Bagian 27

2905 Words
Pagi itu, Jim sedang duduk dan membaca surat kabar. Keheningan yang merayap di sekitar meja makan mulai terasa akrab. Dalam beberapa hari terakhir, Rita merasa bahwa Jim menjadi lebih diam dari biasanya. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal itu. Mungkin itu adalah efek dari obatnya. Meskipun dalam beberapa hari terakhir situasinya menjadi lebih tenang, Rita masih khawatir tentang kehamilannya. Ia pergi ke dokter dua hari yang lalu tanpa sepengetahuan Jim. Alih-alih bicara jujur, Rita memanfaatkan waktu menghadiri kelas untuk mengunjungi dokter. Sejauh ini segalanya terkendali. Rasa mual yang dialaminya dalam beberapa hari terakhir telah mereda, namun cepat atau lambat perutnya akan membuncit, Jim akan segera tahu – Rita berharap David memiliki rencana dalam waktu dekat karena jika tidak, segalanya akan menjadi kacau. Sementara itu, Julie terus berusaha menghubungi Rita. Rita mengabaikannya dan tidak memberi celah bagi wanita itu untuk berbicara. Ia tidak berharap akan mendengar komentar ibunya tentang hal ini. Saat ini, yang benar-benar dibutuhkannya adalah ranjang yang nyaman, karena meski rasa mualnya telah hilang, ia menjadi lebih sering pusing dan kelelahan. Jim telah mengatur waktu untuk bertemu dengan temannya, Scott. Mereka telah merencanakan kegiatan liburan akhir pekan dengan memancing. Hari itu mungkin akan menjadi saat dimana Rita dapat bernapas bebas, setidaknya jika Helen tidak hadir untuk memeriksa rumah. Namun, beberapa hari terakhir adalah hari-hari berat. Sikap diam Jim nyatanya menguras lebih banyak energi ketimbang menghadapi ocehan laki-laki itu dan untuk memulihkan kondisinya. Rita telah memastikan ia minum obat secara teratur. Ia tidak membiarkan pikirannya bercabang pada banyak hal dan ia berusaha mengikuti saran yang diberikan dokternya untuk mengambil waktu beberapa menit dengan olahraga ringan. Selama tiga minggu terakhir, Rita telah absen untuk menghadiri kelasnya. Teman dari kelas yang sama dengannya mulai menghubungi Rita untuk sekadar menanyakan keadaannya. Rita terpaksa berbohong, namun ia memutuskan untuk menyudahi kelas itu. Ia pikir, segalanya tidak akan berjalan normal dengan kondisinya yang sekarang. Semalam Rita tidur lebih cepat karena kelelahan. Ia tidak menunggu Jim seperti biasanya, laki-laki itu juga tidak mempermasalahkannya. Mungkin Rita hanya bersikap paranoid terhadap reaksi Jim, mungkin situasinya benar-benar tidak seburuk kelihatannya. Namun apa pilihan yang dimilikinya? Mengatakan pada Jim bahwa ia sedang mengandung anaknya? Membohongi laki-laki itu? Sebaik apapun Rita menyakinkan laki-laki itu, Jim tidak bodoh. Ia tahu ketika Rita berbohong dan Jim tahu hal-hal seperti siklus menstruasinya, dan rentang waktu yang dibutuhkan sel s****a untuk membuahi sel telur. Lagipula tidak ada yang dapat mencegah rasa penasaran Jim. Laki-laki itu mungkin akan mengambil sampel DNA hanya untuk memastikan bahwa bayi itu adalah anaknya. Lebih baik menghindar ketimbang menghadapinya. “Aku akan pulang lebih malam,” kata Jim ketika mereka duduk berhadapan di atas meja makan. Rita tidak begitu terkejut, tapi tetap saja ia berpura-pura. Reaksinya adalah sesuatu yang ingin dilihat Jim. Sejauh ini semua hanya tentang apa yang ingin dilihat Jim dan apa yang tidak. Peduli setan dengan emosinya. “Kau lembur?” tanya Rita, berusaha mengabaikan keinginan untuk bungkam. “Ya.” “Oke.” Rita menusuk daging ayam di atas piringnya, membawa makanan itu ke mulut sebelum menyadari bahwa Jim sedang menatapnya. Keheningan itu begitu mencekik, namun Jim tidak tinggal lebih lama. Setelah menghabiskan kopi dan menyeka tangannya dengan kain bersih, Jim pergi mengendarai mobilnya. Hari bergilir sebelum Rita sempat menyadarinya. Rita berusaha untuk menghubungi David, namun laki-laki itu tidak menerima panggilannya. Malahan, panggilannya tersambung ke pesan suara yang meberitahunya bahwa laki-laki itu sedang sibuk. Rita tidak menyerah, ia terus mencoba hingga sore. Setelah berdiam cukup lama di belakang jendela, ia akhirnya memutuskan untuk berdiri di bawah pancuran air dan membasahi tubuhnya. Bulir-bulir air yang jatuh dari pancuran menghantam kepalanya, menggelitik wajahnya dan jatuh ke atas lantai di bawah kakinya. Rita memandangi pergerakan air yang mengalir menuju saluran lubang di sampingnya. Diam-diam ia menghitung dalam batinnya, merasakan hawa dingin menusuk tubuhnya dan membuat kuku-kuku jarinya menekuk. Sementara itu, di dasar perutnya, ia merasakan tekanan yang aneh, sebuah sensasi yang jarang dialaminya. Perasaan itu mengalir begitu saja, menyadari bahwa kini di dalam dirinya ada nyawa lain yang sedang tumbuh, membesar karena darah dagingnya. Alasan hidupnya tidak lagi sama. Bertahan hanya berarti mengizinkan janin itu tumbuh dan berkembang di dalam perutnya. Pikiran itu menguap seperti air yang mendidih di kepalanya. Mereka menggumpal membentuk kabut gelap di atas kepalanya yang mengikuti kemanapun ia pergi. Kali ini: ruang duduk. Untunglah ruangan itu cukup tertutup. Hanya ada sedikit cahaya matahari yang menyusup masuk melalui ventilasi udara. Cahayanya jatuh tepat di atas meja kayu tua, dan sebuah kursi berwarna biru di belakangnya. Jim biasa duduk di sana, sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Rak-rak tinggi di belakang meja dijadikan tempat untuk menumpuk map-map, dan barang-barang milik Jim lainnya. Sebuah papan berlapis kayu tua sengaja di tinggalkan di dekat perapian untuk menghalangi sisa abu yang bertebaran ke atas lantai. Ide untuk mengecat dinding ruangan itu dengan warna biru datang darinya. Terkadang ia terpikir untuk memasangkan pajangan antik di sudut-sudut dinding, meletakkan vas-vas bunga di atas nakas berwarna hijau, dan mengganti tirainya menjadi warna biru pucat yang lebih alami. Rita suka meletakkan pewangi ruangan berbau mangnolia di atas dinding, sebelum Jim mencopotnya dan memintanya untuk menyingkirkan apapun yang berbau tajam di ruangan itu. Hasilnya, ruangan itu gelap dan kosong. Tidak ada satu hal yang diizinkan masuk oleh Jim bahkan cahaya matahari sekalipun. Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu dinding. Terkadang cahayanya tampak terlalu remang dan membuat retinanya kesakitan saat berada di sana terlalu lama. Ia menyeret langkahnya, menyusuri karpet flanel berwarna abu-abu yang melapisi lantai kayunya, kemudian mengempas tubuhnya di atas sofa. Sisa gelas anggur milik Jim masih tertinggal di atas meja. Godaan untuk meneguknya sangat besar, namun ia teringat janin di dalam perutnya mencegah Rita sebelum ia sepenuhnya hanyut dalam tidur yang nyenyak. Ketika terbangun, seisi ruangan itu sepenuhnya gelap. Langit malam mengintip di balik celah ventilasi udara dan jam dinding di atas nakas menunjukkan pukul sebelas malam. Rita tersentak bangkit dari atas sofa. Ia terhuyung-huyung berjalan keluar ruangan, menyaksikan lebih banyak kegelapan yang mengisi setiap sudut tempat di rumah sebesar itu. Sembari berjalan merapat ke dinding, Rita mencari saklar, menyalakan tombol-tombol lampu di setiap ruangan hingga sampai di kamarnya. Ketika ia tiba di anak tangga, Rita menyaksikan pintu kamarnya masih terbuka seperti kali terakhir ia meninggalkannya. Rita menaiki tangga dan bergerak menuju kamarnya. Jim seharusnya menutup pintu kamar jika laki-laki itu berada di dalam sana, namun tidak ada Jim. Ranjang sepenuhnya kosong, seprainya dan selimutnya masih terbentang dengan rapi. Gelas anggur di atas meja nyaris tak tersentuh, dan tiang besi di dekat pintu yang biasa digunakan Jim untuk menggantung jubah tidurnya, tampak kosong. Sekat yang menghubungkan ruang tidur dengan kamar mandi memperlihatkan pintu kamar mandi yang terbuka. Ketika Rita sampai di sana, Jim juga tidak berdiri di belakang kaca. Wastafelnya tampak kering, barang-barang seperti alat cukur dan sikat gigi nyaris tidak tersentuh. Jubah mandi Jim masih menggantung di tempatnya, bak mandi tampak sama keringnya seperti wastafel. Dimana Jim? Rita bergerak menuruni tangga, kali ini menuju dapur. Meja makan dan kursi-kursinya masih tertata rapi, porselen dan sejumlah peralatan masak berada di tempatnya. Bak pencuci piring tampak kosong. Hal yang sama terjadi di ruang tengah. Layar televisi padam. Pengaturan bantal di atas sofa tidak berubah dan perapiannya yang padam mengalirkan udara dingin ke setiap sudut ruangan. Jalanan di halaman depan rumahnya tampak kosong. Petak-petak rumput yang berbaris di sekitar pekarangannya bergerak-gerak gelisah saat tertiup angin. Jendela-jendelanya tertutup rapat – tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di dalam rumah. Bagian garasi juga kosong. Ford yang dikendarai Jim pagi tadi tidak terparkir disana. Rita memutuskan untuk berlari kembali ke dalam rumah. Ia menyambar telepon rumah dan menghubungi nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala. Panggilannya berdering, namun tidak kunjung tersambung hingga panggilan itu beralih ke pesan suara. Rita berusaha menghubunginya sekali lagi, namun Jim tidak menjawab panggilannya. Ia berbalik ke ruang duduk, tepat dimana ia meninggalkan ponselnya. Namun setelah mencari ponsel itu selama belasan menit, Rita tidak kunjung menemukannya. Ia merasa panik, spontan ia berusaha mengatur nafasnya. Namun hal itu tidak cukup meredakan ketegangan yang dialaminya. Ia bergerak mondar-mandir di dapur, meneguk vodka dari botolnya seolah-olah tidak memedulikan hal itu. Jalanan di luar sana senyap dan kosong, rumah penduduk lain terletak beberapa meter jauhnya dan lagi-lagi ia melihat setitik cahaya berkedip dari jendela rumah Louise. Apa yang sedang dilakukan Louise? Rita tergoda untuk datang dan mengetuk pintu rumah itu, namun saat itu pukul satu, Louise mungkin sedang tertidur, dan ia tidak berharap berada di tempat lain ketika Jim pulang. Jadi Rita hanya duduk menempati kursi di dapur sembari berusaha mengingat-ingat dimana ia meletakkan ponselnya, beberapa menit berlalu sebelum Rita jatuh tertidur. Ketika terbangun, Rita tersentak karena cahaya matahari telah menembus kaca-kaca di dalam rumah itu. Namun, seisi rumahnya tetap senyap. Bunyi telepon yang berdering dari ruang tengah mengejutkannya. Rita nyaris melompat dari sofa ketika menyambar telepon itu dengan cepat. Ia pikir orang yang menghubunginya adalah Jim, namun suara familier Julie terdengar di seberang. “Hei, bagaimana keadaanmu?” suaranya terdengar rendah, penuh rasa bersalah. Kemudian Rita teringat percakapan terakhir mereka yang berujung pada perdebatan. “Beberapa hari terakhir sangat berat, maafkan aku.” Rita tidak menanggapi, alih-alih menunggu wanita itu menyampaikan tujuannya. “Apa Harlan sudah menghubungimu?” Ted Harlan adalah pengacara Jim. Hubungannya dan Jim cukup dekat dan Harlan telah membantu mereka mengurus segalanya. Namun sudah lama, sejak Rita berbicara dengan Harlan. Julie mengenalnya karena ia cukup dekat dengan laki-laki itu, meskipun Rita punya firasat kalau ibunya sedang berusaha mendekati Harlan. “Kenapa dia harus menghubungiku?” tanya Rita. “Jadi dia belum menghubungimu. Dia mengatakan padaku ingin berbicara denganmu, tapi sepertinya dia menunda hal itu. Apa semuanya baik-baik saja di sana?” “Tidak, Jim belum kembali.” “Kau sudah menghubungi polisi?” “Aku tidak yakin ini masalah serius. Aku berusaha menghubungi ponselnya, dia tidak menjawab panggilanku, dia seharusnya pulang sebelum pukul sebelas dan dia akan mengabariku jika perjalanannya tertunda atau ada kendala apapun.” “Mungkin dia hanya lupa menghubungimu,” tutur ibunya dengan santai. “Tidak, itu tidak terjadi! Dia tidak pernah lupa.” “Sebaiknya kau banyak beristirahat, itu yang kau butuhkan. Tidak apa-apa. Aku tidak ingin menganggumu, hubungi aku kapanpun kau butuh bantuan.” Wanita itu memutus sambungan telepon mereka, kemudian Rita berjalan mondar-mandir di halaman depan rumahnya. Ia menyaksikan garasi masih kosong seperti semalam. Tidak ada mobil Jim yang terparkir di sana, dan pagi itu sudah pukul sepuluh. Panas matahari terasa semakin menyengat dan hari bergulir dengan cepat. Ia menyalakan musik hanya untuk menghiburnya. Selama berjam-jam, Rita telah berkeliling rumah, mencari ponselnya yang tiba-tiba menghilang. Karena sedikit mabuk, ingatannya tentang dimana ia meletakkan ponselnya kabur, Rita hanya ingat ia berusaha menghubungi David berkali-kali melalui ponsel itu. Omong-omong soal David, pria itu juga tidak dapat dihubungi. Bagaimana mungkin dua pria yang terlibat dalam hidupnya secara kebetulan tidak dapat dihubungi di saat yang bersamaan? Kemana perginya mereka dan apa hal itu saling terhubung? Dugaan jika keduanya saling berhubungan memunculkan kekhawatiran yang membuat nafsu makannya menurun. Rita nyaris tidak menyentuh makanan sejak pagi tadi. Wajahnya tampak pucat dan bobot tubuhnya menurun drastis. Ia hanya menelan obat yang diresepkan dokternya, pergi untuk tidur dan menunggu Jim. Sempat terpikir olehnya untuk menghubungi polisi, namun hingga sore Rita hanya berkutat dengan pikiran-pikiran liar tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi. Hasilnya, ia tidak dapat duduk dengan tenang. Ketika hampir malam, Rita mendapat telepon dari seseorang tak dikenal. Pria yang menghubunginya memiliki aksen suara Texas yang kental, dan Rita membayangkan pria yang berbicara dengannya ini bertubuh besar, berkulit gelap, dan memiliki kedua mata cekung yang tajam. “Rita Foster?” tanya pria itu dengan sedikit keras, seolah-olah ia sedang berbicara dengan seorang yang ditinggal di atas gunung, alih-alih di pinggiran kota. “Ya.” “Ini Detektif Clooney dari kepolisian Corolado, saya ingin memberitahu Anda kalau suami Anda, Jimmy Foster, mengalami kecelakaan di kilometer 12 dekat Green Bridge. Mobilnya menghantam pohon besar dan dengan sangat menyesal kukatakan sudah terlambat untuk menyelamatkannya.” Rita merasakan sekujur tubuhnya tegang, tiba-tiba jantungnya terpompa begitu kuat dan darahnya mengalir deras. Kedua tangannya bergetar saat meraih tepian meja untuk menopang tubuhnya. Reaksi kejut itu membuat kedua kakinya lemas. Rita pikir ia telah jatuh ke atas lantai, namun yang benar-benar mengejutkannya, kedua kaki itu masih sanggup untuk menopangnya. Masalahnya tidak hanya itu, Rita mulai merasakan pandangannya kabur dan seisi kepalanya berdenyut-denyut. “Mrs. Foster, Anda masih disana?” detektif itu bertanya setelah jeda yang panjang. “Ya.” Rita menyadari bahwa suaranya terdengar bergetar dan nafasnya tidak teratur. Ia menarik nafas terlalu cepat. Hal itu sering terjadi ketika Rita akan menghadapi pertunjukannya. Ia menarik nafas terlalu cepat dalam beberapa menit terakhir, tubuhnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Namun menghadapi panggung pertunjukan dan kematian Jim adalah dua hal yang berbeda. Rasanya baru semalam Rita melihat Jim tertidur di sampingnya, kedua matanya terpejam, nafasnya teratur. Baru semalam ketika Rita duduk berhadap-hadapan dengan laki-laki itu di atas meja makan dan melewati keheningan yang mencekik, kini laki-laki itu telah pergi untuk selamanya. Namun aromanya – aroma Jim yang khas masih tercium di setiap sudut ruangan di dalam rumah itu. Laki-laki itu tidak mungkin meninggalkan propertinya begitu saja. “Saya tahu berita ini mengejutkan Anda. Saya menyarankan agar Anda mengambil waktu untuk memulihkan diri Anda, ini selalu sulit untuk keluarga korban. Kami akan berusaha membereskannya.” “Dimana?” tanya Rita akhirnya. “Dimana jasadnya?” “Ambulans sedang dalam perjalanan ke lokasi kejadian. Kami akan mengirim jasadnya ke rumah sakit. Tetaplah di rumah sampai saya menghubungi Anda. Jika ada perkembangan terbaru, saya pastikan Anda adalah orang pertama yang tahu.” Rita punya firasat buruk kalau detektif itu tidak akan menghubunginya dalam waktu dekat dan ia tidak akan diizinkan melihat Jim sampai kepolisian selesai dengan pekerjaan mereka. Namun pikirannya bercabang saat ini, hal yang paling ditakutinya adalah menghadapi keluarga Jim. Ia meringkuk di atas kasur sepanjang hari dengan kedua mata basah. Rasa laparnya berhasil diredam oleh ketakutan yang mencekiknya. Rita telah memeriksa setiap laci di rumah, berusaha menemukan botol obat Jim yang telah ditukarnya. Jim biasanya meletakkan botol obat itu pada lemari kecil di atas wastafel, namun lemari itu kosong, tidak ada botol obat yang tertinggal. Jim juga tidak meletakkannya di laci kamar dan Rita sudah memeriksa seisi dapur, hasilnya nihil. Satu-satunya kemungkinan hanyalah Jim membawa botol obat itu bersamanya dan jika kepolisian menahan semua barang-barang Jim di dalam mobilnya, maka mereka akan menemukan botol obat itu dan mengetahuinya. Rita meredam wajahnya pada bantalan empuk di atas kasurnya dan mulai berteriak. Kedua matanya terasa menyengat dan tenggorokannya perih. Emosi dan ketakutan itu meluap begitu saja dalam dirinya, menciptakan kabut awan yang lebih gelap di sekelilingnya. Tiba-tiba muncul ide di kepalanya untuk pergi meninggalkan rumah itu. Namun, tindakannya hanya akan memperburuk keadaan. Polisi akan meletakkan kecurigaan padanya dan keluarga Foster akan mencarinya tidak peduli kemana ia pergi. Rita telah mengosongkan seisi lemari penyimpanan bir malam itu, untuk pertama kalinya ia duduk seharian di belakang perapian dalam keheningan yang mencekik. Pintu-pintu ruangan dibiarkannya tertutup hanya agar ia tidak membayangkan Jim berada di sana. Namun rasanya mustahil untuk saat ini. Jim nyaris mendominasi seisi tempat di dalam rumah itu. Tidak ada satu sudut ruangan-pun yang tidak mengingatkannya tentang Jim. Pada tahun-tahun awal pernikahan mereka, mereka pernah bercinta dengan liar di atas meja, atau di atas sofa yang didudukinya kali ini. Sementara itu, Jim juga suka membaca surat kabar di ruang tengah. Sore pada akhir pekan, Jim duduk di ruang tengah untuk menonton televisi. Laki-laki itu suka membuat kopinya sendiri. Mereka pernah melewati percakapan yang panjang di bar, dan bagaimanapun Jim menguasai seisi rumah itu. Ia mengisi setiap sudutnya dengan barang-barang yang dipilihnya sendiri. Jim yang menentukan tata letak setiap barang di dalam ruangan, ia yang mengubah cat dinding di ruang tengah, dan hal yang paling diingatnya adalah Jim suka berenang di tengah malam. Lukisan sosok wanita dengan jubah hitam di dinding itu kini menatapnya. Patung-patung kayu yang diletakkan Jim di atas rak hiasan juga menatapnya. Tiba-tiba seisi ruangan itu terasa menyempit, ia merasa sesak. Butuh waktu berapa lama bagi pihak kepolisian untuk menyelidiki obat itu? Butuh waktu berapa lama sebelum mereka menyadari bahwa Rita secara tidak langsung terlibat dengan semua ini? Belum diketahui penyebab Jim menabrak pohon besar yang membuatnya kehilangan nyawa, namun sudah jelas bahwa Rita membuat kesadaran pria itu menurun dan ia telah meracuni Jim selama beberapa hari terakhir. Mungkin peristiwa ini diakibatkan oleh efek obat yang ditelan Jim. Mungkin Jim merasa pening saat berkendara hingga mobilnya menghantam pohon. Jim tentu saja tidak akan melakukan itu secara sengaja. Ia bukan laki-laki bodoh dan Jim – untuk alasan tertentu, adalah seorang pengemudi yang baik. Ia selalu mengendarai mobilnya pada kecepatan stabil, mematuhi lalu lintas dan pengendara yang cukup sabar. Insiden kecelakaan itu bukanlah disebabkan oleh suatu kecerobohan yang tidak pernah dilakukan laki-laki itu. Apa yang harus dikatakan Rita ketika pihak kepolisian menanyakan hal ini? Bagaimana ia harus bereaksi di hadapan mereka dan seberapa lama lagi ia dapat menyembunyikan kehamilannya? Rita mengurung diri sendirian malam itu. Ia tertidur dengan kedua mata sembab, dan pikiran yang berkelana ke tempat-tempat jauh: tepat dimana ia mengenali sudut-sudut jalanan panjang menuju rumah perkebunannya yang nyaman. Tempat dimana Rita terbebas dari semua masalah yang dihadapinya sekarang. Suara telepon dari ruang tengah berbunyi, namun Rita bahkan tidak bergerak di atas kasurnya. Suara deringannya cukup lama. Seseorang dari kepolisian mungkin berusaha menghubunginya, atau bisa saja itu ibunya, Helen, Danielle Foster atau Richard. Bisa saja David. Namun, tidak satupun dari mereka yang membuat Rita bergerak bangkit dari atas kasur untuk menginjak lantai yang dingin. Tidak satupun hingga sinar matahari menyusup masuk melewati kaca-kaca tinggi di kamarnya, dan suara ketukan pintu dari lantai bawah terdengar. - PUNISHMENT  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD