3

1387 Words
"Jangan kabur, dong!" Aku melongo menatap tak percaya pada si bayi yang tiba-tiba muncul tanpa permisi. Bahkan, membuatku nyaris terkena serangan jantung. Cahyani yang kebetulan sedang bersamaku maju, menatap si bayi dari kepala hingga kaki yang berbalut sepatu. Sahabatku itu terlihat takjub karena bayi jadi-jadian itu bisa terdampar di depan sekolahku. Selesai mengamati, Cahyani kembali berdiri di sampingku. Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Cakep gila, Del. Kalau modelnya begini, aku juga mau," bisiknya. Aku menghela napas pelan. "Karungin aja, bawa pulang," delikku sebal dengan intonasi rendah, ikut berbisik. "Nggak, aku hibahin buat kamu. Jodohmu itu, Del." "Aku reject trus forward ke kamu, Cah." Cahyani tergelak. "Maaf, kuota habis nggak bisa ngunduh." "Nggak nyambung," desisku. Cahyani tidak peduli, hanya tertawa geli. Aku melihat si bayi yang sedang menatapku dengan emosi. Raut wajahnya yang mirip vampire itu membuatku tidak berani menatap lama-lama. "Tanggungjawab, dong! Udah dipungut kok ditinggalin?" Si Bayi buka suara lagi. "Emangnya mau diapain? Dikarungin trus dipajang di kamar gitu?" goda Cahyani jail. Si Bayi mendengus kasar. "Nggak gitu juga," sahutnya dengan nada menggantung. "Oh, kenalin, aku Cahyani," kata Cahyani memperkenalkan dirinya. "Terserah, aku ada perlu sama dia," katanya dengan berani mengabaikan Cahyani membuat sahabatku itu mendengus kasar. "Kamu sudah bilang mau memungutku, lantas kenapa kabur? PHP ya?" tuduhnya dengan nada suara yang menunjukkan kekesalan. Aku memejamkan mata sejenak, mendadak pening dengan serangan tiba-tiba dari si bayi yang merajuk. "Oke, stop," kataku yang berpikir untuk mengalah. Aku menatapnya lagi dengan berani. Di mana si bayi masih menatap tajam ke arahku, seolah tidak pernah melepas pandangan matanya dariku. "Soal pungut-memungut, ada yang perlu aku luruskan," kataku. Si bayi menyimakku baik-baik, emosinya sudah calm down. Cahyani juga diam saja, baru kali sahabatku itu tidak banyak bicara. Aneh. "Aku memang bilang iya, tapi kalau harus membawamu ke rumahku, aku nggak bisa. Aku bisa dikubur hidup-hidup sama ibu dan abangku yang selalu mencari kesempatan untuk melemparku keluar dari hidup mereka. Jadi, aku nggak bisa bawa kamu pulang," jelasku panjang-lebar. "Aku juga nggak berniat pindah ke rumahmu. Aku juga punya rumah sendiri, kok," jawabnya santai. Trus ngapain kamu sampe dateng ke sekolahku buat bahas urusan pungut-memungut? "Yaudah, berarti urusan kita udah kelar kan?" tanyaku dengan intonasi yang sengaja ditekankan. "Nggak, belum," sanggahnya yang nyaris membuatku menonjoknya sampai pingsan. "Maumu apa?" tanyaku dengan emosi tertahan. "Alasannya apa sampai kamu kabur dan ninggalin aku kemarin?" tanyanya balik. "Buru-buru," jawabku. "Buat?" tanyanya seperti guru menagih penjelasan detail tentang praktek percobaan yang dilakukan pada muridnya. "Penting buat dijelasin?" tanyaku balik. Niatnya mau menyindir tetapi si bayi agaknya belum paham bahasa manusia dewasa. "Iya," jawabnya. "Jadi, buru-buru kenapa? Mau ke mana?" tanyanya ngotot. "Pup," jawabku yang nyaris membuat Cahyani muncrat karena nggak bisa nahan tawa. "Bilang, dong," katanya, tidak terpengaruh sama sekali dengan jawabanku. Padahal, aku berharapnya dia ilfeel dengan penjelasan ngawurku itu. Aku berdecak pelan saat si bayi masih saja mematung di depanku. "Aku mau pulang," kataku. "Gitu aja?" tanyanya dengan nada tidak percaya. Aku mengangguk. "Iya, kenapa?" tanyaku balik. "Kamu ngelakuin kesalahan dan cuma bilang mau pulang?" sindirnya. Aku nyaris memelototinya seandainya Cahyani tidak menyikut lenganku dan membuatku menoleh ke arahnya. "Say sorry udah, biar cepet," sarannya setengah berbisik. Aku memanyunkan bibir, tidak rela karena merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Lagipula, aku sudah menolong bayi itu kemarin. Seharusnya dia yang berterima kasih dan meminta maaf  karena sudah menyusahkanku, bukan sebaliknya. "Gengsi ya?" Si Bayi membuka suara lagi. Demi harga diri sebagai manusia yang lebih dewasa, aku terpaksa mengalah. Aku juga tidak ingin marah. Kemarahan hanya akan memunculkan keriput di mata dan cepat terlihat tua sehingga sebisa mungkin aku harus bisa menahan emosi agar tetap terkontrol. "Sorry." "Sorry aja?" Aku nyaris melayangkan tinjuku jika Cahyani tidak segeras menahan tanganku yang sudah terkepal sempurna. Si bayi benar-benar ngelunjak. "Maumu apa, sih?" "Temani aku makan. Lapar." Aku memasang wajah datar. Bayi tetaplah bayi. Belum apa-apa dia sudah mengaum karena perutnya lapar. Ya, seharusnya sejak awal aku sadar bahwa bayi merajuk karena dua hal : lapar atau ngompol. "Del, aku nggak bisa ikut nemenin," kata Cahyani membuatku memelototinya. "Sorry, ayahku udah jemput. Tuh!" Cahyani menunjuk ke arah ayahnya yang sudah datang untuk menjemput anak gadisnya. "Tumben kamu nggak bawa sepeda motor?" "Iya, soalnya pulang sekolah langsung mau ikut ayah ke rumah nenek. Maaf ya," sesal Cahyani sambil menungkupkan kedua tangannya depan d**a. "Aku duluan," pamit Cahyani lalu segera berlari menuju ayahnya. "Yuk!" ajak si bayi yang membuatku terfokus lagi padanya. "Ngapain?" tanyaku curiga. "Makan, emang mau ngapain lagi?" tanyanya balik dengan senyuman nakal menyebalkan. Sialan. Bayi kurang ajar. "Yaudah. Lewat sini," kataku lalu berjalan santai. Si Bayi mengikuti. Dia berjalan di sampingku dengan mulut yang untungnya tertutup rapat. Dia berhenti saat aku berhenti, mau menyeberang jalan. Dia tampak menoleh kiri dan kanan sementara aku segera meraih tangannya untuk segera menyeberang. "Masih ada kendaraan," protesnya. "Nunggu sepi sampai nggak ada kendaraan yang lewat itu buang waktu! Lagian masih jauh, nggak akan ketabrak," kilahku lalu menggandeng tanganya kembali.  Ya, bayi tetaplah bayi. Walau dia lebih tinggi. Produksi ASI ibu-nya pasti bagus sampai dia bisa setinggi ini. Tiba di warung nasi langgananku, aku segera masuk, berdua dengan si bayi pastinya. Tangannya masih menempel di tanganku membuat kami sudah seperti Ibu dan anak. "Makan di sini?" tanya si bayi saat melihatku duduk. Aku mengangguk. Si  bayi kemudian ikutan duduk.             “Mau makan apa?” tanyaku dengan nada pelan, berharap si bayi tidak akan memesan banyak atau minimal bukan yang aneh-aneh. Aku berasal dari keluarga sederhana, belum bekerja dan belum tahu kapan menjadi kaya. "Di sini jual apa aja?" "Bubur nggak dijual." "Aku nggak suka bubur." Apa ini mungkin? Mana ada bayi yang nggak suka bubur? Dia pasti hanya berakting. "Kita makan nasi, kok," ucapku membuatnya tutup mulut, batal berdebat. "Ayam atau telur?" "Dua-duanya." Aku memutar bola mataku malas. Menyesal sudah bertanya. Kalau tahu akan begitu, aku seharusnya membelikannya nasi dengan lauk tempe saja. Kalau dia minta makan tiap hari, aku bisa semakin miskin. Keselamatan keuanganku harus diutamakan. "Minumnya es jeruk, aku nggak suka yang lain," katanya menimpali. Aku menarik napas panjang lalu pergi memesan. Untuk hari ini, aku akan bersikap baik padanya. Setelahnya, akan aku patahkan kakinya kalau minta yang macam-macam. Selesai memesan, aku duduk lagi di kursi yang berseberangan dengan si bayi, tetapi dia malah pindah untuk duduk di sampingku. "Biar lebih deket," jelasnya tanpa aku tanya. "Bikin sempit," dengusku kesal. "Kalau makan sambil ngeliat wajahmu, aku nggak konsentrasi," katanya lagi membuatku mendadak mual. Howeek. Gembel amat ini bayi. "Kelas berapa?" tanyanya mengutarakan pertanyaan yang sama sekali tidak aku harapkan. "Nggak nanya nama dulu?" tanyaku. "Nggak usah, sudah tahu," katanya sambil melihat ke name tag di seragamku. Aku mendesah pelan lalu melirik ke name tagnya yang kosong. Nggak ada name tagnya? Curang. "Sengaja nggak dipasang," jelasnya. "Oh," kataku lalu mengarahkan pandanganku ke arah lain. "Nggak mau nanya namaku?" Penting gitu nanya namanya? "Oi," panggilnya. Aku melengos. "Nggak!" Si bayi hendak bertanya lagi, tetapi batal karena pesanan kami datang di saat yang tepat. Dia pun tidak rewel lagi, sibuk makan. Dia sempat melirik ke nasi yang aku pesan dan heran karena laukku hanya satu potong tempe goreng. Jadi, sebelum dia bertanya macam-macam, aku jelaskan padanya kalau aku suka tempe. Walau alasan sebenarnya aku memesan untuk berhemat. Sebagai seorang perempuan dewasa, aku tidak mau si bayi tahu kalau uangku sedikit. Harga diriku melarangku untuk jujur. Selesai makan, si bayi berdiri dari duduknya lalu mengeluarkan sejumlah uang. Dia yang bayar! Oh my God. Kenapa nggak ngomong dari tadi, k*****t? "Kok kamu yang bayar?" tanyaku heran saat dia kembali setelah membayar. "Aku kan minta ditemeni makan, bukan minta dibayarin," jawabnya santai. Smart. Si bayi ternyata nggak bisa diremehin. "Ayo, aku antar pulang," ajaknya sambil menyampirkan tas miliknya ke bahunya. "Nggak usah, rumahku jauh!" "Lintas pulau?" "Nggak, sih." "Luar kota?" "Nggak juga." "Yaudah, ayo." Sial. Aku kalah lagi sama bayi. Aku terpaksa menuruti apa maunya dengan rencana licik untuk membawanya ke jalan raya lalu kabur secepat cahaya. Dia pasti tidak akan bisa mengejarku, badannya kurus begitu. Mukanya apalagi. Mirip vampire penyakitan. Pucat. Aku terus berjalan dengan si bayi mengekoriku. Aku belum mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri. Dia belum lengah. Sempat, di jalan dia bersikap seperti seorang lelaki gentlemen karena tidak membiarkanku untuk berjalan di sisi yang banyak kendaraan lalu-lalang. Aku kagum dengan caranya memperlakukanku. Walau perasaan itu segera hilang saat dia terhenyak kaget dan kabur karena kucing liar yang tiba-tiba muncul dari semak-semak. Sekali bayi, tetaplah bayi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD