Arti 'Ya'

1535 Words
Terbaring di atas ranjang dengan kondisi lemah. Napasnya pendek-pendek sementara bagian dadanya terasa tak nyaman. Ia diliputi rasa gelisah. Wajar, tiada hari berlalu tanpa ia dihantui bayang-bayang kematian. Ia melirik ke sekeliling kamarnya, hanya ia sendiri. Tak ada orang lain. Pun, ia yakini di kamar sebelah. Tak ada Ghazfan di sana. Pria itu sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan sialnya bagi Orisha karena ia kembali mengalami sesak napas di saat ia sedang sendirian. Di saat-saat penyakitnya kambuh, biasanya Ghazfan selalu menemani. Pria itu terkadang begadang semalaman untuk menenangkan Orisha yang sudah dipastikan akan selalu gelisah tiap kali paru-parunya terasa tak nyaman. Jam setengah 2 dini hari, Orisha memang paling sering mengalami gangguan sesak napas di tengah malam. Dan dengan kondisinya yang sendirian, membuat ia berkali-kali lipat lebih cemas. Cemas jika saja ia mati sendirian tanpa seorang pun melihatnya. Sambil mengusap-usap dadanya, ia bergerak pelan, bergeser agar mampu meraih ponsel yang terletak di atas nakas. Langsung saja ia menghubungi Ghazfan, berharap ia bisa mendengar suaranya. Panggilan tersambung, membuat Orisha sedikit lega karena artinya pria itu tidak mematikan ponselnya. Dan begitu terdengar suara serak pria itu dari seberang telepon, ia langsung merengek, memanggil namanya dengan lirih. “Ga … aku sakit.” Beberapa detik berlalu tanpa suara balasan dari pria itu, membuat Orisha kembali memanggilnya. “Aku susah napas, Ga. Aku takut sendiri.” “Sha …,” pria itu membalas juga akhirnya. Suaranya terdengar lembut, tak lagi terdengar suara serak khas baru bangun. “Sha, tenang ….” “Ga, kalo aku mati sendirian gimana?” “Sha, kamu bakalan baik-baik aja. Dengerin aku baik-baik yah.” “Hmm ….” Orisha berdehem dengan napas yang memburu. Tangannya masih terus mengelus dȧda, sementara dalam hati ia merapal doa. Ia bukannya takut mati, hanya saja ia takut sendirian. Sejak ia kecil, ia telah berkawan dengan yang namanya penyakit. Telah bersahabat dengan ketakutannya sendiri. Membuat ia kebal akan kemungkinan atas kematian itu. Hanya saja, ia tak ingin menutup mata untuk selamanya tanpa ada seseorang yang memegang tangannya. “Tarik napas, Sha,” ujar Ghazfan. “Keluarin pelan-pelan.” Orisha menarik dan mengeluarkan napas sesuai perintah Ghazfan. Berulang kali, mengikutinya seirama dengan ucapan pria itu. “Kalo napasnya masih susah, kamu bisa pakai alat bantu pernapasan, Sha.” Di sebelah kanan ranjangnya, ada tabung besar berisi oksigen. Yang memang selalu tersedia di kamar itu, jika sewaktu-waktu kondisi Orisha drop. “Kamu bisa kan masang sendiri?” “Hmm … bisa,” balasnya. Orisha menggeser tubuhnya lagi, mendekat pada tepi ranjangnya yang bersisian dengan tabung oksigen. Begitu tangan yang sedang gemetaran itu berhasil menyentuh tabung, ia memutar regulator untuk mengalirkan udara ke selang nasal yang berwarna bening dan transparan. Lalu ia dengan segera meraih selang nasal tersebut. Orisha mengalungkannya ke belakang kepala lantas memposisikan bagian prongs, bagian selang yang berfungsi mengalirkan udara ke dalam hidung. “Bisa?” tanya Ghazfan. “Hmm …,” jawab Orisha dengan lirih. “Tenang, Sha. Kamu bakalan baik-baik aja, jangan terlalu banyak pikiran.” “Aku cuma gak enak ngerasa sendiri, Ga.” “Kan, aku temenin kamu dari sini.” “Tapi, kamu jauh, Ga. Kamu gak bisa liat aku.” “Mau aku telpon lewat video call, Sha?” “Hmm ….” Panggilan teleponnya berakhir, tapi kurang satu menit kemudian, ponsel Orisha berdering. Panggilan video call dari Ghazfan. Melihat pria itu di depan matanya, meski hanya lewat sambungan video call sudah cukup membuat Orisha lebih nyaman. Hal yang sama juga berlaku bagi Ghazfan, meski tak saling berbicara, tapi dengan melihat mata Orisha masih terbuka membuat ia lega. Tak perlu banyak ucapan manis sebenarnya, karena cara Ghazfan mengutamakan Orisha adalah bukti dari cintanya. Yang sayangnya sering kali tak disadari oleh gadis itu. Orisha menyandarkan kepalanya pada bagian headboard ranjang. Matanya terpejam, menikmati alunan deru napasnya yang masih memburu. Alunan deru napas yang sama yang juga didengar oleh Ghazfan melalui sambungan video call. Ghazfan, dari jarak yang jauh dari keberadaan Orisha, ia jelas-jelas selalu diliputi ketakutan yang sama. Ketakutan yang juga selalu menghantuinya selama bertahun-tahun ini. “Mau aku telponin, Papa? Biar ngecek kondisi kamu.” Ghazfan memilih bertanya, setelah terlalu lama Orisha terdiam. “Gak usah, anaknya udah cukup,” balas Orisha seraya mengulas senyum, meski matanya masih dalam keadaan terpejam. “Kayaknya kamu udah mendingan,” ujar Ghazfan, juga sambil tersenyum. “Ga,” lirih Orisha. “Kamu … bakalan selalu temenin aku, kan?” tanya Orisha setelah beberapa saat mereka terdiam. Matanya terbuka, meneliti raut wajah Ghazfan dari layar ponselnya. Pria itu diam, hanya mengulas senyum. Tapi, dalam hati ia sedang menjawab pertanyaan itu. Menjawabnya dengan keseriusan yang sungguh-sungguh. Selalu, Sha. Bukan hanya menemani, tapi aku akan berjuang untuk kamu, Sha. “Ga,” panggil Orisha lagi karena tak mendapatkan jawaban. “Kamu …,” panggilannya mulai terdengar kecewa. Ia hanya ingin mendengar satu kata ‘iya’. Tapi, rupanya begitu sulit kata tersebut terucap dari bibir Ghazfan. “Istirahat, Sha. Kamu harus istirahat.” “Padahal aku cuma minta ditemenin, Ga. Cuma sampai aku mati, kok,” ujar Orisha, kali ini dengan ketus. Matanya mulai berkaca-kaca, menahan lonjakan air yang tak ingin ia tumpahkan. Tapi, begitu sulit diajak berdamai. “Susah banget yah bilang iya? Aku cuma mau denger kamu bilang iya, gak peduli itu jujur atau bohong.” “Sha, ini udah larut banget.” Ghazfan mengalihkan pembicaraan. “Nanti kamu makin parah kalo gak istirahat.” Orisha mengusap matanya yang berair dengan kasar lantas ia mematikan sambungan video call secara sepihak. **** Pagi-pagi buta, seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu apartemen Ghazfan. Ia tak membunyikan bel, karena ia memang sudah hapal dengan kode akses masuk ke apartemen tersebut. Usai menekan satu per satu tombol kode akses, ia melangkahkan kaki memasuki apartemen tersebut. Tak lupa membawa masuk dua kantong plastik berisi belanjaan untuk ia masak pagi ini. Ia bergegas meletakkan belanjaannya di dapur kemudian mengecek kondisi Orisha. Subuh-subuh tadi, Ghazfan meneleponnya untuk datang lebih awal agar mengecek kondisi Orisha. Yah, begitulah Ghazfan, ia minim dalam menyenangkan Orisha dalam kata-kata manis, tapi selalu maksimal dalam menjaganya, dengan caranya sendiri. Bi Tari mendorong pintu kamar Orisha, pintu itu memang tak pernah dikunci oleh sang pemilik kamar. Pencahayaan di kamar tersebut terang, karena Orisha takut gelap. Karenanya ia selalu menyalakan lampu selama 24 jam. Gadis itu, masih tertidur. Dan untuk memastikan jika ia memang tertidur, Bi Tari mendekat. Memastikan masih ada napas yang berembus dari mulut dan hidungnya. “Alhamdulillah, Neng Orisha masih hidup,” ujarnya dengan lega melihat perut Orisha masih bergerak naik dan turun. Sementara selang penyambung napasnya masih terpasang di hidung gadis itu. Bi Tari segera keluar dari kamar Orisha, ia hendak menelepon Ghazfan untuk memberikan laporan mengenai keadaan Orisha. Langsung ia tekan kontak Ghazfan melalui ponselnya hingga terdengar suara pria itu. “Orisha gimana, Bi?” “Neng Orisha masih tidur, Mas.” Helaan napas lega Ghazfan terdengar di sambungan telepon. “Orisha masih pakai alat bantu pernapasan, Bi?” “Masih, Mas.” “Baik, Bi. Terima kasih, kalo Orisha udah bangun tolong suruh dia telpon saya, Bi.” “Baik, Mas.” “Oh ya, Bi.” Panggilan itu membuat Bi Tari kembali mendekatkan ponselnya yang telah ia jauhkan dari telinga. “Iya, Mas.” “Tolong jagain dan temenin Orisha ya, Bi.” “Selalu, Mas. Bibi akan selalu menjaga dan menemani Neng Orisha, Mas.” Sebenarnya tak ada niat Ghazfan untuk meninggalkan Orisha sendirian di saat sesak napas Orisha bisa kambuh kapan saja. Pagi kemarin ia sudah meminta bantuan salah seorang teman baik Orisha, Gracia, agar menemaninya selama Ghazfan berada di luar kota. Dan Gracia memang sudah menemani Orisha sejak Ghazfan meninggalkan apartemennya. Namun, sayangnya di malam hari, gadis yang sedang kuliah di jurusan keperawatan itu harus memenuhi panggilan dadakan untuk menggantikan shift salah seorang temannya di tempat kerja. Gracia, salah satu teman baik Orisha dari bangku Sekolah Menengah Pertama. Gadis itu sambil kuliah ia juga harus bekerja sebagai penjaga minimarket, makanya ia harus meninggalkan Orisha sendirian. Ia sudah menghubungi Ghazfan akan hal itu, membuat Ghazfan diliputi kecemasan berlebih ketika tahu Orisha sendirian di apartemen. Ia bahkan hampir menelepon kedua orang tuanya agar menjemput Orisha. Namun, karena Orisha tak ingin membuat kedua orang tua Ghazfan panik di malam hari, makanya ia menolak. Dan saat itu kondisinya memang dalam keadaan baik-baik saja. Namun, yang namanya penyakit selalu saja datangnya tak terprediksi. Karena itulah, Ghazfan segera meninggalkan tempat tidurnya di kamar hotel yang sedang ia tempati. Ia harus segera bersiap bekerja. Jika selesai lebih awal, artinya ia bisa pulang lebih cepat ke Jakarta untuk memastikan sendiri kondisi dari gadis yang ia buat menangis semalam karena enggan untuk sekadar berkata ‘ya’. Kata ‘ya’ menurutku tak pernah seenteng itu. Ada tanggung jawab yang mengikutinya. Karena itu kata ‘ya’ dariku begitu mahal. Karena aku tak pernah ingin membuaimu dalam bahagia yang semu lantas menghancurkan harapmu jika pada akhirnya kata ‘ya’ itu tak mampu kupertanggungjawabkan. . . . Note: Dear pembacaku terlope-lope, kalau kalian membaca n****+ ini dan masih tergantung di sini artinya kontrak belum turun. Jadi, mari kita sama-sama menunggu. Seperti otornya yang masih menunggu si dia. Eaakkk Alamak otornya malah curhat. Sebelum curhatan otornya jadi panjang lebar, cuma mau bilang jangan lupa tap love yah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD