Bagian 5

1292 Words
Louise berdiri di belakang jendela kamarnya, menyaksikan Rita Foster keluar dari pintu belakang rumahnya pada pukul sepuluh, tiga puluh menit persis setelah mobil yang dikendarai Jimmy Foster melesat meninggalkan halaman rumah. Wanita itu tidak mengenakan pakaian kasual seperti biasanya. Tidak ada jeans hitam yang biasa dikenakannya, kali ini ia mengenakan sebuah dress yang mengintip dari balik mantelnya dan sebuah stocking hitam. Rita tampil anggun, wanita itu memoleskan perona wajah dan lipstik di bibirnya, sesuatu yang akhir-akhir ini jarang dilakukannya. Ia juga menata rambutnya, memasangkan pita kecil pada gelungan rambutnya. Sebuah syal merah melingkari lehernya yang kurus, berusaha menutupi pakaian berenda dengan potongan d**a yang rendah. Rita mengeluarkan sebuah kaca mata hitam dan menggunakannya ketika wanita itu memasuki blok A. Tubuhnya bergerak dengan anggun di antara barisan pohon yang mengelilingi jalur itu. Ia setengah berlari di atas jalur melandai, kemudian Louise kehilangannya di persimpangan. Sebuah kesadaran yang muncul menggelitik Louise kala itu. Rita Foster tidak pernah menggunakan anting-anting itu untuk menghadiri kelasnya dan berjalan mungkin menjadi ide buruk untuk pergi ke pusat kota. Tapi Rita tidak memesan taksi, ia tidak pergi dengan tas hitam besarnya dan wanita itu melupakan jam tangannya, atau jaket merah yang biasa digunakannya. Louise meninggalkan jendela dan bergerak mengelilingi ruangan. Ia menyalakan radionya dan mengeraskan suara yang memutar musik klasik itu. Kemudian, Louise berjalan ke gudang untuk menemukan kardus-kardus lama. Ia mencari kardus barang milik Ed dan menemukannya di antara tumpukan kardus-kardus lain miliknya. Louise harus berjinjit untuk menggapai kardus itu. Kardus itu berisi buku-buku, DVD lama, dan sejumlah peralatan yang diletakkan Ed di kamar lama mereka. Louise menemukan sebuah kamera nikon kecil kemudian mengangkatnya ke udara. Ketika ia menekan tombol power, layarnya berkedip sebentar kemudian kembali berubah gelap dalam sekejap. Ed membeli kamera itu pada tahun-tahun awal pernikahan mereka. Laki-laki itu memiliki kegemaran yang aneh dengan mengabadikan momen kebersamaan mereka menggunakan kamera. Namun sejak Ed pergi, kamera itu tidak lagi digunakan. Louise menemukannya tergeletak di bawah kasur dan berselimutkan debu. Akhirnya, kamera itu ia lemparkan bersama rongsokan lainnya milik Ed. Bagaimanapun, Luoise tidak bernar-benar tahu cara menggunakan kamera. Ia memeriksa baterainya: masih terisi. Kemudian, Louise mengguncang-guncang kamera itu ketika ia pikir ia baru saja mendengar suara pecahan kaca dari lantai atas. Louise bergerak meninggalkan gudang dan pergi untuk menghampiri sumber kekacauan itu. Ia mendapati adiknya, Allison, tengah membungkuk di ruang depan dan sedang berusaha membersihkan pecahan keramik di atas lantai kayu. Wanita itu mengumpat saat jari-jarinya tertusuk oleh pecahan keramik. “Ally!” tegur Louise. “Sialan, Louise! Darimana saja kau? Aku menggedor pintumu, kupikir terjadi sesuatu.” Louise menunjuk ke arah pecahan keramik di atas lantai. Wajah Allison memerah, alisnya bertaut setiap kali wanita itu merasa geram. “Sesuatu memang terjadi.” “Aku minta maaf soal vas-nya.” “Tidak masalah. Kau menyingkirkan satu lagi barang milik Ed.” “Ya Tuhan, darimana saja kau?” Luoise berjalan melintasi ruangan untuk mematikan suara musik dari radionya. Ia membuka lemari pendingin, mengeluarkan dua botol bir dari dalam sana kemudian menarik kursi di dapur. “Apa semuanya baik-baik saja?” tegur Allison saat wanita itu bergabung dengannya di dapur. Satu hari dalam sepekan, Allison suka mengunjunginya untuk memeriksa keadaan Louise. Adiknya menempati sebuah apartemen di pusat kota bersama Dan, laki-laki yang cukup dekat dengannya. Mereka telah berbagi tempat yang sama selama bertahun-tahun. Louise menyukai Ally, pandangan-pandangan kritisnya tentang pernikahan dan komentar pedasnya tentang kehidupan berumah tangga yang dijalani Louise. Dulu, Louise akan menganggap Ally terlalu pengecut untuk memulai sebuah hubungan yang berkomitmen. Namun, berkaca dari pengalamannya bersama Ed dan kegagalan pernikahan mereka, Louise tidak lagi sepenuhnya menentang keputusan Ally untuk melajang. Bagi Ally, tidak ada yang disebut komitmen dalam suatu hubungan. Wanita itu terlihat berpergian dengan laki-laki lain, namun tetap menjaga hubungannya dengan Dan berjalan mulus. Pendirian Ally adalah sesuatu yang tidak dimiliki Louise. Meski terlahir dari ayah yang berbeda, mereka dapat dikatakan senasib dan seperjuangan. Meskipun Ally jarang terlihat murung sepertinya, namun wanita itu telah menempuh perjalanan yang panjang. Hanya saja, cara Ally menyikapi masalahnya berbeda dari Louise. Ally tidak akan membiarkan dirinya larut terlalu lama dalam kesedihan seperti yang selalu dilakukan Louise. Namun mereka benar-benar sama dalam beberapa hal. Louise menyukai musik klasik, begitu juga Ally dan mereka suka menghabiskan waktu di klub untuk berpesta semalaman. Ally menyukai cara-cara klasik yang terkesan primitif, ia memiliki sebuah kehidupan normal yang jarang dimiliki oleh wanita kebanyakan. Rutinitas adalah suatu hal yang dibencinya. Itu sebabnya Ally tidak bergantung pada satu pekerjaan. Ally adalah sosialita yang hebat. Ia aktif dalam beberapa jaringan media sosial dan kebanyakan orang menyukainya. Louise berada pada ambang batas kewarasannya dalam beberapa tahun terakhir. Ketika teman-temannya menghilang satu persatu dan mulai meninggalkan Louise, Ally satu-satunya yang tersisa. Tapi Louise tidak dapat selamanya bergantung pada Ally. Mereka memiliki kehidupan yang terpisah dan secara finansial, keberadaan Ally benar-benar membantunya. Louise sebaliknya, ia adalah masalah besar untuk Ally – parasit yang selalu muncul di depan pintu rumahnya dan memohon belas kasihan untuk sedikit uang.  Hubungan mereka sempat meregang ketika Ally menyarankannya untuk menjalani rehabilitasi. Bisa saja Louise mengalami trauma pernikahan yang cukup serius meskipun Louise tidak yakin tentang apa yang benar-benar mengganggunya. Ed mungkin masalah besar untuknya, namun laki-laki itu bukanlah sumber kekacauan yang terjadi pada Louise. Louise sendiri-lah yang menjadi sumber masalahnya. Dr. John Burt, terapisnya bersikeras meminta Louise menjalani pengobatan untuk mengusir kekhawatiran pasca pernikahan. Louise menolaknya dengan alasan bahwa ia cukup bahagia dengan kehidupan pernikahannya, dan perpisahannya dengan Ed adalah keputusan yang mereka ambil bersama-sama. Masa bodoh jika Ally berpikir Louise sudah tidak waras. Bagaimanapun, pandangannya tentang kehidupan merupakan sebuah intuisi yang tidak akurat. Louise harus mengesampingkan masalah keretakan rumah tangganya untuk mendapatkan pandangan-pandangan yang tidak didasari oleh kesan yang didapatnya sendiri. Sejauh ini ia telah melakukannya: menjadi pengamat, mempelajari dengan cermat kehidupan yang bergerak di sekitarnya. Meskipun tindakan itu nyatanya tak memiliki tujuan bahkan bisa dikatakan hanya sebuah kesenangan yang tidak membuahkan hasil, Louise telah mengerahkan kemampuan terbaiknya. Mengamati kehidupan normal yang bergerak di sekitarnya untuk membuatnya kembali terbiasa dengan gambaran kehidupan itu hingga pada akhirnya, ia benar-benar sembuh. Hanya saja, itu akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk membuatnya kembali siap menghadapi dunia di balik jendela kamarnya, meninggalkan alkohol dan memulai segalanya dari nol. Ally tidak menyukai pendekatan Louise, metodenya adalah sampah, cara-cara yang harus dipikirkan Louise secara ulang. Di balik kebimbangan itu, Ally terlukis nyata di hadapannya. Sebuah propaganda yang tidak dapat dihindarinya. Mimik dari masa lalunya dan bayangan yang akan diikutinya kemanapun ia bergerak. Ally akan selalu menjadi kegemaran ibu mereka. Masa-masa yang mereka habiskan di pemukiman lusuh persis di tengah perdebatan konflik politik yang sedang memanas kala itu, mereka berjalan berdampingan. Asap mengepul di atas kepala mereka. Puluhan pasang mata laki-laki memandangi mereka, Louise suka memandangi mereka meliur menatap ibunya. Pada hari-hari tersulit itu, ketika ia dan Ally harus menunggu ibunya di belakang klub, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang di sekitarnya dengan tatapan kasihan, dan menunggu hingga ibunya keluar dari pintu klub dengan membawa uang yang banyak di dalam tasnya. Louise dan Ally bisa membeli apa saja dengan uang ibunya. Dulu Louise berpikir mereka cukup kaya, namun hanya masalah waktu sebelum ia menjadi semakin dewasa dan mengerti pekerjaan yang dijalani ibunya. Hingga kekaguman itu berubah menjadi kebencian. Louise memutuskan untuk pergi meninggalkan Ally dan ibunya, berpikir bahwa dirinya lebih baik dari mereka. Ally lebih praktis. Wanita itu enggan memperdebat masalah pekerjaan ibu mereka dan berpikir instan untuk menghasilkan banyak uang dengan pekerjaan barunya. Lima tahun berikutnya, Louise mendapat kabar bahwa ibu mereka terserang HIV. Louise berkutat dengan pikirannya. Ada banyak hal yang menggantung di kepalanya hingga ia tidak cukup cepat untuk memutuskan dan kematian ibunya tak terhindarkan. Tapi Ally tidak pernah membencinya. Egonya adalah suatu perasaan dangkal yang tak berdasar. Egonya juga menjadi awal dari keretakan hubungan pernikahannya dengan Ed. Namun butuh bertahun-tahun sebelum Ally menyebut Louise telah gagal dengan hidupnya. - PUNISHMENT
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD