Orang sekantor juga tahu dengan satu kisah ini, cerita melegenda bahkan turun temurun yang terus di dengungkan tiap kali ada yang bertanya dengan satu pertanyaan.
"Eh, itu cowok ganteng namanya siapa?"
Nggak ada yang kaget dengan satu pertanyaan yang munculnya berulang kali meski itu dari mulut orang yang sudah lama bekerja di kantor itu atau baru saja bekerja.
Semua orang langsung hafal bahkan langsung paham kepada siapa pertanyaan itu ditunjukkan, mana objeknya. Tanpa harus melihat siapa orangnya semua orang pasti dengan sepakat akana menjawab.
"Itu Pak Fajar, tangan kanan boss!"
Karena hanya segelintir cowok yang benar-benar di taraf ganteng, dan orang yang memuncaki posisi paling ganteng atau ganteng banget, itu hanya satu orang.
Fajar!
Wajar memang seandainya Fajar mendapati dirinya berada dalam kesombongan, keangkuhan, dan optimis tingkat dewa. Bagaimana orang-orang mengagung-agungkan Fajar telah membuat pria itu langsung naik, melangit, dan tak bisa terkejar lagi.
Tapi, mendadak semua orang setuju, seperti melakukan voting dalam diam, kesepakatan tak tertulis itu jelas-jelas telah membuktikan bahwa posisi Fajar kini tergeser dengan adanya Rendy. Anak kemarin yang sempat membuat geger jagad kantor dan mendadak viral di sosial media mana pun karena banyak yang memotretnya dengan diam-diam.
Begitu mereka semua telah melengserkan Fajar menjadi posisi kedua, dan kini puncak dari cowok maha ganteng di pegang oleh Rendy, sejak saat itu Fajar resmi tersaingi.
Apalagi Rendy itu anaknya kalem, kadang cerewet, lebih sering juga menyapa orang-orang dengan riang. Bener-bener merakyat.
Namun, pemandangan pagi ini sungguh membuat semua mata pegawai langsung terbuka lebar-lebar, mereka semua rela menonton kedua orang yang baru saja turun dari mobil masing-masing dengan mulut terbuka lebar.
Pemandangan dua orang ganteng berangkat kerja bersamaan memang bukan hal baru, tapi kedatangan Rendy yang nyaris berbarengan dengan Fajar membuat massa berdiri menyemut sepanjang kaca kantor.
Kedua orang itu turun dan berjalan secara beriringan, sesekali tampak sekali gerak bibir mereka seperti tengah mengucap. fajar sedikit menoleh kepada Rendy atau bahkan sebaliknya.
Ini benar-benar pemandangan yang fantastis!
Vena sampai ternganga melihat dua orang itu berjalan dengan tenang di bawah tatapan ratusan pegawai. Bahkan, kedatangan direktur tak pernah seramai ini.
Semua orang tak pernah tahu bahwa keduanya tengah saling mengancam dan mengejek. Yang satu dengan nada intimidasi dan yang satunya dengan kesantunan anak baru yang takut pada atasannya.
"Jangan pernah dekati Vena Sativa!" desis Fajar, tak menolehkan wajahnya sedikit pun, ia terus berjalan, tatapannya tajam ke depan.
Mendengar satu peringatan itu, Rendy langsung tertegun. Vena Sativa. Nama yang bagus untuk cewek secantik itu. Cowok itu cuma tersenyum tipis saat mendengar ancaman dari Fajar.
"Vena? Yang mana?" tanya Rendy dengan kalem.
Fajar mendecih, ia sedikit menolehkan kepalanya untuk melihat ekspresi Rendy yang sama sekali terlihat tak peduli dan tak gentar dengan ancamannya.
"Nggak usah belagak blo'on deh, saya tau kalo kamu sempat nyamperin Vena di kafetaria kemarin."
Rendy menolehkan kepalanya dengan senyum tipisnya yang khas sekali. "Memangnya dia siapa anda?"
Mantan!
Astaga, mana mungkin ia mengatakan kalau Vena itu mantan, bisa-bisa Rendy akan bangga dan berencana untuk merebut Vena dari Fajar.
Rendy memelankan langkahnya yang kemudian diikuti oleh Fajar, tampak sekali wajah mereka berdua semakin serius. Jika, orang melihat keduanya, pasti sudah mengira mereka lah boss dan asistennya. Wajah Rendy memang wajah miliuner, dan Fajar, meski ganteng tetaplah berwajah babu yang memegang erat prinsip kedisiplinan.
"Saya dengar, Vena sudah putus dari anda, jadi nggak ada halangan buat saya untuk mendekati Vena, bukan begitu?" tanya Rendy dengan nada halus.
Fajar menggeram marah. Cowok ini bahkan sudah tahu kalau Vena sudah menjadi mantannya, tapi ia tak bisa membiarkan Vena bisa didekati oleh cowok di sampingnya ini begitu saja.
"Dari mana kamu tahu?"
Rendy tak menjawab pertanyaan itu, ia hanya tersenyum misterius di samping Fajar, membiarkan kerumunan yang tampak di kantor sana semakin terpesona dengan gayanya.
"Sekarang rahasia nggak awet lama, pada kenyataannya saya sampai bisa mendengar bahwa Vena kali ini tengah jomblo."
"Saya tak menyangka bisa bertemu kembali dengan gadis cantik yang mabuk malam itu. Kalau malam itu saya sampai khilaf apakah anda akan membenci Vena?"
Serta merta langkah kaki Fajar terhenti, ia menatap ke arah Rendy dengan mata yang memerah. Maksudnya apa dengan kata khilaf?
Khilaf sampai menyentuh dan menyetubu—
"Anjir! kamu pasti—"
Rendy langsung menggeleng. "Saya tidak menyentuh Vena sedikit pun, karena saat itu pikiran saya tengah kacau memikirkan siapa yang bertanggung jawab atas gadis itu."
"Kamu nggak pantas mendekati Vena, saya akan menghindarkan Vena dari cowok bangsad macam kamu!" desisnya penuh amarah.
Rendy langsung terkekeh. "Wajah saya tidak sekriminal itu, Pak. Jadi, jangan khawatir, saya suka dengan Vena," ucap Rendy dengan enteng.
Gila! Baru kali ini ada orang yang terang-terangan bilang suka dengan Vena di depannya tanpa takut sedikit pun. Herannya bahkan, wajah Rendy terlihat sama sekali tak terimindasi dengan tatapan Fajar yang tajam.
Sorot pria itu selalu berbalas lembut dan riang, ramah namun juga dalam. Ada bentuk misterius yang tak pernah ditemui Fajar pada anak buahnya mana pun. Seperti tatapan seorang yang sudah terlatih untuk menjadi pria angkuh. Tak terimindasi apapun.
"Kamu lupa siapa saya?" tanya Fajar lirih. Sekadar untuk menyadarkan posisi Rendy yang masih saja anak baru di kantor itu.
"Jangan gunakan jabatan dalam masalah pribadi, Pak. Ini adalah urusan hati di luar jam kerja, siapapun dapat mendapatkan Vena, meski itu bukan saya. Mau sampai kapan bapak tidak melepas dia? Ingat, dia bukanlah piaraan."
Fajar terkejut. Bila orang lain akan segera meminta maaf saat mengingat siapa diri mereka, maka Rendy semakin gencar bahkan dengan sengaja ia menjawab tantangan dari Fajar.
"Apa mau kamu?"
Rendy mulai berjalan lagi. "Saya mau bapak melepas Vena. Anda memang atasan saya, tapi di luar itu, anda juga orang yang tengah memperjuangkan hati Vena, sama dengan saya juga. Untuk itu, kita bersaing dengan sehat saja," ujar Rendy mantap.
Fajar menarik lengan Rendy, membuat pria itu terkejut dan mematung saat ia mendengar kalimat Fajar. "Saya akan melepas Vena, saya buktikan kalo kamu juga tak bisa membuat Vena suka sama kamu," desisnya tajam, "oke, kota bersaing. Secara sehat, saya pengen liat seberapa gigih kamu dengan ucapanmu tadi."
Fajar melangkah lebih dulu, dengan cepat dan kembali mengenakan kacamatanya, meninggalkan Rendy yang hanya bisa tersenyum sembari membungkuk. Tersenyum tipis, bahkan sangat tipis.
Fajar mengusir massa yang menyemut di lobi kantor dan sepanjang lorong kantor, usaha yang sebenarnya sia-sia bila sang satpam tak memaksa Rendy untuk masuk kantor dengan cepat, meminta massa sendiri untuk bubar sebelum boss mereka datang.
Pemandangan dua orang tadi memang cukup fantastis. Rendy sendiri memilih untuk tidak mempedulikan orang-orang yang mengerumuninya meski itu sangat menyebalkan.
Ditatapnya satu per satu pegawai yang kebanyakan cewek, ini bukan lagi masa sekolah dimana di menjadi most wanted, ini dunia kerja dan dia masih saja sepopuler ini.
Menjadi orang populer itu capek, mau cuek salah, enggak cuek malah tambah runyam.
"Rendyyy," sapaan ituendengung terus di telinganya. Ia berjalan masuk ke kantor, tersenyum balik pada semua orang yang menyapanya, cowok itu mendekati satu cewek yang posisinya paling dekat dengannya.
Dengan satu tepukan halus di pundak cewek itu dan tatapan yang menuju pada semua orang lantas balik lagi ke cewek tadi ia berkata, "Masuk ya, suruh temen-temen masuk gih."
Ucapan yang sebenarnya berupa perintah itu diucapkan dan dipinta dengan sangat halus, membuat gadis di depannya menahan histeris melihat sosoknya yang sejak kemarin membuat orang nyaris tergila-gila.
Dengan satu gerakan gugup yang sangat kentara, cewek di depannya menoleh kepada semua pegawai. "Masuk gih masuk, sebelum boss dateng! Cepetaaaan!" serunya dengan ngegas begitu orang-orang tak mau beranjak.
Cewek yang merasa beruntung tadi cuma bisa melihat sosok Rendy yang berjalan diikuti para cewek di belakang, ia menoleh lagi pada pundaknya. "Astagaaaa, Rendy abis nyentuh pundak gue? Mimpi apa gue semalem."
Rendy sendiri cuma bisa menyengir saat sampai di ruangan penuh kubikel kerja. Cewek-cewek di sana memang tak seramai yang di depan, cukuplah hanya beberapa saja, tapi meski kalem mereka semua lebih menunjukkan secara sadar, bahwa kecantikan mereka tak diperlukan dengan ikut berdesak-desakkan lantas menyapa Rendy.
Tapi, justru yang ditemukan Rendy di ruangan kerjanya adalah ruangan beraroma kontes kecantikan di mana semua cewek berdandan lebih dan parfum yang terasa kental— mungkin saja parfum satu botol mereka tuang ke baju, bukan lagi menyemprot.
"Hai semuaaa," sapa Rendy riang.
Sontak membuat beberapa dari mereka langsung kegirangan. Tak menyangka kehadiran mereka yang super cantik itu benar-benar dilirik Rendy dan menuai satu sapaan, meski bukanlah suatu pujian, karena Rendy hanya menyapa biasa.
Cowok itu berhenti di depan kubikel paling depan, menatap semua orang di ruangan dengan muka bingung. "Orang di sini pendiem banget ya, kayaknya tadi aku bilang hai kok nggak ada yang jawab?" Pertanyaan itu sontak membuat semua cewek histeris tak terkendali.
"Hai, Rendyyyy!" Koor suara satu ruangan berpadu dengan riang. Membuat beberapa pegawai lain iri melihat ke arah kubikel mereka.
Pikirannya mereka sangat hoki!
Namun, Vena dan Ita, beserta semua cowok yang ada di ruangan itu cuma bisa melongo. Menatap sosok Rendy yang bisa langsung berbaur dengan semua orang, menyapa dengan ramah, ikut tertawa saat mereka bercerita, dan ikut bekerja saat kemudian ia berjalan dan duduk di depan Vena.
Satu cewek menghampiri Rendy, dengan senyuman manja, Letta— cewek super cantik itu mendekat ke arah Rendy dan sengaja berdiri di samping cowok itu, mengusap pundaknya dengan lembut.
Rendy menyentuh tangan Letta lantas menurunkannya sebelum gadis itu sempat berucap apapun. "Ini udah jam masuk kerja, kita bisa diamuk sama boss kalo tau masih main-main. Apalagi aku anak baru, jadi mau rajin kerja ah!"
Meski semua orang tahu bahwa Letta sudah ditolak secara gamblang dan terang-terangan, cewek itu tak bisa marah, ia bahkan merasa sangat beruntung karena orang pertama yang berhasil berbincang dengan Rendy adalah dia. Dengan gerakan mundur halus Letta kembali ke bangkunya.
Rendy cuma bisa menyengir, lagi-lagi ia berucap lirih pada cewek-cewek yang masih berseliweran jalan ke di sampingnya, dengan sangat terpaksa karena ia merasa terganggu, Rendy menolehkan kepalanya lagi. Menghentikan langkah Rea yang kebetulan mau duduk kembali ke kursinya.
"Gue alergi sama parfum, jadi besok jangan pake parfum ya," pintanya yang di dengar oleh Vena.
Cewek itu ternganga. Gila!
Demam Rendy memang bikin orang jadi nggak punya akal. Gadis itu pura-pura menekuri layar di depannya sebelum satu suara terdengar mengejeknya.
"Lo butuh sekarung doa buat bisa dapetin Rendy, apalagi jadi tameng lo, mending nggak usah deh, cari cowok lain aja," bisik Ita di sampingnya.
Bisikan yang jelas-jelas di dengar Rendy dan membuat Vena langsung mematung, ucapan cewek itu benar. Ia nyari mati dan nyari malu kalau sampai meminta Rendy untuk menjadi tamengnya.
Bagus kalau kehadirannya di hadapan Rendy bakalan dilirik, kalau tidak, bisa hidup malu berkalung cacian. Namun, siapa tahu, Rendy justru tersenyum, memikirkan rencana-rencana nakal yang membuatnya tersenyum geli menatap layar di depannya.
Tanpa sepengetahuan siapapun juga, Fajar mengamati semua sikap Rendy, semua yang dilakukan cowok itu dari meja kerjanya.
"Gue nggak bakal ngebiarin dia mendekati Vena, kalo pun iya, gue nggak bakal ngebiarin dia dapetin hati Vena. Sampai kapan pun!"