10. Perangkap Rasa

1722 Words
"Lo diapain sama mereka? Ven, lo nggak apa-apa kan?" Rendy memutar tubuh Vena, meneliti dengan serius lengan dan bagian tubuh Vena. Gadis itu terdiam. Merasa shock dengan aksi Rendy yang terlihat berlebihan. Wajahnya yang panik membuat Vena mau tak mau harus mengulas senyum geli. "Gue nggak apa-apa, Ren." Rendy mencengkeram erat kedua bahu Vena, lantas menatap gadis itu dengan cemas. Vena yang mungil di depannya, cuma bisa menatapnya dengan senyum sekadarnya. "Gue kaget liat orang-orang segitunya sama gue, gue takut lo diapa-apain." Ini bukan Rendy. Coba tolong jelaskan pada Vena, sejak kapan Rendy bisa berubah menjadi cowok perhatian dengannya. Maksudnya, ada apa gitu, lho. "Mereka kan cuma takut aja, ya panik liat gue sama lo dateng barengan," ujar Vena sedikit nyengir. "Lagian ...," Vena menatap Rendy dari atas sampai bawah, "gue juga nggak nyangka loh bisa barengan sama cowok yang akhir-akhir ini ngetop di kantor." Rendy tertawa. Pelan namun renyah, membuat Vena sedikit bisa bernapas lega. Jantungnya tak berhenti berdetak dengan cepat sejak Rendy membantunya kemarin. Tatapan pria itu terlalu dalam, menusuk manik matanya hingga membuat kerja otaknya lumpuh di bawah mata sehitam jelaga itu. "Iya ... ya," gumamnya sembari terus menggandeng Vena tanpa dilepas sedetik pun. "Orang-orang pasti mikir aneh-aneh liat elo dateng barengan gue." "Itu tau kalo fans lo seantero kantor," cebiknya. Tangan Rendy berganti dari menggandeng menjadi rangkulan saat mereka turun melewati dance floor. "Kita mau kemana sih, Ren?" teriak Vena. Gini nih, dia nggak suka sama yang namanya club, diskotek, dan sejenisnya juga salah satunya gara-gara adanya dance floor dan lautan manusia yang berjoget dengan tak aturan Belum lagi musik super beat yang mengentak telinganya dengan bar-bar. "Nyari jus alpukaaaat!" teriak Rendy balik. Tangan pria itu menariknya, memberikan efek terkejut, lantas kembali merangkulnya seperti tadi. Jantung Vena bertalu-talu, Rendy mungkin nggak bakalan tahu kalau Vena bisa terkena serangan jantung ringan kalau semalaman Rendy bisa seperti ini. Baru sehari belum ada, Rendy sudah sedekat ini dengannya. Berawal dari ditolong mengerjakan tugas, berlanjut dengan ditolong nyari minuman, lalu apa lagi yang akan dilakukan Rendy untuknya? Yang pasti jangan sampai ia menjadi pihak yang selalu tertindas dan melulu ditolong oleh pria itu. Sejak masuk di ruang karaoke tadi, ia sudah menyimpulkan bagaimana nasib hidupnya besok. Ita dan Danil hanyalah seorang pengamat yang ditempatkan untuk menjadi informan, meski Vena tahu, tak akan ada yang peduli apakah omongan itu sampai atau tidak di telinga Vena. Justru yang diinginkan oleh semua cewek kantor adalah mendepak Vena dari kantor mereka secara brutal! "Loh, Ren, kan gue bilang pengen alpukat, kok malahan ke resto sih, nyari kedai pinggir jalan aja deh." Vena melirik resto yang kini tepat berada di depannya. Rendy melepas sabuknya lantas menoleh pada Vena. "Lo sendiri yang bilang laper," jawab Rendy singkat. Cewek itu segera membuntuti Rendy yang berjalan dengan langkah panjang. "Lo beneran nggak apa-apa nemenin gue dan nggak bisa ikut party?" Rendy mendengkus kesal. "Ampun deh, Ven. Apa muka gue keliatan terpaksa banget ya? Gue seriusan mau nemenin elo aja." "Lagian ...." Rendy menoleh ke arah Vena dengan sorot mata ganjil. Pertanyaan kali ini harus ditanyakan agar ia bisa memastikan siapa sebenarnya sosok Vena di depannya. "Emang lo nggak pernah mabuk, Ven?" Pertanyaan yang tadi sempat ia tanyakan dan belum terjawab oleh gadis itu. Mendengar pernyataan yang datangnya dengan nada paling halus, Vena melirik ke arah Rendy dengan ragu. "Pernah." Tepat! Ini pasti Vena yang ditemuinya dulu. "Tapi sekarang gue nggak mau mabuk lagi." "Kenapa? Takut kena marah Fajar?" Pertanyaan yang jelas-jelas bikin Vena langsung melengos. Rendy langsung menutup mulutnya dengan tangan. Mengerti kalau topik tentang Fajar di depan Vena itu miris banget, terlalu sensitif dan memang ia tak ingin membahasnya. "Bukaaan, gue nggak suka mabuk, panas banget rasanya. Mana bau lagi, aduh enggak deh. Gue tobat nggak bakal mabuk lagi," jawabnya diikuti dengan gidikan ngeri. Jawaban yang bikin Rendy semakin gemas. Ini cewek memang polos, bahkan saking polosnya ia tak pantas untuk disakiti. Perihal apapun putusnya Vena dan Fajar, itu sudah pasti karena adanya sosok dia. Dan yang memperkuat kemarahan Fajar adalah rasa cemburu serta posesifnya. Kelebihan porsi cemburu dan posesif kadang bikin orang memilih untuk meninggalkan kita. Dan itulah yang menjadi kasus Vena kali ini. Di depannya Vena sudah melirik buku menu, tak mau membuka sedikit pun, begitu waiters datang, Vena langsung berkata mantap, "Nasi goreng dan jus alpukat!" HEBAT! *** Pengalaman seorang Rendy sejak masih duduk di bangku kuliah sampai ia duduk di kantor, semua cewek yang ia temui selalu selevel dengan Letta, cewek yang paham banget sama table manner saat makan, berjalan, dan tersenyum menggoda. Cewek yang selalu menjaga image anggun dan manjanya, cewek yang akan bermulut manis di depan Rendy. Semua cewek yang ditemui Rendy selalu seperti itu, dan cewek di depannya ini— Rendy sampai menggelengkan kepalanya melihat cara makan Vena yang lahap. Vena menunjukkan siapa dirinya tanpa terkecuali. Ia bersikap bodoamat dengan keberadaan Rendy. "Pelan-pelan, Ven, makannya," peringat Rendy sembari menyendokkan sepotong cake ke mulutnya. "Gue laper banget, astaga!" Dilihat dari cara makannya, sosok Vena memang masuk kategori cewek ceroboh, keras kepala, dan nggak mau diatur. Mengesampingkan dengan adanya fakta baru bahwa Vena bisa separah ini. Rendy sedikit takjub dengan cara Vena menunjukkan sosok dirinya tanpa malu. "Sampe segitunya ya?" tanya Rendy tanpa tedeng aling-aling. Sendokan Vena langsung terhenti, gadis itu menatap Rendy dengan kunyahan nasi goreng di mulutnya. Baru menyadari betapa rakusnya ia saat makan, apalagi di depan Rendy. Melihat bagaimana cowok itu menyuapkan potongan kecil cake-nya, Vena tahu bahwa cowok yang berada di depannya ini bukan dari kalangan rakyat jelata. Meskipun terlahir dari rakyat biasa, namun kegantengan cowok itu lah yang membuatnya hidup serba ada layaknya di surga. "Sorry, sorry ... lo pasti kaget ya liat cara makan gue yang mirip kuli?" tanya Vena. Malu nggak? Malu gak? Malu banget lah! Mana dia makan di depan cowok ganteng yang punya attitude top. Di kantor juga jadi idola, jadi intinya, makan di depan Rendy seperti ini jelas malu-maluin. Rendy langsung tersenyum geli. "To be honest, gue kaget banget liat lo kayak gini. Kayak orang yang nggak pernah makan nasi goreng aja," kekehnya berkelakar. Vena mengangguk lemah, ia menyesap jus alpukatnya dengan kalem tanpa berani menatap mata Rendy yang menyorotnya dengan ganjil. "Emang jarang banget makan nasi goreng." Rendy melotot. Jarang?! Sesederhana nasi goreng aja jarang makan? Emang hidup di mana Vena itu sampai melihat nasi goreng bisa se-senang ini? "Fajar ngelarang buat banyak makan fast food," ucap Vena lagi. "Lah, kan ini cuma nasi goreng, Ven." Vena mengangguk lagi. Ia lantas menyorongkan piring nasi gorengnya untuk menjauh, lantas memainkan sedotan di depannya. Ia menarik napas panjang. "Fajar protektif banget soal gue, dia bilang gue harus jaga kesehatan, BB gue nggak boleh turun, nggak boleh naik meningkat, semua makanan dijaga ketat sama dia. Sampai tidur pun dia juga ngawasin gue. Gue jujur capek banget tau nggak diatur-atur kayak gitu," curhat Vena dadakan. Rendy terdiam. Tanpa sadar ia menahan napasnya selama mungkin untuk usahanya tidak menyela Vena dengan embusan napasnya nanti. "Gue nggak bisa temenan sama yang lain, palingan sama Danil dan Ita doang, dia taunya gue temenan sama mereka dari awal masuk sini. Itu aja Danil pake diingetin beberapa kali kalo dia nggak boleh genit sama gue." "Dan lo— udah putus kan?" seka Rendy hati-hati. Vena mengangguk, ada senyum yang terbit saat ada kata putus di sana. "Itu kenapa gue bahagia banget Fajar pergi barengan direksi kayak gini dia nggak bakalan bisa ngawasin gue buat makan—" Bip ... bip! Vena menunduk lantas mengamati layar ponselnya yang berkedip-kedip. Baru melihat namanya saja ia melengos. Baru saja diomongin sudah muncul namanya. Vena tersenyum kikuk, Rendy melirik sebentar sebelum akhirnya ia ikut tersenyum. "Angkat aja sih, Ven." Vena menggeleng. Ia mematikan ponselnya begitu saja. "Gue yakin dia pasti mau ngelarang gue buat makan ini itu kalo tau sekarang gue makan nasi goreng malem-malem." "Kenapa lo nggak nyoba buat minta putus sama Fajar dari awal?" tanya Rendy. Vena mencebikkan bibirnya dengan gemas. "Gue sampe kehabisan akal buat ini. Lo liat, meski gue udah mantan, dia masih aja ngejar-ngejar gue kesetanan kayak gitu." Ya gini nih, kalau ada mantan posesif merasa kalau apa yang dipunyai tak pantas dimiliki orang lain, posesif itu boleh, tapi nggak sampai kelewatan kayak gini. Vena memiringkan kepalanya, melihat Rendy termangu dalam diam, gadis itu melambaikan tangannya di depan pria itu. "Ren, lo lagi mikir apa sih?" "Kenapa dia posesif banget ya?" gumam Rendy penuh tanya. "Gue nggak pernah tahu kenapa dia bisa seposesif itu, bisa jadi dia punya trauma masa lalu, tapi cara dia ke gue jelas salah banget. Awalnya aja gue ngerasa keren, punya pacar cowok ganteng, makin kesini ... kenapa gue ngerasa kalo gue itu—" "Bosen?" tebak Rendy. Vena menggelengkan kepalanya cepat. "Bukan. Kenapa gue ngerasa kalo gue itu piaraan Fajar ya?" Anjir! Itu konyol dan tidak logis! "Njir, kenapa piaraan?" protes Rendy. Vena mengedikkan bahunya. "Kenapa gue nggak boleh naikin berat badan? Kenapa gue harus nurutin omongan dia? Gue bukan babu. Gue kerja buat bisa makan, bisa seneng-seneng." Benar! Benar sekali. Rendy tak menyela apapun ucapan Vena, karena memang inilah yang diinginkan oleh gadis itu. Meluapkan segala apa yang dipendamnya. Ia hanya butuh teman untuk berbagi keluh dan kesah, ia hanya ingin sejenak bebas dari sosok Fajar, ia hanya ingin bisa melakukan semua hal dengan sesukanya tanpa kekangan. Karena itu, untuk itu, disorongkannya kembali jus alpukat di depan Vena yang kemudian diterima oleh gadis itu dengan kalem. Melihat Vena minum jus alpukatnya seanteng itu, Rendy tersenyum. Mungil, cerewet, dan manis. Rendy jadi ingat dengan bayangan kelincinya yang tengah lahap memakan wortel. Gadis itu melirik seseorang di samping mereka, gadis cantik yang kini tengah terduduk anggun, wajahnya yang terlalu cantik untuk ukuran orang Indonesia, meski bertampilan kasual, baik Vena maupun Rendy tahu kalau semua yang menempel di tubuh gadis itu keluaran dari merek terkenal dan mahal. Gadis itu meneguk ludahnya dan tersenyum kikuk. Ia menunduk, menatapi dress-nya mininya, baru saja ia mengangkat kepala, ia disambut dengan senyuman lebar Rendy. "Venaa, gue tau apa yang lo pikirin," ujarnya. Vena membulatkan matanya. Selebar-lebarnya. "Apa?" Tanpa menjawab apapun, Rendy berdeham dan mengangkat tangannya, memanggil satu waiters untuk datang ke mejanya. "Mbak, tambah seporsi roti bakar isi coklat ya." Vena ternganga lebar-lebar. Hebat! Bahkan Rendy lebih peka dari siapapun, tanpa perlu kata, ia paham dengan isyarat yang diutarakan oleh matanya, dan memang itulah yang diinginkan oleh Rendy. Memanjakan Vena dengan segala kebebasan, memenjarakan ia dalam sebuah perangkap rasa bernama, kenyamanan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD