Bagian 6

1079 Words
Akhir-akhir ini Louise mulai memikirkan fakta itu: benarkah ia benar-benar gagal? Louise mengacaukan banyak hal, bukan hanya masalah pernikahannya, namun juga hubungannya dengan Ally. Ada suatu kesenangan tersendiri dalam dirinya yang memintanya untuk terus-menerus menyudutkan wanita itu. Fakta bahwa Louise tidak mampu untuk memperbaiki hidupnya saja sudah membuat ia kalut, Louise merasa tidak membutuhkan pengakuan lebih dari Ally tentang apa yang harus dan seharusnya tidak ia lakukan. Berdiri di sudut ruangan, Louise menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya seakan telah berkabut. Ia masih mengawasi bangunan di seberang rumahnya, menyaksikan jendela-jendela tingginya ditutup rapat dan rumput berbaris tenang di pekarangan. Rita Foster tidak terlihat di setiap sudut tempat dan Louise mulai membayangkan wanita itu sedang berkeliaran di dalam kamarnya, berpikir untuk menuang segelas anggur ke dalam gelas kosongnya. Anggur ketiga – pikir Louise. Berapa banyak yang diminum Rita dalam situasi itu? Di dapur, Ally sedang mengeluarkan sebatang rokok dan mengapitnya di antara bibirnya. Ia kemudian menyundutkan api pada ujung rokok itu hingga asap mengepul dari mulutnya, melayang-layang dan membentuk lingkaran lembut di udara. Louise memerhatikan jari-jarinya, hiasan manik-manik yang dipasang Ally di seputar pergelangan tangannya dan tato berbentuk ular kecil di atas lengannya yang terbuka. Ally suka memenuhi tubuhnya dengan sampah-sampah kecil itu, bagi Louise tidak ada hal yang lebih konyol dari menyakiti dirinya dengan menanam tato. “Kapan kau kembali?” tanya Louise, berusaha mengabaikan bayangan menyakitkan dari jarum-jarum yang menusuk tubuh Ally untuk menciptakan tato itu. Beberapa polanya tampak rumit dengan warna tipis yang aneh. Louise sedang mengamati mulut ular yang terbuka lebar di lengan Ally ketika wanita itu menjawab pertanyaannya dengan ringan. “Beberapa menit lalu.” “Bukan itu maksudku. Apa rencanamu pekan ini? Apa kau akan kembali ke Chicago?” “Tidak dalam waktu dekat. Kulihat kau semakin kacau.” Louise mengabaikan pernyataan Ally, alih-alih berkata, “disini cukup nyaman.” “Aku suka rumah kayu kecilmu, omong-omong. Aku tidak tahu kau pandai memahat.” Ally menunjuk pada sebuah patung kayu kecil yang diletakkan di atas nakas. Patung itu berbentuk aneh: seekor rusa kecil yang lebih mirip kuda. Ed suka mengoleksi segala bentuk seni yang aneh. Tidak hanya patung kayu, tapi juga lukisan lama yang menampilkan warna-warna garis tak beraturan seperti benang kusut. Sudah lama Louise berniat membuang patung itu, menyingkirkan sejumlah ronsokan aneh yang membuat rumahnya tampak seperti rumah penyihir di tengah hutan. “Itu milik Ed,” aku Louise. “Aku memeriksa barang-barang lama dan menemukannya di gudang.” “Sudah kuduga.” Ally mengisap putung rokok dan mengepulkan asapnya ke samping. “Jadi apa rencanamu?” “Apa?” “Aku tidak datang sejauh ini untuk mendengarmu membual tentang cuaca. Aku ingin mendengar rencanamu. Apa rencanamu?” Louise menyipitkan kedua matanya. Kakinya telah melangkah meninggalkan jendela dan bergerak menghampiri Ally. “Apa yang kau bicarakan?” “Persetan denganmu! Kau harus melihat sekelilingmu, Louise!” Ally berteriak, tangannya memukul permukaan meja dan wanita itu nyaris bangkit berdiri karena kesal. “Kau tidak bisa selamanya diam disini.” “Apa masalahmu? Kau hanya datang untuk mengatakan ini?” Keheningan itu terasa mencekam di sekitar mereka. Louise hendak mengangkat botol birnya sebelum Ally mencegahnya dan merebut botol itu. “Kembalikan birku! Apa masalahmu?!” Ally melipat kedua tangannya di depan d**a dan menantang Louise dengan tatapannya. Cuping hidungnya bergerak naik turun saat wanita itu berusaha mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Louise dapat melihatnya saat itu: Ally yang berjalan mengikutinya di belakang, Ally yang tanpa takut mengungkapkan perasaannya, Ally yang pemarah. “Apa masalahmu, Lou?” “Persetan denganmu!” Louise berjalan melintasi dapur dan membuka lemari pendingin. Ia meraih sekaleng soda dari dalam sana dan meneguknya dengan cepat. Ally mengekor di belakangnya. Wanita itu bersandar di kusen pintu, melipat kedua tangannya saat mengamati Louise. “Kau menghubungiku,” kata Ally. “Tidak.” “Ya, kau menghubungiku semalam. Dan yang mengangkatnya. Dia memberitahuku.” Louise menatap lurus ke arah jendela, menyaksikan rumput yang mulai memanjang di halaman belakang rumahnya. Melihatnya membuat Louise jengkel, ia perlu membabat habis rumput itu. Besok, batinnya bicara. “Ya, aku menghubungimu,” aku Louise akhirnya. “Ada apa? Kau ingin mengatakan sesuatu?” “Tidak, lupakan saja!” “Serius Louise, aku disini. Kau bisa mengatakan padaku, semuanya.” “Tidak, kumohon.. lupakan saja!” Ally memandanginya, kemudian bergerak menuju bak pencuci piring dan membuang putung rokoknya di sana. “Oke, kau benar. Kita lupakan saja. Mari kita lihat apa yang kau punya, aku akan memasak untuk kita.” Ally tinggal lebih lama dari dugaannya. Setelah memasak makanan kaleng untuk mereka, Louise dan Ally duduk mengobrol di meja makan. Wanita itu menceritakan banyak hal tentang pekerjaannya, rencananya untuk pergi ke Chicago dan ketegangan hubungannya dengan Dan, tapi Ally tidak ambil pusing untuk hal itu, ia telah siap bahkan jika Dan memutuskan untuk meninggalkannya minggu ini. Hal yang benar-benar tidak dibutuhkan Ally adalah nasihatnya. Jadi Louise hanya memainkan perannya sebagai pendengar seperti yang biasa ia lakukan. Lagipula, ia tidak keberatan melakukannya untuk Ally, Louise senang mendengar Ally berbicara. Ally punya sejuta cara untuk mengungkapkan kesannya secara gambling. Ia tidak akan memberikan toleran sedikitpun atas sebuah tindakan yang tidak disetujuinya. Tapi Ally cukup kuat, ia tidak seperti Louise. Wanita itu cara untuk berdiri sendiri dan kapan harus membuka mulutnya. Jika tidak, Ally hanya akan berakhir seperti Louise. Tempatmu adalah di selokan, Louise sering mendengar suara itu berbisik di kepalanya. Siapa yang berani meledeknya dengan kalimat setajam itu? Sejauh ini, Louise terus mengabaikannya tiap kali suara-suara itu memanggil, tapi tetap saja itu terasa mengganggu. Menjelang sore, Ally sedang tertidur di kamarnya ketika Louise menyaksikan Rita muncul dari tikungan. Saat itu pukul lima, seharusnya Rita tiba satu jam yang lalu, namun wajahnya tampak berseri-seri. Tatanan rambutnya sedikit berantakan, namun ia tetap cantik. Rita berjalan cepat menyusuri jalur di seberang taman, bergerak menuju bangunan bertingkat di seberang sana. Louise menemukan kameranya di atas meja. Baterainya telah terisi penuh sehingga ia dapat menggunakannya. Kini layar berkedip tiga kali sebelum tulisan muncul di atasnya. Layar itu kemudian masuk ke mode utama. Louise menggunakan insting dengan menekan tombol merah yang segera tersambung dengan kamera utama. Ia mengangkat kamera nikonnya, mengarahkannya keluar jendela, kemudian menangkap gambar Rita dalam beberapa tangkapan layar. Gambar pertama terlihat buram, namun gambar kedua dan ketiga cukup jelas. Ia menyaksikan dari balik kaca jendelanya ketika Rita menghilang di balik pintu. Wanita itu bergerak menaiki tangga menuju kamarnya, tepat lantai atas. Louise sedang menyaksikan Rita berganti pakaian ketika ia mendengar suara Ally di belakangnya.  “Apa yang kau lakukan Lou?” - PUNISHMENT  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD