Bab 8. Siapa Laki-laki Itu?

1079 Words
"Apa maksud kamu bukan dia? Memangnya, kamu menjalin hubungan dengan lelaki mana lagi selain dengan dia???" cecar Jasmine, dengan raut wajah tidak percaya. "Nggak ada, Ma. Nggak ada yang lainnya lagi." Jasmine tertawa kecil. Merasa sedang dipermainkan oleh putrinya sendiri. "Lily Silvia Kusuma! Berhenti bermain-main. Jangan sembunyikan laki-laki itu! Ayo cepat! Katakan siapa dia!??" pekik Jasmine dengan sangat lantang. Namun, tidak serta merta membuat Lily angkat bicara. Lily hanya bergeming di samping Jasmine dengan kepala tertunduk, serta air yang luruh dari kedua sudut matanya. Jasmine geram. sudah sampai begini dan putrinya itu, malah menyembunyikan orang yang sudah berani-beraninya menyentuhnya. Jasmine menyambar bahu Lily dengan kedua tangannya. Dicengkeramnya kedua bahu Lily dengan erat. Lalu diguncang-guncangkan dengan cepat. "Ayo katakan Lily. Katakan siapa laki-laki itu! Berhenti menyembunyikan dia. Berhenti!!" pekik Jasmine dengan sangat lantang. Hasilnya tetap sama. Lily diam seribu bahasa. Tidak ingin berucap. Tidak ingin mengatakan, siapa orang yang telah memberikan kehidupan baru di dalam tubuh mungilnya. Jasmine merasa sudah kehabisan akal dan kehilangan akal sehatnya. Dilayangkan tangan kanan Jasmine, untuk memberikan tamparan bagi Lily lebih dari satu kali. "Ayo Lily bicara!!! Katakan siapa dia!!" pekik Jasmine disela layangan tangan kanannya pada pipi Lily yang putih dan sekarang memerah. Masih sama. Lily masih tidak mau menjawab apa yang Jasmine pertanyakan untuknya. Lelah sudah. Napas Jasmine terengah-engah. Tangannya pun sudah berhenti bergerak. Ia menatap Lily yang hanya bergeming dengan tatapan yang kosong. Pipinya yang putih sudah berganti merah. Jasmine menjadi tidak tega sendiri. Cukup. Untuk saat ini semuanya sudah cukup. Bila diteruskan, Jasmine takut akan semakin gelap mata. "Masuk ke kamar!" perintah Jasmine yang langsung dilakukan oleh Lily. Lily berjalan gontai menaiki tangga untuk mencapai kamarnya yang berada di lantai atas. Sementara Jasmine luruh dan duduk bersimpuh di bawah. Kenapa hal seperti ini harus terjadi? Bagaimana ia menghadapi suaminya nanti. Akan seperti apa kemarahan yang akan ditujukan oleh lelaki yang telah menikahinya dalam kurun waktu dua puluh tahun. Pintu kamar dibuka. Lily berjalan masuk dan menutup rapat pintu kamarnya kembali. Ia pergi ke arah tempat tidur. Belum sempat sampai ke sana. Tubuhnya yang terasa lemas pun luruh di bawah, di samping tempat tidur. Lily mencondongkan kepalanya dan meletakkan serta bersandar pada ranjang miliknya. Masih berusaha mencerna semua hal yang terjadi di hidupnya sekarang. Apalagi, tentang apa yang seorang dokter katakan tadi kepadanya. "Aku harus apa sekarang?" gumam Lily. Di kantor Time Luxury. "Ini semua berkas yang kamu minta," ujar seseorang yang baru saja memasuki ruangan CEO Time Luxury dan meletakkan tumpukan berkas di atas meja, dengan orang yang nampak tengah duduk serta sibuk menandatangani berkas laporan. Dan orang tersebut adalah Rainer, yang kini mendongak, menatap lelaki yang menarik kursi serta mendaratkan tubuhnya di sana. dan orang itu adalah asisten pribadi, sekaligus kawannya di masa kuliah, Aaron. "Kebetulan kamu di sini. Tolong belikan aku makanan," pinta Rainer kepada Aaron. Aaron tersenyum tipis menggelengkan kepalanya. "Ini baru jam berapa. Apa kamu tidak sarapan pagi lebih dulu di rumah?" tanya Aaron. "Aku sudah sarapan cukup banyak pagi tadi. Tapi rasa-rasanya, aku masih ingin sekali memakan sesuatu," ujar Rainer. "Baiklah. Kamu ingin makan apa hm? Akan aku carikan!" cetus Aaron. Rainer memutar kedua bola matanya ke atas. Berpikir keras, tentang makanan yang mungkin bisa memuaskan keinginannya. "Sepertinya, aku ingin ikan gurame asam manis. Berikan banyak tambahan buah mangga dan juga nanas ya?" pinta Rainer yang membuat Aaron mengerutkan keningnya. "Apa kamu sedang mengidam?? Buah mangga?? Bukankah sudah cukup menggunakan nanas saja???" protes Aaron. "Ck! Hei sudahlah! Aku yang ingin memakannya dan bukan dirimu. Kenapa kamu mengeluhkan selera makan ku!" ketus Rainer. "Bukan begitu. Aku hanya heran saja. Biasa-biasanya kamu menginginkannya makanan seperti itu. Belum waktunya jam makan siang. Apa perutmu tidak akan sakit??" "Itu sudah menjadi tugas Dokter keluargaku bukan? Jadi, cepatlah bawakan untukku! Aku sudah tidak sabar dan sangat menginginkannya sekarang juga!!" Intonasi suara Rainer meninggi. Sudah sangat ingin, bukannya pergi untuk membelikannya. Asisten pribadi sekaligus kawannya ini, malah masih saja banyak bicara. "Ok ok baiklah. Aku pergi sekarang!" cetus Aaron yang baru saja mendaratkan tubuh bagian belakangnya dan sudah kembali harus melepaskan diri dari sana. Demi Bos-nya. Sebelum gajinya terancam. Selang satu jam Aaron kembali dengan apa yang Rainer minta. Sepiring ikan gurame, dengan saus asam manis bertabur buah nanas serta mangga di atasnya. "Silahkan dinikmati," seloroh Aaron yang meletakkan piring di hadapan Rainer. Kedua mata Rainer berbinar-binar. Saliva sudah memenuhi isi mulutnya. Ia menyentuh garpu dan sendok dan sudah tidak sabar untuk mengeksekusi makanan di hadapannya. Dimulai dari parutan buah mangga berbalut saus asam manis. Rainer membuka mulutnya, merasakan rasa manis bercampur asam dan sedikit agak pedas. Aaron yang tengah duduk di hadapan Rainer nampak bergidik. Merasakan, rasa asam di mulutnya sendiri. Tapi, Rainer terlihat begitu santai menyantapnya, seolah rasa asam itu tidak ada di sana. "Apa lidahmu itu sedang mati rasa?? Aku saja yang hanya melihat, sudah merasa asam di mulutku ini. Kenapa kamu menyantapnya sesantai itu??" tegur Aaron. Rainer tersenyum lebar. Ia sama sekali tidak merasakan asam. Menurutnya, rasanya cukup enak dan segar. "Ini enak sekali! Seharusnya, buah mangganya ditambah lebih banyak lagi, Ron!" cetus Rainer yang membuat Aaron semakin tidak habis pikir. "Astaga! Aku rasa lidahmu itu benar-benar bermasalah! Sudahlah. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Aaron pergi meninggalkan Rainer yang sibuk dengan makanannya sendiri. Sementara Rainer melahap rakus makanan di hadapannya. "Hah segar sekali," ucap Rainer disela santapannya. Di kediaman orang tua Lily, saat di ruang makan. "Ma? Kakak dimana?? Nggak diajak makan bareng??" tanya Camelia, gadis berusia 14 tahun. Dan adik dari Lily, saat keduanya menyantap makan siang bersama, setelah Camelia pulang seusai sekolah. "Biarkan saja. Kalau lapar, dia pasti turun dan makan!" ketus Jasmine. Camelia terlihat bingung. Tidak biasa melihat ibunya ketus seperti ini. "Mel panggil Kakak dulu ya, Ma?" ujar Camelia seraya bangkit dari kursi dan langsung menerima pekikan dari Ibunya tersebut. "Tidak usah!!" pekik Jasmine. Camelia melonjak kaget. Ia bergegas duduk kembali di kursinya. Terlihat takut dan juga bertambah bingung dalam waktu bersamaan. Ada apa sebenarnya?? Kenapa ibunya ini begitu sensitif? Tidak mau banyak protes lagi. Camelia melanjutkan santapannya. Tidak selang berapa lama. Jasmine telah selesai menyantap hidangan miliknya dan bangkit sambil membawa piring berisi makanan di tangan kanannya. "Makanlah yang banyak. Kalau sudah selesai. Rapikan semuanya," pesan Jasmine. "Iya, Ma," sahut Camelia. Jasmine mulai memutar tubuhnya dan pergi dari ruang makan ke lantai atas, lalu berhenti di depan kamar putri sulungnya. Ketukan pada pintu Jasmine lakukan. Hingga berkali-kali. Namun, tidak ada jawaban ataupun suara pintu yang dibuka. Dengan rasa inisiatif yang tinggi, Jasmine langsung saja membuka pintu kamar dan membeliak saat pintu kamar terbuka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD