Bagian 23

2301 Words
David duduk di seberangnya, mengenakan kemeja putih dan terusan jins berwarna pucat. Laki-laki itu duduk membelakangi jendela di kedai, menghalangi sinar matahari yang menyusup masuk melalui kaca-kaca itu, juga menghalanginya dari pemandangan ramai di sekitar jalan. Sementara Rita duduk di kursinya dengan kaku, menatap David dengan cara yang tidak biasa. “Kau bilang kau minum pil..” “Ya, tapi.. aku kehabisan pil dan aku tidak minum dua hari. Kupikir itu..” “Kenapa kau tidak bilang padaku?” David terdengar seolah hendak memprotesnya, namun Rita tidak dapat menyalahkan reaksi David. Ia tidak dapat menyalahkan laki-laki itu atas tindakan cerobohnya. “Maafkan aku.. hanya saja aku..” kedua bahunya merosot dan Rita menyerah pada satu kata, “maaf.” “Kenapa kau tidak mengatakannya lebih awal?” “Aku takut,” aku Rita. Kala itu David menggeser kursinya kemudian mencondongkan tubuh ke arahnya. Seorang pelayan hadir untuk membawakan minuman mereka. David mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya, menambahkan sjeumlah tip kepada pelayan yang kemudian melenggang pergi meninggalkan mereka. “Bagaimana keadaannya? Sudah berapa lama?” “Kupikir ini akan memasuki bulan pertama di minggu ini,” Rita memandangi laki-laki itu. Ada banyak hal yang mengisi pikirannya, Jim ada di urutan nomor satu. “Apa Jim tahu?” “Tidak, aku tidak ingin dia tahu.” David tertegun cukup lama. Rita tahu bahwa dari tatapannya yang kosong, David berusaha untuk menimbang sesuatu. “Beritahu aku apa yang kau inginkan? Kita hanya punya dua pilihan.” “Aku tidak mau menggugurkannya,” jawab Rita dengan spontan. “Maka kau harus bicara dengannya.” “Tidak, ini bukan waktu yang tepat.” “Lalu apa yang kau tunggu? Kau ingin mengatakan bahwa kau mengandung bayinya?” “Tidak, Jim akan tahu. Kami tidak berhubungan selama satu bulan terakhir. Kami sering berdebat akhir-akhir ini.” “Aku tidak yakin, tapi aborsi satu-satunya cara. Kita bisa tetap berhubungan.” “Bukan seperti itu caranya.” Kedua bahu David merosot. “Katakan saja padaku apa rencanamu?” “Beri aku waktu. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang.” “Kau ingin aku mengantarmu kembali?” “Ya, jika kau tidak keberatan.” Ada sesuatu yang benar-benar tak terpikirkan olehnya saat itu, fakta bahwa David secara sukarela akan menikahinya, membuat Rita berpikir ulang tentang keputusannya. Jim bersikap baik beberapa hari terakhir, mungkin terlalu baik untuk diabaikan. Ia telah berusaha mengembalikan suasana yang terasa sama seperti tahun awal pernikahan mereka, dan Rita juga berusaha menghargainya. Usaha Jim membuat Rita tidak dapat mengabaikan keberadaan laki-laki itu begitu saja. Mungkin dapat dikatakan ia begitu naif tentang hal itu. Namun, kesempatan untuknya terbuka di sisi lain. David adalah pintu lain, sekaligus menjadi pilihan lain, tapi meninggalkan Jim akan menjadi keputusan yang sulit mengingat pernikahan itu sudah berlangsung cukup lama dan ia perlu membiasakan diri untuk situasi baru. Rita telah memikirkan hal itu di sepanjang perjalanan, merasakan keheningan yang tidak biasa mulai mencekik mereka. Sewaktu-waktu David akan memandanginya melalui spion dalam mobil kemudian kembali menatap jalanan di depannya. Laki-laki itu menghentikan mobilnya persis di seberang jalan. Ia menawarkan diri untuk mengantar Rita, namun Rita menolaknya dengan cepat. “Kau yakin?” “Ya.” Rita membuka pintu mobil dan bersiap untuk turun ketika David bertanya, “kapan kita dapat bertemu lagi?” “Aku akan menghubungimu.” Laki-laki itu menatapnya. Ekspresi wajahnya menyatakan bahwa ia sangat terusik dengan sikap diam Rita. Namun Rita tidak dapat mengatakan apa-apa, ia pergi dan menghilang dengan cepat, berharap ditelan bumi. Ketika mencapai halaman depan rumahnya, Rita menyaksikan mobil David berputar dan laki-laki itu pergi ke arah yang berlawanan. Ketakutan itu kembali menguasainya hingga ia menghilang di balik pintu. Rita sedang berdiri di bawah pancuran air, membasahi wajah dan tubuhnya dengan pikiran kosong. Titik-titik air yang jatuh di atas lantai kini menjadi bayangan yang kabur. Sementara itu ventilasi udara yang terbuka di atasnya mengizinkan angin untuk dapat masuk, merayap di sudut-sudut dinding dan membawa hawa dingin yang mengikatnya. Ia sedang memikirkan usulan David untuk melakukan aborsi sembari duduk di atas sofa sembari minum anggur secara langsung dari botolnya. Kemudian Rita menyaksikan sebuah cahaya yang membesar dari arah jendela. Cahaya itu bergerak mendekat, membelah kegelapan jalan, kemudian berkedip dengan cepat. Rita tidak menyadarinya sampai kemunculan Jim di belakang mengejutkannya. “Apa yang kau lakukan?” Wajah Jim memerah, Rita tersentak di kursinya, ia nyaris saja menjatuhkan botol alkohol itu dari genggamannya. Namun, Jim telah merebutnya dengan cepat, berdiri menantangnya dengan tatapan marah. “Ini yang kau lakukan di rumahku?” “Tidak.. aku hanya..” “Kenapa kau mabuk?” ada penekanan dalam suara Jim yang membuat Rita merasa gentar. Wajah laki-laki itu telah memerah, kedua matanya membeliak. Rita hanya pernah sekali melihat Jim marah, tapi tidak pernah semarah itu. Harus diakui bahwa Rita terkejut saat melihatnya, namun kepalanya terlalu pening saat itu. Alkohol mulai bereaksi dalam tubuhnya, membuatnya tidak berpikir panjang saat meneriakan kalimat, “aku tidak mabuk!” “Kau minum banyak!” Jim melempar botol itu ke dinding, memecahkannya dalam sekejap dan suara berdenting saat potongan keramik itu berjatuhan di atas lantai memenuhi seisi ruangan. Tubuh Rita menegang, ia bergerak mundur. “Maaf..” “Tidak,” Jim mendekatinya, Rita mengambil langkah mundur. Ia merasa takut, namun ia terjebak. Jim disisi lain memejamkan matanya, berusaha mengatur nafasnya ketika berkata, “Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya. Beritahu aku apa yang kau sembunyikan?” Pertanyaan itu seperti keluar dari bagian yang terkubur jauh di kepalanya. Rasanya mustahil mendengar Jim bertanya menanyakannya, namun apa yang dilihat dan didengarnya benar-benar nyata: Jim, berdiri di depan dengan kedua bahu lebar dan urat-urat yang muncul di pelipisnya. Kedua tangannya siap terkepal. Apa yang hendak dilakukan itu? Bagaimana jika Rita mengatakan yang sebenarnya: bahwa ia telah berselingkuh dan mengandung anak pria lain? Alih-alih menuruti keinginan terpendam itu, Rita justru berkata, “Tidak! Tidak ada apapun.” “Kau tidak pernah mabuk di rumahku!” teriak Jim di depan wajahnya. “Apakah pemberianku kurang? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan? Kau tidak suka rumah ini? Kau tidak suka berada disini?” “Tidak..” “Jadi kenapa kau mabuk di rumahku?!” Keheningan menjalar. Rita tidak menjawab, Jim menghela nafas. Kemudian ketika Rita berpikir kalau Jim akan mememecahkan barang lain di sekitarnya, ia justru menyaksikan laki-laki itu berbalik pergi meninggalkannya. Rita baru dapat bernafas lega saat Jim menghilang di atas tangga. Namun itu tidak berakhir begitu saja, keadaan tidak berbaik hati padanya. Tengah malam ketika Rita berbaring menyamping, teriakan Jim dari lantai bawah membuatnya terjaga sepanjang malam. Laki-laki itu melempar sesuatu hingga Rita mendengar suara pecahan lainnya dari arah kamar mandi. Tangannya meremas erat seprai, kedua matanya terasa perih dan ia mengedipkan kelopak matanya berkali-kali, tapi malam itu terasa panjang dan semakin panjang, sementara ia terus dilanda oleh ketakutan hingga pagi hari.   -     Jim pergi bekerja lebih awal, bahkan Rita tidak sempat melihat kepergiannya. Ia hanya mendengar suara gemuruh mesin mobilnya saat laki-laki itu berkendara meninggalkan rumah. Mulanya Rita hendak mengejar laki-laki itu dan mencegahnya pergi, tapi rasa takut yang menahan Rita tetap berada di dalam kamar, menatap cat pada kuku jarinya selagi Jim menstarter mobilnya dan berkendara pergi. Setidaknya, Rita sudah dapat berpikir lebih waras pagi itu. Menemui Jim dan mengajaknya berbicara bukanlah saat yang tepat. Dapat dipastikan laki-laki itu tidak akan mau mendengarkannya. Jim tidak akan menoleransi tindakan bodoh sekecil apapun yang dilakukan Rita di dalam istananya dan membantahnya hanya akan memperpanjang masalah yang pada akhirnya tidak akan bisa ia hindari. Diam adalah pilihan terbaik – Rita telah belajar untuk itu. Jadi menghindari Jim pagi itu adalah keputusan yang tepat. Alih-alih berlarut-larut memikirkannya, Rita memutuskan untuk menghubungi Julie. Ia berharap dapat berbicara dengan ibunya: satu-satunya orang yang mungkin dapat ia percaya. Jadi, ketika wanita itu muncul di depan pintu, Rita menolak untuk berganti pakaian. Ia keluar dengan mengenakan piyama tidurnya dan menyambutnya dengan senang. Rita memeluk Julie dengan kuat, tidak pernah merasakan tubuhnya begitu rapuh sebelumnya. Ibunya mengatakan bahwa ia menolak untuk tinggal lama, namun kehadirannya sudah cukup menenangkan. “Ada apa? Kau menghubungiku sepagi itu. Aku sempat berpikir untuk menolak panggilannya, kupikir itu Jim. Kau baik-baik saja?” “Aku tidak yakin,” Rita berjalan ke arah dapur, Julie mengekor di belakangnya. “Kau ingin teh?” “Tidak, aku ada pertemuan siang ini. Aku tidak akan tinggal lama.” “Apa kau tidak bisa duduk dan menemaniku sebentar saja?” “Terserah! Kau berutang untuk itu.” Julie menyambar kursi di dapur, duduk sementara Rita mengisi dua cangkir dengan poci teh. Ia mendorong satu cangkir ke arah Julie, kemudian minum dari cangkirnya sendiri. “Semuanya baik-baik saja, kan?” Julie telah mengajukan pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya, Rita punya kekhawatiran kalau ia hanya akan mengusik ibunya dengan masalahnya. Wanita itu sudah memiliki cukup banyak masalah diusianya tanpa perlu ditambah lagi. “Dimana Jim?” “Aku hamil,” aku Rita sembari memandangi cangkirnya di atas meja. Kedua mata Julie terbuka lebar, namun ia tidak segera bereaksi. “Selamat,” kata Julie akhirnya. “Ini bukan milik Jim,” Rita melanjutkan, kali ini ia berhasil mengejutkan ibunya. “Apa kau gila?” “Bagaimana menurutmu? Aku bingung.. Jim dan aku bertengkar semalam.” “Apa dia tahu tentang ini?” “Tidak, aku tidak akan mengatakannya.” “Siapa pria ini?” “Aku tidak bisa memberitahumu.” Rita menolak untuk mendapat intimidasi dari ibunya. Julie telah melakukannya berkali-kali, mengatur segalanya dan membuat Rita merasa terintimidasi sepanjang hidupnya. Namun tidak kali ini, tidak sejak ia menikahi Jim. Jim telah mengambil alih tugas ibunya. Rita telah menggeser kursinya ke belakang, mencondongkan tubuh dan meremas tangan ibunya. “Apa yang harus kulakukan?” “Gugurkan saja! Jika kau ingin tetap tinggal disini, itu yang harus kau lakukan. Gugurkan sebelum semuanya melebar.” “Aku tidak bisa. Aku tidak ingin.” “Jadi apa rencanamu?” wanita itu tampak marah. “Kau ingin mengatakannya pada Jim?” “Aku tidak ingin melakukan itu, tapi aku tidak yakin lagi.” “Apa maksudmu kau tidak yakin? Kau tidak akan mengatakan padanya, kan?” “Bagaimana jika aku dan Jim berpisah? Aku harus memutuskannya. Ayah dari anak ini, dia berjanji dia akan bertanggungjawab. Bahkan dia bersedia menikahiku.” Julia tampak tidak senang. Wajahnya memerah saat berkata, “dan meninggalkan semua ini? Kau gila? Kau mendapatkan segalanya disini! Ini adalah kehidupan yang kau impikan sejak dulu dan kau ingin meninggalkannya begitu saja?” “Tidak!” bantah Rita dengan cepat. “Kau tidak mengerti, ini bukan kehidupan yang aku inginkan.” Kehidupan yang diingin - Rita tidak berpikir ketika mengucapkannya. Telinganya merasa asing dengan kalimat itu, namun Julie telah berdiri di hadapannya, siap untuk membantah. “Kau bercanda! Kau memiliki suami yang cukup kaya untuk memberimu makanan dan tempat tinggal secara layak. Seandainya aku ada di posisimu, aku akan melakukan apapun untuk mempertahankannya. Hanya karena aku tidak cukup pandai memilih suami yang tepat bukan berarti kau juga harus melakukannya. Jangan lakukan kesalahan yang sama sepertiku! Kakakmu sudah menjadi korban dari situasi mengerikan yang pernah kita alami, jangan lakukan itu lagi! Pria ini.. pikiranmu pasti sudah diracuni!” Ada kedalaman pada setiap kata yang diucapkan Julie. Satu hal yang benar-benar mengecewakannya adalah kenyataan bahwa dengan cara apapun, mereka tidak pernah sejalan. Mereka sering bertengkar untuk masalah sepele. Julie selalu berharap keadaannya berjalan sesuai dengan yang diinginkannya – Rita punya rencana lain. Dalam beberapa hal, mereka memang tidak pernah sejalan. Kenyataan bahwa mereka telah bersama-sama selama bertahun-tahun mengejutkan Rita. Hingga sekarang, ia bahkan masih mengingat hari-hari yang mereka habiskan bersama-sama, tertidur dengan kelaparan, hidup di bawah atap dari bangunan sempit yang sangat tidak layak untuk ditempati. Bagaimanapun masa-masa itu telah berlalu. Rita memiliki kehidupan yang serba berkecukupan sekarang, bahkan boleh dibilang terlalu berlebihan. Julie sangat senang untuk semua itu. Jim memberi akses bagi Julie untuk membeli apa yang dibutuhkannya dengan kartu kredit, sebagai gantinya, ia memiliki Rita seutuhnya. Mereka harus mematuhi aturan pertemuan yang ditentukan Jim, mengikuti perintah konyol Jim untuk menjauh satu sama lain. Julie sama sekali tidak keberatan, wanita itu memanfaatkan pemberian Jim dengan sangat baik, tampaknya Rita tidak dapat menikmati semuanya seperti yang dilakukan Julie. “Apa kau takut?” Pertanyaan Rita barusan membuat Julie mengernyitkan dahinya dengan marah. “Apa?” “Jangan beritahu aku jika kau mengatakan itu karena kau takut itu akan berakhir buruk untukmu.” “Apa yang kau bicarakan?” “Kau takut karena Jim akan menutup semua akses kartu kredit itu dan dia tidak akan memberimu uang seperserpun.” Wajah ibunya memerah, tampak jelas bahwa Rita telah menyinggungnya secara kasar. “Apa kau sadar apa yang kau katakan?” Rita memejamkan kedua matanya, menarik nafas dalam sembari meremas tangannya. Situasi itu kacau, dan semakin kacau ketika ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Ia telah menanti momen untuk berbicara pada seseorang, untuk mengeluarkan seluruh isi pikirannya tanpa merasa takut, namun jika itu melibatkan emosi, Rita dapat sepenuhnya kacau. Ibunya, bukanlah seseorang yang harus disudutkan dalam situasi itu. Ia mengatakan apa yang tidak ingin dikatakannya, pada akhirnya Rita hanya membuat situasinya semakin kacau. “Maaf,” ucap Rita dengan cepat. Namun Julie telah berdiri, mencondongkan tubuhnya dan mengetuk permukaan meja itu dengan marah. “Kau tahu apa? Ini bukan tentang uang, ini tentang kau. Kau selalu berpikir melakukan segalanya dengan benar, tapi kau tidak. Ingat pamanmu, jangan berakhir seperti dia!” Julie melenggang pergi, menghilang di balik pintu sebelum Rita sempat mencegahnya. Memperbaiki kekacauan yang ia buat tidak ada gunanya sekarang. Situasinya sudah kacau dan akan semakin kacau nantinya. Ia hanya dapat melakukan pekerjaan yang mampu mengalihkan pikirannya kala itu. Rita dapat membersihkan kamarnya, ia akan mencuci karpet di ruang tengah, atau menyingkirkan debu di atas sofa. Tiba-tiba ia merindukan pakaian renangnya, merindukan kehangatan yang diberikan sinar mentari di halaman belakang rumahnya dan rindu untuk mendengar irama akustik favoritnya. Bagaimanapun, Rita memiliki banyak waktu untuk melakukan itu. Tapi yang benar-benar diinginkannya kala itu adalah duduk dan bermain catur bersama Louise. - PUNISHMENT
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD