“Mengapa kau tertarik pada pasangan ini?” tanya Dr. John yang duduk di seberang. Laki-laki itu bersandar di atas sofa berlengan dengan jendela tinggi yang membingkai pemandangan langit di belakangnya.
Ruangan bercat dinding gelap itu dipenuhi oleh rak-rak tinggi berisi barisan buku. Barang-barang di dalam ruangan tidak kekurangan tempat sedikitpun. Dua sofa diatur berhadapan satu sama lain, diletekkan di sudut yang tepat dimana jendela yang membingkai langit berwarna jingga memberikan pemandangan yang membuat nyaman. Bingkai-bingkai yang memuat lukisan dipajang berjejer di dinding, furnitur antik yang terbuat dari kayu menempati sudut-sudut ruangan. Suhu udaranya cukup hangat, tumpukan buku, jam pasir dan papan nama diletakkan di atas meja kayu berbentuk pergi. Sofanya terletak tepat di samping lubang perapian yang hangat. Suara desisan api mendengung tenang dan lembut di telinganya. Louise duduk menyamping untuk memandangi lidah api yang perlahan menjilat kayu di perapian itu. Ia suka mengamati pemandangan itu, menurutnya itu bagian terbaik dalam setiap sesi terapi mereka.
Dr. John memiliki ruangan yang cukup nyaman, hal itu tidak diragukan lagi. Laki-laki berusia tiga puluh tujuh tahun, beberapa tahun lebih muda darinya, dengan kepribadian yang hangat dan seorang teman bicara yang menyenangkan. Dr. John tidak suka membahas kehidupan pribadinya. Ia suka menutup diri setiap kali Louise menyinggung topik itu. Satu hal yang benar-benar tidak dilupakannya adalah kedua matanya yang cemerlang, seolah laki-laki itu memiliki kemampuan untuk menerawang ke dalam pikirannya. Louise selalu penasaran apa yang ada dalam pikirannya, sama seperti rasa penasarannya terhadap isi pikiran Ed. Dua laki-laki itu memiliki kemampuan yang sama dalam menyembunyikan emosinya. Ia suka bermain teka-teki dengan mereka, menyukai cara mereka merespons setiap ucapannya hingga Louise benar-benar terjebak dalam situasi yang dibuatnya sendiri.
“Karena mereka sempurna,” jawab Louise akhirnya. “Mereka pasangan yang sempurna.”
Ia melamun saat memandangi jam pasir di atas meja. Ada banyak hal yang menganggu pikirannya kala itu, namun Louise telah menceburkan dirinya dalam kekacauan yang diperbuat Rita Foster. Louise mungkin hanyalah orang ketiga yang terlibat secara tidak langsung dalam hal itu, ia adalah pengamat yang berusaha menuliskan segalanya dalam jurnal: apa yang disaksikannya di balik jendela kamarnya, juga apa yang ditangkap oleh kamera nikonnya. Louise suka melakukan hal itu. Ally akan menganggapnya aneh, Dr. John sebaliknya, laki-laki itu cukup tertarik untuk mendengarnya, namun tidak cukup tanggap untuk mengetahui isi pikirannya. Semua bergilir persis seperti jam pasir itu. Sedikit demi sedikit pasir berwarna kemerahan jatuh, membentuk sebuah gumpalan di medium lain karena gravitasi yang menariknya. Perlahan dan mulus hingga tidak lagi menyisakan sebutir pasirpun, begitulah cara kerjanya.
Analogi itu telah menarik perhatiannya. Untuk sejenak Louise hanya membayangkan Rita Foster duduk di atas kursinya sembari menggenggam segelas anggur. Kuku-kuku jarinya diberi cat berwarna merah, kedua kakinya menyilang dan tatapannya kosong. Kemudian pertanyaan itu muncul begitu saja di kepalanya: apa Rita pernah duduk menempati kursi yang sama seperti yang ditempatinya? Apa Rita pernah merasa begitu gila hingga membutuhkan bantuan seorang terapis untuk menyembuhkanya?
“Wanita itu seperti jam pasir,” bisik Louise. “.. dia tidak pernah tahu kapan waktu akan berhenti untuknya. Dia mungkin tidak tahu kalau waktunya akan berahir - entah kapan. Kurasa dia hanya berusaha menjalaninya. Tapi kau tahu, akupun begitu bahwa semua hanya masalah waktu.”
“Masalah waktu,” Dr. John membeokan. “Mungkin benar. Tapi aku tidak mengerti secara spesifik tentang apa yang maksud disini. Apa yang akan berakhir, siapa yang akan menghadapinya, dan mengapa itu begitu membuatmu tertarik? Apa kau akan menceritakannya?”
Louise menggelengkan kepalanya perlahan, kemudian menatap lantai. “Itu bodoh. Ally bilang itu konyol.”
“Dan aku bukan Ally, aku temanmu. Aku cukup tertarik untuk mendengarnya..”
Sembari melipat kedua kakinya dan menggeser tubuh di atas sofa, Louise meluruskan ucapannya, “tidak, apa yang ingin kukatakan padamu adalah bahwa Ally benar. Aku terlalu payah dalam menyimpulkan sesuatu. Mungkin semua yang kupikirkan tentang Rita keliru. Mungkin, aku telah menarik satu kesimpulan yang salah.”
“Apa kau merasa tersinggung?”
“Tadinya, ya. Tapi sekarang.. aku tidak yakin lagi. Aku mulai melihat kebenarannya, dan ketika itu terasa menampar, aku hanya akan berusa menghindar - seperti yang dilakukan kebanyakan orang.”
“Itu mengerikan, sebenarnya. Apa yang kau harapkan?”
Louise menggeser tubuhnya, kali ini menautkan jari-jarinya dan menatap Dr. John.
“Aku tidak ingin berharap, aku ingin hasil akhirnya. Tentu saja aku membuat rencanaku sendiri, tapi itu hanya tebakan-tebakan. Itu bukan apa yang akan terjadi.”
“Apa kau ingin menyaksikan pasangan ini berdamai?”
“Well itu akhir yang bagus,” Louise menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. “lebih mirip seperti fiksi kurasa. Meskipun aku penasaran jika yang muncul justru kekacauan. Itu akan menimbulkan paradoks, tapi membuat kisahnya menjadi lebih menarik.”
“Apa kau mendukung pria ini?”
“Siapa?”
“Si suami?”
Sudut bibir Louise terangkat, ia menyeringai lebar. “Aku menyukainya, dia sempurna. Dan si wanita.. kebisuannya.. seperti pisau. Pasangan yang intens. Tapi itu tidak memengaruhi apapun. Aku tidak berpikir jika itu memengaruhi inti ceritanya.”
Dr. John tertegun, dahinya mengerut. Satu keunikan dari pria ini adalah kebiasaannya mengerutkan dahinya.
“Begitukah kau menyebut mereka? ‘Sebuah cerita’?”
“Tidak, tidak, itu terlalu mengerikan. Kupikir orang-orang hanya ingin mendengar sebuah cerita yang sempurna dalam fiksi, seperti Ed. Hidupnya penuh dengan fiksi: menikahi gadis yang berusia separuh dari usianya, memiliki banyak anak, bersenang-senang. Aku tidak seperti itu. Ally bilang sifatku kekanak-kanakan, semua orang tampaknya setuju.”
“Bagaimana denganmu?”
Kedua mata Louise, yang sebelumnya menatap ke arah lantai di bawah kaki Dr. John, kini terangkat. Ada begitu banyak spekulasi di dalma kepalanya: tentang Dr. John, tentang Ed dan Rita Foster. Betapapun ia menginginkan kehidupan yang damai dan tenang, selalu hadir pengacau yang menghancurkan segalanya. Semuanya bermula dari kematian ibunya, kemudian perceraiannya dengan Ed, ketegangan hubungannya dengan Ally, dan kini pasangan Foster. Louise hendak menyampaikan pada Dr. John bahwa, untuk satu alasan, ia telah dikelilingi oleh banyak hal yang membuat hidupnya kacau.
“Tidak,” kalimat itu keluar dari sela-sela gigi Louise, memantul dengan lembut di antara dinding-dinding yang mengelilingi mereka, dan menembus telinganya. “Aku tidak yakin lagi.”
-
PUNISHMENT