"Lily! Hentikan!!" pekik Jasmine saat melihat Lily, yang hendak menyayat pergelangan tangan kirinya sendiri.
Dengan langkah yang cepat, Jasmine memasuki kamar Lily dan berusaha menghempaskan silet, yang ada di genggaman tangan putri sulungnya itu.
Dilihatnya pergelangan tangan Lily oleh Jasmine. Merah dan ada sedikit bercak darah. Dan syukurlah, lukanya tidak dalam. Karena Jasmine datang tepat pada waktunya.
"Apa yang kamu lakukan!!" hardik Jasmine dengan napas memburu sambil memegangi tangan Lily.
Lily bergeming bak raga tanpa nyawa. Sementara Jasmine mengembuskan napas panjang dan membawa putrinya untuk duduk di tepi tempat tidur.
Sebuah kotak p3k Jasmine tarik dari kolong tempat tidur Lily dan mengeluarkan perban serta obat oles untuk luka Lily. Tanpa banyak berkata-kata. Jasmine membubuhkan obat di pergelangan tangan Lily yang terluka. Lalu membalut lukanya itu dengan perban.
Tatapan Lily nampak kosong. Seberapa perih lukanya yang dioleskan obat. Tetap tidak membuat Lily meringis. Mati rasa. Ia sudah tidak merasakan jiwanya di sana.
Raut wajah khawatir, bersalah dan panik terukir jelas di wajah Jasmine. Putrinya sampai melakukan hal segila ini. Mungkin, ia memang terlalu keras. Terlalu menghakimi tanpa berusaha membicarakan semuanya secara baik-baik.
Tapi wajar saja ia gelap mata tadi. Bunga yang sudah ia pupuk penuh cinta sejak kecil dan saat besar, malah dihancurkan begitu saja.
Kecewa. Rasa kecewa Jasmine luar biasa besar. Namun, tidak lebih besar dari rasa sayangnya terhadap putri sulungnya ini.
Luka telah selesai dibalut. Jasmine kembali berjongkok di bawah untuk meletakan kotak p3k di tempatnya semula.
Setelah itu, ia kembali duduk di sisi Lily. Tak ingin menghakimi. Tak mau lagi memarahi bahkan sampai memukulinya seperti di bawah tadi.
"Ayo makan dulu. Nanti kamu sakit." Nada suara Jasmine masih terasa agak kesal. Tapi setidaknya, ia sudah berusaha untuk menurunkan intonasi suaranya, agar tak lagi tinggi di hadapan putri sulungnya, Lily.
Jasmine meraih apa yang ia letakkan di nakas tadi. Sebuah piring berisi makanan, yang kini ia pegang dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya sudah menyentuh sendok dan hendak menyodorkannya ke depan mulut Lily.
"Ayo makan," perintah Jasmine. Namun tidak sedikitpun Lily hiraukan.
"Lily, ayo cepat makan! Jangan menyiksa diri kamu sendiri!" Intonasi suara Jasmine kembali meninggi. Lama-lama ia jengah juga. Melihat putrinya yang satu ini hanya bergeming sedari tadi.
"Ini makanlah!" perintah Jasmine yang sudah mendekatkan sendok ke dekat mulut Lily.
Lily menghela napas panjang dan berat. Tanpa menoleh bibirnya nampak berucap.
"Lily dipaksa, Ma. Ini semua bukan kemauan Lily."
Jasmine menurunkan tangannya dan meletakkan kembali, sendok di tangannya ke dalam piring. Lalu piring pun ia simpan kembali di atas nakas.
Jasmine duduk dengan tenang di samping Lily. Mendengarkan semua kata-kata yang keluar dari dalam mulutnya dengan seksama. Menunggu, satu nama pria disebutkan dari sana.
Lily mencebik. Kedua bola matanya sudah berkaca-kaca. Sebelum akhirnya, ia melanjutkan perkataannya.
"Lily takut. Dia ancam Lily buat nggak menceritakan hal ini kepada siapapun. Dia nggak mau semua orang tahu. Termasuk adiknya sendiri."
Kerutan di dahi Jasmine muncul begitu banyak. Ia masih tidak mengerti dengan apa yang Lily katakan. Yang hanya dapat ia tangkap saat ini. Orang yang membuat Lily hamil, mengancamnya untuk tidak mengatakan hal ini kepada siapapun.
"Lalu siapa dia?? Siapa orang itu??" pertanyaan yang langsung pada intinya dan membuat tangis Lily kembali pecah. Ia tidak ingin mengingat kembali, tentang apa yang menimpanya.
Namun, pertanyaan sang Mama, terpaksa membuat Lily untuk mengorek lukanya lagi.
"Dia...,"
Lily tak kuasa untuk berbicara. Jasmine menyentuh bahu Lily. Mencoba untuk menenangkannya dan sudah sangat siap, untuk mendengar siapa lelaki yang berani-beraninya menyentuh putrinya ini.
"Tidak apa-apa. Ayo ceritakan kepada Mama. Tidak perlu takut. Ada Mama. Ada Mama di samping kamu. Mama akan selalu mendukung kamu. Ayo Lily, katakan. Siapa laki-laki itu?"
Lily menyeka genangan air di kedua pipinya. Jasmine pun turut andil dan membantu Lily, menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajahnya, ke belakang telinga Lily.
Lily menghela napas hingga beberapa kali. Mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Sebelum akhirnya berkata,
"Kakaknya Russell, Ma. Dia... Dia paksa Lily malam itu. Lily dinodai, Ma. "
Bak disambar petir. Jasmine terkejut bukan kepalang. Ternyata, putrinya korban kejahatan dari kakak kekasihnya sendiri.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Meminta pertanggungjawaban? Atau malah menjebloskan laki-laki itu ke dalam penjara, atas apa yang telah ia perbuat kepada putrinya ini.
Kedua tangan Jasmine terulur. Ia merengkuh tubuh Lily dan mendekapnya dengan sangat erat. Penyesalan yang teramat dalam ia rasakan saat ini. Putrinya sedang rapuh, sedang dalam keadaan terburuknya. Tetapi, ia malah menghakiminya seperti tadi. Menamparnya lebih dari satu kali. Ibu macam apa ia ini? Bukannya memberikan pundak untuk tempat bersandar putrinya. Ia malah semakin menambah luka bagi Lily.
Pantas saja. Lily hampir saja melenyapkan nyawanya sendiri. Ternyata, ada kejadian yang begitu memilukan yang menimpanya.
"Maafkan Mama, Lily. Tidak seharusnya Mama menghakimi kamu seperti tadi." Kedua bola mata Jasmine terasa panas dan juga berair. Ia ikut merasakan kepedihan yang Lily rasakan. Tak kuasa menahannya. Hingga tangisnya pun ikut pecah. Disela dekapan sepasang ibu dan anak.
"Lily yang harusnya minta maaf, Ma. Lily nggak bisa jaga diri. Lily buat malu Mama," ucap Lily diiringi isak tangis.
"Tidak sayang. Kamu tidak salah. Mama yang salah. Dan laki-laki itu. Dia lebih bersalah lagi atas apa yang terjadi kepada kamu."
"Lily harus gimana sekarang, Ma? Papa pasti marah besar. Lily takut." Lily semakin mengeratkan dekapannya kepada sang Mama.
"Tidak apa-apa. Biar Mama yang bicarakan dengan Papa kamu ya? Kamu tidak perlu khawatir. Papa dan Mama, akan mencari solusi untuk masalah kamu ini."
Malam harinya.
Mau tidak mau dan memang harus dilakukan. Jasmine membicarakan hal ini bersama sang suami. Dan seperti kali pertama Jasmine tahu, suaminya itu pun turut menghakimi Lily.
"Itu semua salah kamu sendiri!! Kenapa kamu pergi ke tempat laki-laki itu! Sekarang lihat, buah dari kebodohan yang kamu lakukan? Kamu masih bersekolah. Perjalanan kamu masih panjang! Papa bekerja susah payah untuk siapa?? Dan sekarang, kamu malah membuat Papa malu!!" pekik Jason dengan sangat lantang.
Ketiganya tengah berada di kamar Jason dan Jasmine. Membahas hal yang seharusnya dibahas, demi kelangsungan hidup putri mereka, Lily.
"Maaf, Pa. Lily minta maaf."
Jasmine yang duduk bersebelahan bersama Lily di tepi tempat tidur pun, semakin mendekap erat tubuh Lily yang mungil. Suaminya benar-benar keterlaluan. Hanya menyalahkan anaknya saja. Padahal, yang dibutuhkan sekarang adalah solusi bukan malah makian seperti saat ini.
"Jangan terlalu keras, Pa. Lily mana mau membuat kita malu. Justru laki-laki itu yang bersalah dalam hal ini."
"Tapi semuanya tidak akan terjadi. Kalau dia tidak pergi ke sana bukan?? Dimana harkat dan martabat dia sebagai seorang perempuan! Anak gadis pergi ke tempat laki-laki saat malam hari. Benar-benar memalukan!"
Lily tersenyum getir. Apa yang dikatakan oleh ayahnya memang benar. Harusnya, malam itu, Lily tidak pergi ke sana. Tapi, apa yang bisa lakukan sekarang. Nasi sudah menjadi bubur. Ingin dikembalikan seperti semula pun sudah tidak mungkin lagi.
"Ma, Lily mau pergi ke kamar Lily dulu. Lily capek."
Lily bangkit dan pergi begitu saja dari dalam kamar orang tuanya. Ia sudah cukup lelah. Harus terus menerus mendengarkan cibiran demi cibiran yang dilayangkan oleh ayahnya sendiri.
"Lihat! Lihat anak kamu itu! Orang tua sedang bicara, dia malah pergi begitu saja!"
Sebuah kalimat yang masih bisa Lily dengan dari balik pintu kamar orang tuanya. Lily melangkah pergi ke kamarnya sendiri. Namun, belum sempat mencapai pintu kamarnya. Lily menghentikan langkah kakinya. Ia berjalan cepat. Bukan ke kamarnya atau ke kamar orang tuanya. Melainkan, turun ke bawah menuruni tangga.
Lily memutuskan untuk pergi. Membiarkan kakinya bekerja. Membuatnya melangkah, meskipun tak tahu arah.