Semangat Hana!" bisik Mutia. Ia tahu, kata penyemangat tersebut adalah sebuah ejekan. Teman-temannya benar-benar laknat. "Kalian nggak ngerasa iba apa liat aku? Ayolah, kita temanan sejak SD, masa kalian Setega itu, sih?" bujuk Hana, berharap semoga para sahabat laknatnya itu luluh. Sayang, hanya gelengan kepala dari mereka menjadi jawaban. "Semalam aja, kamu tega nantang aku untuk hubungin si Frengki," ujar Wawa. Ia masih tak terima dengan perihal semalam. "Lagian Han, siapa tau aja kamu lagi beruntung hari ini," ujar Tira menambahkan. "Beruntung bagian mananya? Hah?" Pekik Hana pelan, takut anak-anak kelasnya mendengar. "Ya, siapa tahu ajakan dia khilaf terus nerima kamu. Udah tampan, mapan, punya pekerjaan tetap, dewasa, dapat bonus bocil lagi." Mutia yang setuju dengan ungkapan Tira mengabsen semua kelebihan Dosen mereka itu. "s****n!" Maki Hana. "Mulutnya, beb" tegur Wawa. "Ckk! Kayak kalian nggak pernah ngomong kasar aja," dengus Hana membuat tiga temannya tertawa. *** "Man, umur kamu sudah dua tujuh loh sekarang. Eca juga udah besar, dia pasti bakal ngerti kalau kamu menikah lagi!" Firman yang kini tengah makan tersedak seketika saat mendengar ucapan Bundanya. Bayangkan saja, setelah sekian lama kenapa tiba-tiba Bundanya bahas masalah ini? "Bunda, kita lagi makan. Bahasnya nanti selesai ini aja!" tegur Arga, sang kepala keluarga. Nani hanya mampu menghembuskan napas kasar sebelum mengangguk. Sebenarnya, bukan cuma kali ini dia membahas tentang pernikahan. Tapi sebelum ini, Ia seringnya hanya menggunakan kode-kodean untuk sang anak, sayangnya Firman adalah manusia yang memiliki tingkat kepekaan yang begitu rendah. Selesai makan, Nani menahan mereka terlebih dahulu. "Kita harus bicarain ini sekarang juga. Sudah cukup Bunda nunggu lama, bahkan dikode beberapa kali pun kamu nggak pernah peka!" Firman hanya pasrah saja mendengarkan omelan Bundanya. "Eca udah gede Man. Kamu nggak kasihan liat anak kamu yang selalu keliatan mupeng saat teman-teman sekolahnya diantar dan dijemput orang tuanya?" Firman terdiam sejenak, ia memang sering mendengar pengasuh Eca bercerita pada sang Bunda tentang masalah itu. Dia terkadang hanya mengantar anaknya itu, dan saat pulang pengasuh lah yang menjemput. Eca tergolong anak yang pendiam, jadi apapun yang ia rasakan tidak akan ia bagi pada orang lain. Untung saja Pengasuh anak itu sudah berpengalaman karena dia juga merupakan pengasuh Firman dulu, jadi ia bisa mengerti walau hanya dengan melihat ekspresi mendung di wajah gadis kecil itu. "Eca sangat pendiam Nak, dia sangat sulit berbagi dengan kita. Jika ada sosok seorang Ibu nanti, Bunda berharap bisa dekat dengan dia dan membuat anak itu sedikit lebih terbuka. Sejujurnya, Bunda sangat takut dengan perkembangan anak kamu." Firman menelan ludahnya susah payah. Lehernya tercekat, seolah ada sesuatu yang mengganjal di dalam sana. Ia memang jarang menghabiskan waktu dengan anaknya itu. Firman terlalu sibuk bekerja di kantor dan juga menjadi dosen, namun ia lupa memperhatikan tumbuh kembang anaknya sendiri. Tapi untuk menikah, bukankah mencarikan Ibu tiri yang menyayangi anak sambungnya layaknya anak sendiri sungguh sangat sulit? Apalagi kalau dipikir-pikir, mencari yang tulus itu zaman sekarang begitu susah. "Nanti aku pikirin, Bun," ujarnya pelan. *** Firman memasuki kamar miliknya dengan pikiran masih tertuju pada ucapan-ucapan sang Bunda. Mencarikan Ibu untuk Eca? Rasanya begitu sulit. Apalagi ia sama sekali tidak dekat dengan perempuan manapun. Sebenarnya banyak yang mendekat, hanya saja Firman terlalu kaku sehingga mereka mundur perlahan. Matanya terpaku pada figura yang menggantung di dinding kamar. Tampak di sana, ia dan seorang perempuan dengan balutan baju pengantin tersenyum lebar. Ia tertunduk sejenak, "Maafin aku Resti. Aku...Aku tanpa sadar, gagal jaga amanah kamu." "Dia...tumbuh dengan sikap yang sama seperti kamu. Pendiam, dan sulit terbuka pada orang lain! Bahkan, keinginan terbesarnya saja, aku hanya tahu dari orang lain. Aku...aku terlalu jauh dari dia, Res, Maaf!" Air mata pria itu menetes tanpa sadar. Ia gagal menjadi Ayah, ia gagal menjaga amanah Istrinya. "Apa kamu ikhlas, kalau misalnya ada sosok Ibu yang mengisi kekosongan peran kamu? Aku janji, nggak bakal buat dia lupain kamu sebagai Ibu kandungnya! Aku harap kamu mengerti, ini semua demi Eca," lirih Firman, mendongak kembali menatap figura tersebut. "Res, bantuin aku nemuin sosok Ibu yang baik untuk Eca. Kamu mau kan, bantuin aku? Soalnya, aku takut Res, salah memilih dan malah nyakitin anak kita." Kini, pria yang terlihat tak tersentuh itu berada dalam jurang rasa bersalah pada sosok Almarhumah Istrinya. Ia merasa gagal menjadi seorang Ayah. Sebenarnya, di balik kesibukannya, ia hanya berusaha agar sang Putri merasa kecukupan. Ia berusaha memenuhi apapun keinginan Eca, meski nyatanya gadis kecil itu tak pernah meminta secara langsung. Sayangnya, ia bahkan lupa kalau sikapnya itu seolah terlihat abai akan perannya menjadi seorang Ayah, atau bahkan seharusnya juga peran seorang Ibu. Sepanjang waktu mengajar, Firman terkadang melamun. Ia masih kepikiran dengan pembicarannya bersama sang Bunda pagi tadi. 'Ya Allah, beri aku kemudahan dalam menemukan calon Ibu yang baik untuk anak-anakku! Resti, bantu aku memilih Mama baru untuk anak kita,' gumamnya dalam hati. "Pak!" Firman tersentak saat mendengar teriakan salah satu Mahasiswinya. Sementara Hana, berusaha mengendalikan raut tegangnya saat Pria yang berstatus Dosen Mata kuliah serta teman sekelasnya menatap penuh tanya ke arahnya. "Ada apa Hana?" tanya Firman terlihat sedikit mengintimidasi. Ia memang mengenal nama hampir seluruh anak kelasnya. "Uswatun Hasanah?" Panggilnya sekali lagi, karena gadis itu tak kunjung menjawab. Hana tersentak kaget saat Firman menyebut nama lengkapnya. "Bapak mau nggak jadi pacar saya?" ucapnya dengan cepat, membuat seisi kelas menganga tak percaya. Sedangkan Firman seketika terdiam, merasa ini bukan kebetulan semata. Dalam hati ia bergumam, 'Apa ini petunjuk dari permintaanku tadi ya Allah? Resti, apa dia sosok yang akan menggantikan kamu?' Bukankah gadis itu meminta hal tersebut bertepatan dengan Firman selesai berdoa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD