Pagi itu hari libur. Jim duduk di kursinya sembari membaca surat kabar. Sejauh ini, segalanya tampak berjalan dengan normal meskipun ada beberapa hal yang menganggu Rita sejak semalam. David mengirim pesan melalui ponselnya bahwa mereka harus segera menyegerakan pertemuan. Rita tidak membalasnya. Ia membiarkan percakapan itu terhenti di sana. Sebagai gantinya, Rita tidak dapat tidur dengan nyenyak. Ia sembunyi-sembunyi menelan pil tidur hanya agar Jim tidak menyadari perubahannya. Namun, hal itu tidak memberi pengaruh besar. Rita nyaris menghabiskan waktu seharian duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar melalui kaca-kaca tinggi di ruangan itu dan memikirkan keputusan untuk membalas pesan David dan mengatakan bahwa Rita juga ingin menemui laki-laki itu secepatnya.
Itu sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di apartemen. David berusaha meninggalkan pesan ke ponselnya sejak kemarin, laki-laki itu juga menghubunginya di jam-jam sibuk saat Jim tidak berada di rumah. David begitu bertekad untuk berbicara dengannya, sementara Rita tidak yakin dengan dirinya. Ia tidak memahami dirinya lagi sejak meninggalkan apartemen David tiga hari yang lalu. Ia terus mengabaikan panggilan David, Rita sengaja tidak membalas pesannya. Menghindar adalah tindakan paling mudah yang dapat dilakukannya dalam situasi ini. Namun menghindari David nyaris tidak mungkin. Laki-laki itu bisa menemuinya dengan mudah dan apa yang dipikirkan Rita tentang menghilang adalah ide yang konyol.
Apa yang kau perbuat? Apa yang kau perbuat? Rita terus menggumamkan pertanyaan yang sama sejak tiga hari yang lalu. Ia berusaha mengabaikan betapa buruk tampilannya, betapa kacaunya ia. Pikirannya berkubang pada kejadian beberapa jam di dalam apartemen David. Rita terus mempertanyakan keputusannya. Apakah ia telah membuat pilihan yang tepat?
Rita tidak menemani Jim makan di mejanya pagi ini, namun laki-laki itu membuatkan sarapan untuknya. Jim pergi selama satu jam untuk jogging dan baru saja kembali lima belas menit yang lalu. Laki-laki itu sedang membaca surat kabar ketika Rita berjalan menuruni tangga menuju dapur. Rita menuang kopi untuk dirinya sendiri, kemudian duduk untuk di belakang meja dan tidak melakukan apapun selain memandangi cairan kopi di dalam gelasnya.
Tiba-tiba Jim menyeruak masuk. Laki itu meletakkan cangkirnya di bak pencuci kemudian berbicara sembari memunggungi Rita.
“Aku ada pertemuan bisnis. Bukan acara formal sebenarnya. Ayahku ingin aku hadir, Helen juga akan hadir. Rekan bisnis ayahku mengundang kami makan malam. Kau sebaiknya ikut. Pakai baju yang kubawakan semalam, ibuku ingin melihatmu mengenakannya.”
Rita dapat merasakan rahangnya mengeras. Ia merasa kaku seperti mayat. Menghadiri pertemuan apapun yang melibatkan keluarga Jim adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Bukannya tidak tidak ingin, tapi jika harus jujur, ia tidak begitu menyukai bagaimana keluarga Jim memperlakukannya.
“Apa aku dapat absen dalam acara ini? Kupikir aku akan tinggal.”
Jim berbalik, sepasang matanya mengamati Rita dengan serius.
“Itu tidak akan lama. Kau akan baik-baik saja. Lagipula Richard akan kecewa jika kau tidak datang.”
***
Rita menelan pil kedua kalinya untuk dapat tidur malam ini. Sementara Jim tertidur pulas, Rita bergegas pergi ke toilet. Ia duduk di atas kloset sembari memandangi ponselnya. Tiga jam lalu David mengirimkan sebuah pesan suara.
Hei Rita.. dimana kau? Tolong hubungi aku. Aku hanya perlu mendengar suaramu. Bantu aku.
Rita mengulangi pesan itu berkali-kali. Setiap detiknya dihabiskan untuk memikirkan David. Rita memiliki pilihan untuk mengangkat ponselnya, menghubungi laki-laki itu dan meminta David untuk membawanya pergi. Ia bisa melakukan apa saja, kemudian Rita memikirkan sebuah pelarian. Namun, itu adalah ide terburuk. Jim akan menemukannya tidak peduli dimana Rita berada. Namun mengurung diri di rumah sebesar itu, tidak melakukan apa-apa dan terus berusaha memainkan perannya sebagai istri yang patuh sama seperti melakukan aksi bunuh diri secara perlahan.
Rita mencintai Jim. Ia meyakini bahwa dirinya memang berniat untuk menikahi Jim ketika menerima ajakan laki-laki itu untuk menikah. Tidak sedikitpun terlintas pikiran untuk menghianati Jim. Jim dapat menjadi suami yang sangat perhatian. Laki-laki itu terus berusaha membuatnya nyaman. Setidaknya hingga kejadian di apartemen David dan Rita tidak yakin lagi dengan dirinya.
Jim akan marah jika Rita mengatakan yang sejujurnya. Berterus terang jelas tidak ada dalam rencananya. Namun Rita juga tidak ingin melupakannya begitu saja. Setelah merasakan kenyamanan yang ditawarkan David, Rita selalu berpikir untuk kembali pada kenyamanan itu. Ia berpikir untuk tinggal di dalamnya. Namun akan selalu ada konsekuensi. Pemikiran buruk itu sekaligus mencegahnya untuk mengambil langkah.
Jim bersikap baik sepanjang hari. Laki-laki itu membuatkannya sarapan, memanjakan Rita dengan membeli beberapa koleksi musik klasik di kota dan kembali dengan membawakan kopi kesukaan Rita. Laki-laki itu tidak banyak menuntut seperti biasanya. Jim menghabiskan waktunya untuk jogging, kemudian membaca surat kabar dan menonton siaran olahraga favoritnya. Malam ini Jim juga tidur lebih cepat, ia tidak banyak bicara seperti biasanya dan Jim hanya mendengarkan apa yang disampaikan Rita tentang pertemuannya dengan Julie. Rita terpaksa berbohong. Ia mengatakan pada Jim bahwa dirinya menghabiskan waktu bersama Julie untuk mengobrol di taman. Mudah sekali untuk mengarangnya. Namun membohongi Jim adalah sebuah tantangan terberat. Rita perlu bersyukur karena setidaknya, laki-laki itu tidak banyak bertanya.
Kini, ketika seisi kepalanya semakin runyam, Rita kembali memikirkan David. Apa yang harus dikatakannya pada laki-laki itu. Gagasan untuk berbicara dengan seseorang begitu menggoda. Julie tentunya bukan pilihan terbaik karena saat itu sudah tengah malam dan ibunya paling tidak suka diganggu saat sedang tidur. Rita lupa untuk menanyakan nomor ponsel Louise. Wanita yang tinggal di seberang taman itu cukup menyenangkan. Meski sikapnya masih sedikit kaku, namun Rita suka mendengar cerita Louise tentang mantan suaminya, atau keputusannya untuk melanjutkan hidup. Louise mungkin hanyalah versi lain dari dirinya dan entah mengapa Rita merasakan kedekatan yang cukup akrab bersama wanita itu. Bagaimanapun, Rita perlu berbicara pada seseorang. Jim bukanlah pilihan. Jadi, Rita mengangkat ponselnya, menekan nomor yang tersambung ke ponsel David dan menggigit bibirnya dengan takut.
Suara laki-laki itu terdengar serak ketika mengangkat panggilannya. David terdengar antusias namun Rita khawatir telah menganggu tidurnya.
“Apa aku mengganggumu? Aku minta maaf, aku hanya tidak bisa tidur.”
“Tidak, tidak, aku senang kau menelepon. Kita bisa bertemu, atau cukup berbicara disini jika kau ingin. Apapun.”
Keheningan itu mencekiknya. Rita merasa takut. Jari-jarinya bergetar dan hawa panas merambat naik ke atas lehernya. Jim tertidur di balik pintu, ia membayangkan nafasnya bergerak dengan teratur. Cepat atau lambat laki-laki itu akan terjaga dan menyadari ketidakhadirannya. Rita hanya memiliki sedikit waktu untuk memutuskan. Sangat sedikit untuk menentukan hidupnya. Inilah yang selalu dilakukannya bahkan sejak ia memutuskan untuk menjadi balerina. Ia hanya mengambil waktu lima belas menit sebelum memutuskan tampil untuk pertama kalinya di atas panggung. Ia hanya butuh waktu lima menit untuk menerima ajakan Jim untuk menikah, dan Rita hanya butuh waktu sepuluh menit sebelum memutuskan untuk keluar dari teater.
“David, aku tidak tahu apa yang kupikirkan..” Rita merasa lega setelah mengatakannya. David perlu tahu, ia tidak ingin laki-laki itu salah paham dengan berpikir bahwa Rita meninggalkannya setelah apa yang terjadi di apartemen. Yang dibutuhkan Rita hanya dorongan untuk menyakinkan dirinya bahwa ia mengambil keputusan yang tepat.
“Aku merasa bersalah pada Jim..” Rita mengakui. David masih mendengar di seberang, laki-laki itu menolak untuk menyanggah dan nafasnya terdengar teratur. Ketenangannya memukau. Samar-samar Rita mengingat pertunjukan mereka, momen ketika David mengayunkan tubuhnya di atas panggung. Ia merasakan nafasnya yang hangat dan teratur menyapu tengkuknya. Rita merindukan laki-laki itu. “Ini seharusnya tidak terjadi. Aku tersesat. Aku tidak bisa tertidur tanpa memikirkannya. Kupikir obat bisa mengatasinya, tapi itu tidak bekerja. Aku benar-benar merindukanmu. Aku harap aku memiliki kata-kata yang lebih baik untuk diucapkan.”
Situasi itu begitu hening hingga Rita berpikir bahwa ia dapat mendengar suara nafasnya sendiri.
“Kau disana?”
“Aku menyesal tidak mendekatimu sejak awal.”
-
PUNISHMENT