"Maksud saya, Bapak Adnan sangat hamble dan memikirkan karyawan seperti adanya cafetaria dengan makanan gratis untuk karyawan merupakan salah satu perhatian dari pimpinan, bukan?" Qeela menjelaskan maksud pujiannya atas Adnan.
"Oh, itu. Ya seharusnya begitu," sahut Adnan.
"Ada kok perusahaan yang tidak memperhatikan itu dan membiarkan karyawannya makan dimana pun mereka tidak perduli," ujar Qeela.
"Sangat di sayangkan jika ada perusahaan seperti itu, bagaimana karyawannya mau loyal pada perusahaan sedangkan perusahaan tidak memperhatikan karyawannya." Adnan mengangkat kedua alisnya diakhir kalimatnya, membuat Qeela salah tingkah karena pesonanya semakin menjadi dengan ekspresi wajah seperti itu bagi Qeela.
Tidak lama makan siang mereka pun tiba. Office boy yang sama mengantar makan siang untuk Adnan dan Qeela.
Adnan mengambil makanan dari tangan pria itu dan memberikannya pada Qeela.
"Makasih ya, Sep," ucap Adnan pada Office boy bernama Asep itu.
"Iya, Pak. Selamat makan, Pak, Bu." Kemudian Asep keluar dari sana setelah dia memastikan kebutuhan bossnya tidak ada yang kurang seperti alat makan dan minumnya.
"Anda suka?" tanya Adnan saat Qeela melihat nampan dihadapannya.
Satu porsi makan siang dalam satu nampan, satu piring nasi dan piring-piring kecil berisi lauk pauk dan semangkuk sop, di sana juga ada beberapa potong buah dan kue sebagai hidangan penutup.
"I-ini lengkap sekali," puji Qeela dengan mata berkaca-kaca melihat menu makan siangnya yang bisa di katakan komplit dan bergizi.
"Seperti ini catering makan siang kami di sini, Anda suka atau mau ganti lauk?" Adnan menawarkan hal yang Qeela tidak habis pikir.
"Ganti lauk?" tanya Qeela bingung karena ini saja sudah sangat lezat terlihat dan masih bisa ganti menu lagi jika dia tidak menyukainya? Yang benar saja!
"Iya, biar saya bilang sama Laila." Adnan hendak berdiri tapi tertahan karena Qeela menggenggam tangannya tanpa sengaja. Bermaksud mencegah Adnan tapi mereka malah seakan bergandengan tangan.
Qeela langsung melepas genggaman tangannya seketika dia sadar kalau ternyata dia malah menggenggam tangan Adnan.
"Ma-maafkan saya, rasanya tidak perlu. Ini saja sudah cukup." Qeela tersenyum canggung.
Bukan hanya Qeela yang merasakan kecanggungan itu tapi Adnan juga. Barusan tangan mungil dan lembut itu menggenggamnya dan dia merasakan sesuatu yang berbeda. Adnan merasa detak jantungnya menjadi tidak beraturan.
Pria itu akhirnya kembali duduk dan mulai mengambil alat makannya.
"Kalau begitu, silahkan dimakan. Selamat makan," ucap Adnan.
"Selamat makan juga, Pak."
Keduanya makan dalam diam, hanya terdengar denting sendok dan garpu di ruang kerja sebesar itu.
"Oh, iya. Tadi kamu bilang kamu yang buat proposal itu, karena kamu lulusan-"
"S1 Sekretaris," jawab Qeela singkat sambil menikmati sepotong buah.
Percakapan Adnan mulai dengan melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong karena Laila tadi. Makanan pokok sudah selesai mereka habiskan, tinggal makanan penutup maka dari itu Adnan mulai membuka obrolan.
"Wow ... pantas saja," puji Adnan, kagum.
"Tapi kamu dari kecil dan besar di panti, bagaimana bisa? Apa da orang tua asuh?" tanya Adnan yang tambah di buat penasaran dengan kehidupan Qeela.
Qeela mengelap sudut bibirnya dengan tisu.
"Iya, ibu Purwati orang tua asuh saya, beliau tidak mengijinkan siapapun untuk mengadopsi saja karena saya sudah dia anggap putrinya sendiri." Qeela menceritakan kisahnya pada Adnan karena bukan hanya Adnan saja yang ingin tahu kehidupan Qeela. Sampai saat ini sudah banyak orang ingin mengetahui tentang Qeela.
"Ibu Purwati menemukan saya di dalam sebuah dus di depan panti, kondisi hujan lebat dan waktu itu saja hanya di balut kain gendongan batik merah, di dalam dus tanpa ada baju atau botol s**u. Masih sangat merah dan ibu mengira kalau saya baru saja di lahirkan saat itu karena ari-ari saya pun masih menempel."
Qeela menarik napasnya panjang, menandakan kalau cerita itu sebenarnya berat untuknya, mengulang cerita itu sama saja menggores luka di hatinya. Iya dia terluka tanpa tahu siapa yang membuat luka di hidupnya. Dia tidak mengetahui siapa orang tua yang membuangnya begitu saja saat lahir. Kalau tidak mengharapkannya mengapa dia dilahirkan? Mengapa tidak di gugurkan saja sejak dalam kandungan, pikir Qeela berulang kali. Dan setiap dia berpikiran seperti itu ibu Purwati yang selalu menguatkan dirinya.
"Ibu Pur yang merawat saya sejak bayi dengan penuh kasih sayang sampai saya besar dan lulus sekolah SMA memakai beasiswa kemudian saya kerja di restauran, di minimarket untuk mengumpulkan uang kuliah, beasiswa yang kampus berikan tidak sepenuhnya, saya harus beli buku dan ongkos kesana dengan biaya sendiri, saya kuliah sambil kerja saat itu," Qeela terkekeh pelan kala mengingat perjuangannya sampai dia lulus kuliah. Bekerja di pagi hari dan kuliah di malam harinya.
"Dan akhirnya kamu lulus S1 Sekretaris?" Adnan meneruskan cerita Qeela.
Qeela mengangguk membenarkan ucapan pria tampan yang saat ini menatapnya dengan serius.
"Setelah lulus apa kamu kerja di kantor?"
Kepala Qeela menggeleng menjawab pertanyaan Adnan.
"Setelah lulus justru saya tidak bekerja dimanapun. Saya membantu ibu di panti karena pengurus panti sangat terbatas dan kebanyakan mereka hanya lulusan SMA bahkan ada yang hanya lulus SMP, mereka tidak mengerti tentang administrasi kecuali ibu Pur. Maka dari itu aku ingin mengabdi dengan bekerja di panti," lanjut Qeela.
"Mengurus surat kelengkapan adopsi itu tidaklah mudah," ujar Qeela.
"Di gaji?"
Qeela mengulum senyumnya mendengar pertanyaan yang sangat terus terang itu dari mulut Adnan.
"Maaf, maksud saya apa kamu mendapat imbalan dari kerja kamu di sana?" Adnan memperbaiki pertanyaannya takut Qeela tersinggung.
"Tidak, Pak. Hidup dan besar di panti dengan gratis saja saya sudah merasa bersyukur. Saya bekerja di sana bermaksud membalas budi yang tidak akan saya bisa bayar seumur hidup saya." Kepala Qeela menggeleng. Tanpa dia sadari air matanya menetes dan secepatnya dia hapus dengan tangannya.
"Maaf," ucap Adnan karena dia merasa telah membuat Qeela bersedih.
Adnan memberikan tisu dan segelas air untuk Qeela minum. Dengan minum Adnan yakin Qeela akan lebih tenang.
"Kenapa Anda meminta maaf, Pak," balas Qeela setelah dia meminum air pemberian Adnan dan mengelap kembali matanya dengan tisu.
"Ya karena saya kamu jadi sedih, Qeela. Heum! Maksud saya Mba Qeela."
"Anda bisa panggil saya Qeela saja, Pak."
"Baiklah, Qeela. Rasanya lebih nyaman, tidak kaku ya, lagi pula usia kamu lebih muda dari saya," canda Adnan mencairkan suasana haru di antara mereka.
Qeela tertawa pelan.
Bersamaan dengan itu Adnan terpesona dengan wajah Qeela saat tertawa.
"Tapi kamu juga jangan panggil saya dengan embel-embel Pak kalau begitu," pinta Adnan.
Kening Qeela berkerut.
"Panggil saya dengan sebutan Sayang, bagaimana?"