2

1367 Words
Aku memutar bola mata ke atas, sedang berpikir keras mencari kata-kata yang pas. Bibirku bergerak-gerak tidak jelas. Tangan dan kakiku mendingin karena keberanian yang belum juga terkumpul meski membuang banyak waktu. Cahyani, sahabatku sejak SMP, memasang wajah cemberut. Kesabarannya menipis, bisa dibilang, nyaris gagal menahan diri untuk tidak mendampratku. Tak ingin diceramahi, aku segera mengangkat satu tanganku untuk mencegahnya bicara. "Wait! Kasih waktu dikit lagi," pintaku dengan wajah memelas. Cahyani mengembungkan kedua pipinya yang chubby. Dengan bibir yang sengaja dimanyunkan, dia memelototiku sebagai peringatan agar segera bercerita dan tidak membuang-buang waktunya yang berharga. Aku sedang menceritakan tentang pertemuanku dengan cowok lemah bau kencur kemarin. Cowok lemah yang dikeroyok kentang dan tiga anak buahnya di waktu hujan. Sejujurnya, aku enggan melanjutkan terusan ceritanya. Cahyani menjadi kepo tingkat bulan. Dia terus mendesakku untuk melanjutkan cerita yang sebenarnya sudah jelas lanjutannya tapi tertahan di bibir. Cahyani mengembuskan napas berat sekali lagi, seperti sudah kehilangan pundi-pundi kesabaran. Mau tidak mau, aku segera melanjutkan ceritaku. Kalau Cahyani meledak, bolpen metalik saja bisa dikunyahnya seperti cemilan. "Dia minta dipungut, Cah," lanjutku setelah sekian lama menunda. Cahyani melongo, dahinya berkerut lalu mendadak terbahak. Suara tawanya keras sehingga membuatku sebal. "Emang dia sampah kok dipungut, Del?" tanya Cahyani dengan takjub di sela tawanya. Aku mengedikkan bahu. "Entah, dia bilang begitu sendiri," sahutku. "Trus, kamu jawab apa?" tanya Cahyani. "Nah itu," kataku sembari menjetikkan jariku. "Aku bilang iya." "Hah? Haha." Cahyani terbahak lagi. Cewek yang sebentar lagi menginjak usia delapan belas tahun dalam tiga bulan itu sampai meneteskan air mata. "Puas?" sindirku BT. Cahyani hanya melipat bibir, berupaya menahan tawa sebisa mungkin. Walau baru berhasil melakukannya setelah beberapa menit. "Jadi, yang minta pungut bentukannya kayak apa?" tanya Cahyani yang sudah kembali waras. Cewek berpipi chubby itu mengambil tisu dari dalam tas lalu menyeka air mata yang meleleh di pipinya. "Cowok dengan kulit putih pucat bak vampire yang baru keluar dari freezer. Tubuhnya kurus, pertulangan leher dan lengannya bahkan kelihatan, nggak macho banget. Bisa dibilang, udah mirip cowok penyakitan," jelasku. “Oh..” Cahyani mengangguk-nganggukkan kepalanya.  "Kalau tampangnya gimana?" Aku terdiam sebentar, mengingat kembali bagaimana tampang cowok lemah kemarin. Namun yang muncul, tidak hanya wajah tetapi juga tatapannya yang mirip sihir medusa. Melemahkan. "Argh," rutukku frustrasi sambil menjambak rambutku sendiri dengan kedua tangan. "Oke, kalau reaksimu begitu, udah pasti dia setampan Edward Cullens," kata Cahyani menyimpulkan seenak jidat. "Edwart Cullens kamu bilang? Jangan ngaco! Wajahnya nggak ada mirip-miripnya sama tokoh itu! Dia malah imut banget, sampai-sampai kalau misalkan dia bilang masih SD, aku bakal percaya," sanggahku dengan tegas. Cahyani menarik ujung bibirnya ke atas. Aku tidak suka dengan senyumannya itu. "Apa?" tanyaku mulai berfirasat tidak enak dengan tatapan jahil Cahyani. "Jadi, dia segitu cakepnya sampe seorang Adela Saraswati stress berat?" goda Cahyani. Mataku terbelalak. Shock. "Ish, nggak. Aku bilang tampangnya imut banget mirip bayi," bantahku. "Bagus, dong. Itu artinya dia masih muda. Untung ,dong," respon Cahyani santai. "Hah? Untung darimana, Cah?" tanyaku nggak percaya dia akan berkata begitu. "Lah, daripada kamu disuruh mungut lelaki tua renta yang nyaris mati, mending mungutin cowok cakep yang masih muda kan? Bisa kamu rawat, trus kalau gede dan menawan, tinggal kamu nikahin aja," usul Cahyani ngaco. "Hah? Nikah sama dia? Ogah," tolakku tegas. Cahyani tergelak. "Yakin ogah? Ntar besar dikit, kamu jatuh cinta," goda Cahyani. "Nggak akan," kataku tegas. Cahyani terkekeh pelan. "Jangan bilang gitu, kalau ada malaikat lewat trus omonganmu didoakan sebaliknya gimana?" katanya membuatku bergidik ngeri. "Kalau nggak mau dinikahin, pacarin aja. Kan kamu jomlo, tuh." Cahyani memberikan usulan ngawur lagi. "Aku pacaran sama bayi?" Mataku terbeliak sempurna. "Dia bukan bayi, Del. Dia sudah SD." "SMP." "Ah iya, SMP. Dia udah bukan bayi." Aku mengembuskan napas berat. "Denger," kataku dengan nada serius membuat Cahyani menatapku baik-baik. "Kamu nyuruh aku pacaran sama cowok yang sama sekali nggak masuk kriteriaku, Cah? Come on, dia itu bocah SMP. Sedangkan aku sudah SMA kelas 12, ada perbedaan 4-5 tahun di antara kami. Saat aku udah belajar nyanyi di TK, dia masih dalam program pembuatan ayah dan ibunya, Cah." "Trus? Salahnya di mana?" Entah sengaja mau bikin aku mati stroke atau keriput mendadak, Cahyani memberikan tanggapan yang menyebalkan. "Salahnya banyak." delikku sebal. "Aku nyari cowok derwaman yang sudah nyumbang satu tulang rusuknya buatku, bukan bayi yang bahkan belum diciptakan saat aku dibuat," tegasku. "Ayolah, Del. Kalau maksudmu penciptaan perempuan dari tulang rusuk lelaki, bahkan tanpa lelaki harus diciptakan lebih dulu pun, jodoh perempuannya sudah bisa diciptakan duluan." "Tapi, Cah.." Cahyani mengangkat kedua tangannya membuatku membatalkan niat untuk menyanggah ucapannya. "Cinta itu bukan soal usia, Del. Berlaku juga untuk urusan jodoh. Nggak zaman ngukur jodoh dan kecocokan dari usia, Del. You know, tanpa harus aku sebutin, kamu tahu pasti kan, deretan nama-nama pasangan femes dimana perbedaan usia di antara pasangan-pasangan itu sangat besar?" Cahyani menekankan kalimat terakhirnya. Aku mengangguk lemah. Pasrah. "Aku nggak nyalahin kalau kamu maunya cowok yang ini-itu, whatever, up to you. Cuma, apa salahnya sih ngasih kesempatan buat cowok-cowok itu deket sama kamu, Del?" tanya Cahyani heran. "Oke, kalau nyingkirin usia, aku maunya yang kulitnya kecoklatan," jawabku. "Si Faiz dari kelas XI itu kulitnya cokelat tapi tetep kamu tolak tuh," sahutnya. "Dia imannya setipis bulu idung. Liat yang bening dikit, udah pasti selingkuh." "Hah? Tahu darimana, Del?" "Nggak liat kamu gimana cara dia ngeliatin para adik kelas? Bola matanya bahkan nyaris keluar." Cahyani terkekeh pelan. "Oke, lupakan Faiz. Kalau sama si Ali dari kelas X gimana?" "Ogah sama dia," tolakku. "Kenapa? Kan kulitnya eksotis." "Iya, tapi badannya subur amat, Cah! Kalau dibandingkan sama kasurku, mungkin dia jauh lebih kenyel dan empuk." "Nah, oke, sekarang balik lagi sama si bocah SMP. Kenapa kamu nggak mau pacaran sama dia? Karena fisiknya? Secetek itu pikiranmu, Del?" Cahyani menatapku lekat membuatku kehilangan kata-kata. "Oke, I have no words," ucapku membuat Cahyani melengkungkan senyuman senang. "Tapi, tetap aja. Aku maunya yang lebih tua. Aku nggak mau punya jodoh bayi. Ngeri ngebayangin saat aku udah jadi nenek yang bawa tongkat kemana-mana, dia masih jadi lelaki perkasa yang tinggal nunggu aku mati buat kawin lagi. Big No for it." Aku masih berpegang teguh dengan prinsipku. Cahyani menghela napas berat. Senyumannya raib dalam sekejap. "Aku nyuruh pacaran, Nek. Bukan nikah," elaknya. "Lagian, pikiranmu kejauhan, Del! Kalaupun kamu nikah sama dia trus menua bareng. Meski kamu tua-nya lebih dulu, kata siapa dia bakal ngarep kamu mati cepet buat kawin lagi? Itu cuma asumsimu aja, Del," ceramah Cahyani. "Jadi maksudmu, bahkan tanpa nunggu aku mati, dia bakal kawin lagi?" delikku sebal. Cahyani menepuk ringan jidatnya. Bahkan menungkupkan tangan dan berdoa. "Ya Tuhan, tolong perbaiki otak Adel yang suka negatif thinking," doanya dengan serius, bahkan sampai memejamkan mata. "Nggak usah alay, deh," decakku sebal. Cahyani membuka matanya lalu cengengesan. "Doaku tulus, Del. Kasihan aku ngeliat kamu bakal menopause tanpa pernah mencicipi rasanya pacaran di masa putih abu-abu," sahutnya dengan wajah serius yang nyaris aku timpuk pakai sepatu kalau saja bukan sahabatku satu-satunya. "Doa, doa aja! Tapi jangan nyumpahin, dong," protesku. Cahyani nyengir. "Jadi, nama bocah SMP itu siapa?" tanya Cahyani. Aku menggangkat kedua bahuku. "Nggak tahu." Kedua alis Cahyani membentuk garis lurus. Heran sekaligus bingung. "Kok bisa gitu?" tanyanya heran. "Aku kabur begitu iya-in permintaannya buat dipungut," jawabku. Cahyani tertawa lagi. Sepertinya dia harus memberiku sejumlah uang karena membuatnya banyak tertawa hari ini. Sempat, aku mengusulkan agar Cahyani berpacaran dengan cowok lemah itu saja. Namun dia menolak dengan alasan tidak mau menikung jodoh teman. Padahal, aku dan cowok lemah itu belum tentu berjodoh. Lagipula, siapa pula yang mau menjadi jodoh dari yang lebih muda. Never. Cahyani juga bertanya alasan mengapa aku mau mengiyakan permintaan aneh dari cowok lemah yang aku bilang bayi itu. Awalnya, aku tidak mau menjawab, tetapi Cahyani terus mendesak sehingga aku tidak mempunyai pilihan lain. Terlebih, setelah berjanji tidak akan menertawakanku. "Tatapan matanya," jawabku pada akhirnya. "Kayak mata kucing?" tebak Cahyani. Aku menggeleng. "Bukan." "Terus?" "Udah mirip kayak tatapan mata anak beruang yang ditinggal induknya, memelas banget." Cahyani melebarkan pupil matanya, mulutnya bahkan terbuka sedikit. Entah apa yang ada di pikirannya setelah mendengar jawabanku itu. Sedetik kemudian dia mulai tertawa dengan keras hingga pipi dan perutnya terasa sakit. Air matanya juga turun lagi. Tuh malaikat, dia ingkar janji. Tuntut aja dia pakai pasal berlapis! Aku berdecak sembari menatap Cahyani yang masih tertawa. Sesi curhatku dengan Cahyani hari ini gagal total.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD