Vena melotot. Ia menoleh kaget saat seseorang tau-tau sudah mendaratkan tubuhnya di kursi sebelahnya. Mepet banget malahan.
Merasa kehadiran Rendy tampak mengancam eksistensi Danil yang semulanya cowok sendiri di lingkup mereka bertiga, cowok itu melirik tajam ke arah Rendy dengan sorot kesal. "Boleh, tapi nggak usah tebar pesona," selorohnya kesal.
Ita langsung mendelik. Apaan sih?
Danil tak menggubris tatapan Ita yang terlihat tidak suka dengan respon pria itu terhadap hadirnya Rendy di tengah-tengah mereka. Rendy sendiri tersenyum saat mendapat satu penolakan yang terdengar secara jelas.
Tapi, jelas sekali ia tak membutuhkan perhatian lebih dari Ita, karena yang ditujunya saat ini adalah Vena.
Melihat ketidakpedulian yang digambarkan secara gamblang oleh Rendy pada Ita, Danil melonggarkan sedikit kecemasannya karena di depannya bukanlah orang yang akan merusak kebahagiaannya. Gantinya, Danil melirik Vena yang tampak anteng saja padahal dipandangi oleh Rendy dengan senyum kecil.
"Kalian sahabatan ya?" tanya Rendy.
Danil mengangguk, ia menyomot kentang di depannya dengan santai. "Daripada dibilang sahabatan mendingan gue bilang kalo Vena itu cuma benalu, ngehalangin gue mau romantis-romantisan sama pacar aja," ceplosnya.
Ita ngakak. "Iya, betul tuh, Nil, emang ya si Vena itu udah jomblo, masih aja ngintil kita. Coba deh Ven, nyari pasangan gitu," usul Ita bikin pandangan Vena langsung naik drastis. Menyorotnya dengan tatapan tajam.
"Plis deh, punya satu mantan aja udah berasa kayak suami galak gini, mau pacaran lagi? Gue ogah ribet!"
Mereka ngakak. Rendy tak bisa menyembunyikan ketersimaan yang besar kepada gadis di depannya kali ini.
"Lo nggak ada pacar Ven?" tanya Rendy terkejut. Jelas saja, karena terakhir kali ia menolong Vena bulan lalu, Fajar menyatakan dirinya sebagai pacar Vena.
Namun, kali ini, di depan matanya, ia menyaksikan bagaimana Vena menatapnya dengan pandangan datar, bahkan terkesan dia gak peduli lagi kalau yang ditatapnya adalah seorang cowok yang pernah menolongnya dan sekarang tergiur dengan kecantikan Vena.
"Enggak ada. Pacaran tuh ribet, hidup gue udah ribet, kerjaan udah ribet sama deadline, atasan tim juga ribet banget, jadi gue nggak mau nambahin beban hidup gue dengan satu keribetan lagi."
"Mantan lo itu udah kayak petugas medis, udah kayak guru juga. Tiap hari ngingetin soal kesehatan sama ngabsenin kegiatan lo," decak Ita disusul anggukan Danil yang membenarkan ucapan gadis itu.
Rendy nyaris ngakak. Mantan yang mana coba? Apakah Fajar itu mantannya? Kalau benar seperti itu, sungguh bertemu dengan Vena kali ini adalah anugerah yang tak bisa disia-siakan begitu saja.
Ditatapnya Vena kali itu dengan satu tatapan yang menjanjikan bahwa Rendy akan berjuang untuk gadis di depannya. Tatapan yang jelas-jelas tak pernah dilirik oleh Vena, namun sangat dipahami oleh Ita maupun Danil.
"Kayaknya lo butuh cowok baru deh Ven," desis Danil lirih, sembari melirik Rendy di sampingnya.
***
Yang dipikirkan oleh Vena saat itu adalah, semua cowok itu ribet. Masalahnya satu, dia sudah punya trauma mendalam dengan cowok yang punya riwayat posesif akut, suka mengatur, dan porsi cemburu yang bisa bikin orang depresi tiap hari.
Dan kedatangan Rendy kali ini, jelas banget dilihat oleh Vena. Bukannya ia tak tahu, hanya saja, Vena kali ini enggan menanggapi ketertarikan yang diperlihatkan cowok itu padanya. Hatinya masih menolak untuk kedatangan cowok lagi.
Pacaran bukannya bikin bahagia malah bikin ia tersiksa dengan adanya cowok satu yang memporak-porandakan hidupnya. Kebahagiaannya, kesenangannya, dan kebebasannya!
Mungkin memang terlihat dramatis, tapi, Vena beneran pengen sendirian dulu. Ngejomblo. Single.
Pernah nggak sih kalian merasakan kebebasan saat sendiri, lebih bisa bergerak kesana kemari tanpa takut ada yang melarang agar tidak dekat-dekat dengan si Itu dan si Ini. Dan kebebasan itulah yang sekarang tengah dibutuhkan Vena.
Di depannya Rendy tengah berbincang asyik dengan Ita dan Danil, kalau semua orang kantor bilang dia cakep, sumpah nggak bohong, Rendy itu cakepnya kelewatan. Charmingnya juga kelewatan sampai bikin orang kehilangan napas buat lihat senyumnya yang murah dan manis banget itu.
Apalagi pas senyum, meski kecil tapi tak bisa menyembunyikan lesung pipi yang dalam banget dan melintang panjang banget. Kalau sudah begitu, pasti cewek-cewek satu kantor bakal tutup mulut nahan histeris.
Baru disadarinya Rendy menoleh dan menatapnya cukup lama, Vena menahan napasnya sejenak. Ia tampak salting dengan tatapan Rendy yang terkesan menusuk iris cokelat milik Vena.
Danil dan Ita berpandangan ikut menatap Vena yang kini sungguhan tidak bernapas saking saltingnya. "Lo liat gue terus ngapain sih?" sewot Vena.
Rendy menggeleng, ia menipiskan bibirnya. "Enggak, cuma itu di rambut lo ada potongan kertasnya."
Rendy mengambil kertas yang menyusup di rambut Vena, gadis itu merasakan pipinya panas akibat ulah Rendy yang bikin ia jadi salah paham. Danil sendiri barengan Ita sudah menahan tawanya yang nyaris meledak sampai mereka harus pura-pura untuk kembali fokus pada makanannya.
"Makasih." Vena kembali memakan salad di depannya.
Rendy mengangguk kecil, tak bisa melepaskan tatapannya pada Vena. Dengan senyum ia berucap, "Sama-sama. Lain kali jangan negative think sama gue ya, gue anaknya baik kok."
***
Sore harinya Ita tak bisa lagi menahan penasarannya saat ia dan Vena tengah berjalan untuk keluar kantor, bubaran kantor seperti ini memang menjadi momen untuk berlomba-lomba agar cepat memberesi barang dan tancap keluar dengan kepala mengasap.
Vena sendiri tidak mau repot-repot membalas pertanyaan beruntun Ita padanya. "Ven, lo inget nggak sih gimana tatapan Rendy ke elo waktu itu?"
Vena mengernyit, mengingat kembali tatapan Rendy yang nyaris membekukan otaknya dan melumpuhkan kerja tubuhnya. Ia menggeleng. "Emang gimana tatapannya?"
Ita mendesah. "Ampun deh, Ven, padahal dari tatapannya aja gue udah tahu kalo Rendy itu tertarik banget sama elo ih."
Vena mendecakkan lidahnya, ia menghentikan langkahnya kemudian menatap Ita serius. "Lo tau gimana tampangnya si Rendy?"
Gantian kening Ita yang berkerut. "Gimana? cakep?"
"Betul, dan itu nggak mungkin banget kalo Rendy suka sama gue yang gini-gini aja," balas Vena yang kemudian ia dijitak oleh Ita.
Gadis itu memutar bola matanya dengan lagak bosan. "Gini ya Vena Sativa, kalo misal beneran lo pacaran sama Rendy, gue yakin lo bakalan famous, ketiban tenar akibat jadi pacarnya si Rendy yang mempesona itu. Dan yang paling penting, elo tuh bisa bebas dari Fajar."
Fajar lagi, kan?
"Kenapa sampe Fajar?"
Ita mencureng, menyelidik sosok Vena yang kemudian berdecih dengan ulah Ita yang sok detektif. "Kenapa emangnya? Lo masih suka sama Fajar?"
"Sorry, sekali mantan adalah mantan!" ketus Vena kemudian masuk ke dalam mobilnya.
Ita tersenyum kecil, ia mengekori Vena yang masuk ke mobil kemudian ia berbisik pelan. "Tapi lo lupa kalo Fajar udah ngutuk lo buat cinta selamanya sama elo, lo nggak pengen apa hilangin kutukan mantan?"
Kutukan Mantan? konyol memang kalau dipikir-pikir, ini jaman modern, dan kutukan cuma berlaku di zaman dahulu dan lagi, memangnya Fajar orang sakti mandraguna yang bisa mengutuknya untuk terus membuat hati Vena tak bisa terbuka untuk orang lain?
"Ven, gue cuma mau ngingetin kalo bisa saja omongan yang diucapkan Fajar itu mumpuni, kenyataannya sampe sekarang nggak ada tuh cowok yang deketin elo, apalagi namanya kalo kutukan Fajar itu nggak mumpuni?"
Mendengar omongan Ita yang berapi-api dan dipikir ke otak juga terdengar logis sekali, ketakutan dalam diri Vena muncul dengan satu pemikiran yang tak terduga.
Untuk menjauhkan dirinya dari Fajar yang posesif seperti itu, dia harus mempunyai tameng yang kuat agar Fajar bisa segera menyingkir dari kehidupannya.
"Gue tau apa yang harus gue lakukan, Ta," desis Vena tiba-tiba.
Dengan kepala menoleh, Ita mendapati mata Vena berkilat. Menghapus kutukan mantan memang harus dibutuhkan cara yang lebih ekstrem, meski ia harus menumbalkan satu hati buat tersakiti.
Terdengar konyol memang, namun ini adalah jalan satu-satunya agar Vena bisa terbebas dari kukungan sosok Fajar yang merajalela, sebagai cewek yang mengikuti paham kemerdekaan yang sesungguhnya, oleh sebab itu penjajahan yang bersifat masa lalu harus segera dihapuskan.
Hanya satu cara yang dimilikinya, dengan berbisik, ia mengutarakan pendapatnya. Pendapat yang sempat dibuat ejekan oleh Ita dan kini justru menimbulkan ketakjuban tak terelakkan.
"Gue butuh jadiin Rendy tameng."