3. Anak Baru

1551 Words
Namanya Rendy. Iya, Rendy saja nggak ada embel-embel lain. Beneran cuma satu kata yang terkadang bikin Rendy pengen ganti nama dengan Rendy James, atau Rendy Matthew Adams, semisal juga Rendy Alexander Jenner. Tapi, nama itu segera dicoret begitu muka dan nama nggak sinkron. Mukanya cakep sih, tapi nggak menyembulkan unsur-unsur bule yang jelas akan menggagalkan rencana penggantian nama itu, meski ia lahir dari orangtua blasteran. Iya, Blasteran Jawa Barat dan Kalimantan, tetap saja tidak memungkinkan ia berwajah bule dan bermarga sekelas Theo James, atau Leonidas seperti orang Spanyol sana. Di depan direksi saat ini bersama satu orang cowok di sampingnya akhirnya ia dipilih untuk disusupkan sebagai penyempurna di bagian tim cowok tersebut. Pria tersebut tampak meneliti berkas-berkas di depannya. Sesekali terlihat sekali Pak Direksi itu ingin menanyakan namanya yang cukup sekata. Namun, demi menjaga hati Rendy dan keformalan yang nggak mungkin banget— hanya karena nama, ia bertanya dengan wajah paling penasaran— untuk itu ia membungkam mulutnya rapat-rapat, gantinya ia menoleh kepada satu cowok di samping Rendy. "Fajar, beri dia kerjaan yang ringan dulu sekalian beri satu meja barengan dengan tim kamu, rapat minggu depan silakan kamu pikirkan bagaimana pemasaran ini bisa mendapat perhatian lebih di lapangan," titah Direksi tersebut. Fajar mengangguk hormat. "Segera saya carikan meja, Pak." Pria tua di depannya mengangguk dengan cepat. "Cukup untuk ini dulu, silakan kalian bekerja dan Rendy ..." Kepala sang Direksi menoleh ke arahnya, memberikan tatapan beku. "Selamat bergabung di kantor kami." "Terimakasih, Pak!" Mereka berdua undur diri dengan keterdiaman yang terasa sangat kental, masalahnya mereka berdua sangat-sangat tahu dan sudah saling mengenal. Iya, masih segar dalam ingatan Fajar perihal siapa cowok tersebut. Cowok yang pernah selintas sebulan lalu kini muncul kembali. Fajar menekan tombol pada lift, terjebak berdua dengan cowok yang pernah ditemuinya saat menolong Vena dalam keadaan mabuk satu bulan yang lalu jelas membuat dia jadi shock. Dunia sesempit ini! Menyadari bahwa adanya awkward yang bikin waktu terasa lama, akhirnya Rendy memutusnya. "Gue nggak nyangka ketemu lo di sini." Fajar menoleh kaget. "Selamat bergabung!" Rendy terkekeh kecil. "Ternyata lo atasan gue ya, salam kenal gue—" "Rendy? Iya, gue udah tau." Rendy langsung melengos. Sejak awal pertemuannya dengan Vena, lalu menyambung dengan pertemuan kali ini dengan Fajar, cowok itu tak pernah sekalipun menatap Rendy dengan serius. Mereka berjalan beriringan. Yang dipikirkan dalam benak Fajar adalah, sosok Vena. Bagaimana kalau gadis itu masih mengingat wajah Rendy? Sedangkan meja kosong yang ditinggalkan oleh teman satu timnya itu beneran satu blok dengan Vena. Pas banget malahan di depan Vena. Mendadak Fajar menghentikan langkahnya. "Kerja lo di sini harus beneran fokus, nggak bisa kerja sambil ngobrol sama temen lain. Minggu depan ada pemasaran produk, klien meminta kita untuk menampilkan iklan yang pas, nyes, dan jangan sampai membuat mereka kecewa. Tapi, kali ini, tugas lo mendingan bagian fotokopi dulu deh, bakal diajarin sama staff sananya langsung kira-kira apa tugas lo, baru beberapa hari nanti, elo gue tempatin di ruangan." Bertemu dengan Rendy membuat Fajar seketika lupa aturan kantor untuk berbahasa baku, formal, dan santun. Bahkan, saking takutnya dengan keadaan Vena nanti dan pertemuan mereka, rasanya ia ingin menempatkan Rendy di bagian pemasaran yang kerjanya di lapangan saja. Rendy mengekori langkah Fajar dengan sedikit tergesa. Memikirkan omongan Fajar perihal ia yang akan diperlakukan bak anak kecil nggak tau apa-apa. "Lo tau nggak kemarin gue lulus dengan predikat apa?" Fajar menoleh. "Apa?" "Cumlaude." *** Yang ditemui Vena saat pertama kali masuk ke kantornya adalah kerumunan cewek yang terbentuk melingkar, merapat, saling mengunci dengan kepala tertunduk khidmat mendengar gosip baru. Bahkan kursi kerjanya saja sampai raib diambil alih oleh Irene teman satu timnya yang kubikelnya mencelat jauh di pojok depan sana. Ia langsung meletakkan tas kerjanya begitu saja di meja tanpa mau ribet ikutan untuk bergosip, gantinya ia menoleh ke arah Danil dan Ita yang duduk berdekatan saling menggenggam tangan. "Itu pada ngapain sih, sampe segitunya?" Ita menoleh lantas mengedipkan matanya dengan lambat. "Ada anak baru, cowok lagi." Vena langsung membulatkan bibirnya begitu tahu mengapa kantor mendadak seheboh ini. Ia sendiri memang tak ingin dan merasa tak ingin melemparkan dirinya untuk ikut dalam dialog berbisik-bisik itu. Rea yang paling semangat, sebab pas berangkat tadi, cowok baru itu parkir di sebelah mobilnya pas. Pas banget. Sebagai orang yang merasa dirinya tertimpa durian runtuh karena ketepatan parkir di samping anak baru ganteng itu, akhirnya ia menceritakan dengan semangat, tak sadar kalimat yang diucapkannya hiperbola, membuat mata yang tadinya malas bekerja kini terbuka lebar-lebar, telinga yang mendadak tajam pendengarannya karena info itu beneran disampaikan dengan berbisik dan dengan kalimat yang bikin semua orang ingin tahu seperti apa wajah pegawai baru itu. "Kalian semua pada tau Robert Pattinson pemain Edward Cullen di Twilight itu? gantengnya boo, ngalahin itu, matanya duh gila banget kalo sampe lo pada tau gimana orangnya. TAJEM BANGET!" Seperti itulah kalimat yang sempat di dengar oleh Vena sebelum akhirnya ia memilih untuk tidak ikut campur. Beberapa menit kemudian, kerumunan cewek penggosip itu bubar begitu dua pasang sepatu berhenti di depan mereka semua. Terkejut, Mereka segera membubarkan lingkaran. Pura-pura menekuri layar di depannya. Fajar mengedarkan pandangannya, ia menemukan Vena yang masih mematung di samping Danil dan Ita. "Kenapa masih berdiri?" tanya Fajar datar. Vena kelabakan, menyadari bahwa cuma dirinya yang masih mematung menatap Fajar yang air mukanya datar banget. Di samping pria itu, menjulang sosok tampan, tegap, dan seksi. Siapapun orangnya pasti akan suka dengan tatapan tajam namun lembut itu. Itu pasti anak barunya. Dari tatapan Vena yang baru saja dilayangkan untuk Rendy, Fajar langsung bisa mendeteksi bahwa gadis itu tengah menilai, atau mungkin tengah mengingat siapa sosok itu, dan kalau sampai Vena ingat siapa Rendy itu artinya— "Vena, silakan kembali duduk di tempat anda, kalian juga silakan kembali bekerja. Kita harus bisa mempresentasikan hasilnya Minggu depan di meeting kita bersama klien, kerja yang fokus, jangan melirik-lirik, bercanda, atau bahkan sampai berleha-leha, waktu kita tinggal sedikit!" ceramah Fajar. Ditimbang dikata ceramah, sebenarnya Fajar itu lebih takut kalau Vena terdiam dan terus mantengin sosok Rendy, atau bahkan nanti ia harus berkenalan dengan Rendy yang pastinya masih ingat sosok Vena yang pernah ditolongnya. Semua orang grasak-grusuk untuk kembali bekerja, Vena sendiri langsung mingkem begitu mendengar Fajar di mode ngomel-ngomel, bukan masalah ia takut, tapi lebih ke— Oh, God!— males. Fajar itu tipe pemimpin tim yang disiplin banget. Deadline harus dikumpul tanpa mau tahu kalau anak buahnya megap-megap kehabisan oksigen saking disiplinnya. Vena melirik cowok yang dituntun Fajar mendekat ke arah Vena, ia duduk tepat di depan Vena. Ganteng, checked. Atletis, checked. Pacarable, checked. Gadis itu tertawa dengan pemikirannya yang terakhir? Pacar? Daripada ceklis-ceklis nggak jelas seperti ini, mending ia berkenalan dulu dengan anak baru ini. Fajar melirik gadis itu dengan tingkat ketajaman mata yang semakin menusuk. "Kerjakan kembali tugas kamu, Nona Vena. Nggak usah pecah fokus kemana-mana," desis Fajar kesal. Vena mendelik. Ya, gini nih, yang bikin Vena eneg sama Fajar. Posesif banget, padahal dia sudah bukan siapa-siapa lagi buat cowok itu. Fajar mendesah saat Vena balas mencibir dan kembali menghadap layar di depannya, tak memberikan fokusnya sedikitpun pada sosok Fajar yang sempat mengganggunya dengan selorohan. Vena semakin menjauh. Fajar melirik Rendy yang menatap berkeliling ke ruangan tim tersebut dan tampak terpukau dengan pemandangan yang satu ini. Cowok itu terkejut saat satu tangan mampir di pundaknya. "Tugas anda ada di bagian fotokopi, jadi jangan tebar pesona di sini dulu." *** Yang bikin Rendy nyaris ngakak adalah sikap ketakutan Fajar yang tampak jelas untuk berusaha mempertahankan Vena dari godaan wajah gantengnya ini. "Cewek tadi bukannya paca—" "Saya sedang berusaha profesional dengan tidak membahas apapun dalam jam kerja ini, silakan bicara ketika pulang nanti kalau ada perlu." Astaga! Rendy nyaris ngakak beneran mendapati satu manusia yang sangat patuh dengan peraturan. Tegas, galak, dan kaku. Satu lagi, posesif. Meski terlihat shock dengan pertemuan kedua dengan Vena, namun tak ditemukannya dalam tatap mata Vena sebuah ingatan tentang sosoknya. Padahal Rendy ingat pakai banget, kalau Vena adalah gadis yang ditolongnya dan nyaris saja menggerayanginya sewaktu gadis itu mabuk. Mungkin terlalu banyak minum membuat Vena tidak sadar sepenuhnya dan karena itulah Fajar takut sekali kalau Vena masih mengingat sosok Rendy yang pernah menolongnya sewaktu mabuk. Di depan mesin fotocopy Fajar menyorot Rendy dengan tatapan penuh, seperti memberinya peringatan tersirat. "Tugas kamu di sini dulu. Nanti kamu akan dipandu oleh Theo, apa saja yang bakal kamu kerjain di sini sampai Minggu depan." "Sampai Minggu depan?" "Sampai Minggu depan," tandas Fajar. Goodbye, Vena. *** Suasana di ruangan yang ditinggalkan Fajar langsung riuh kembali, banyak yang melayangkan pujian, terkesima, terpukau, seperti tersirep dengan pesona Rendy yang kedatangannya bagaikan magnet berbeda kutub yang berhasil menarik banyak sekali benda di sekelilingnya. "Gimana, Ven?" Vena menoleh ke arah Danil yang meliriknya disertai alis yang naik turun dengan jenaka. "Apanya yang gimana?" "Anak baru tadi lah," jawab Danil sebel. Vena tersenyum tipis sekali, kalau dibilang ia tertarik, jelas sekali ia tertarik, masalahnya ganteng banget gitu, kalau dibilang ia tertarik lebih bahkan sampai pengen gaet Rendy jadi pacarnya, sepertinya tidak. Ita di samping Danil membulatkan matanya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, seperti menahan histeris agar orang satu kafetaria tidak menyorot mereka. "Ven, lo kalo nggak suka sama Rendy, fix! Mata lo lamur beneran!" maki Ita dengan sorot takjub. Danil seketika menoleh. "Honey, maksud kamu apa ya bilang gini?" tanya Danil dengan nada yang jelas-jelas disertai kecemburuan. Tanpa disangka, seseorang menepuk pundak Vena dengan lembut. "Aku gabung di sini ya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD