Ran pikir dia akan disambut dengan pemandangan kemewahan yang akan menyilaukan mata. Seperti mungkin piring dan perlengkapan lain yang terbuat dari emas? Sofa yang empuk yang diisi dengan bulut angsa? Atau permadani lembut dan mahal yang akan menjadi tempatnya berpijak.
Tapi yang kini ada di hadapan Ran, hanya sebuah ruang tamu nyaris kosong tanpa furnitur yang sempat mampir di pikirannya tadi.
Pemandangan di dalam kastil megah ini sangat berbeda dengan pemandangan luarnya.
Theo, yang menyadari kebisuan Ran, lantas terkekeh. Dia melangkah masuk lebih dulu dan berbalik ke belakang menatap Ran yang masih di ambang pintu.
“Apa ini rumah baru?” tanya Ran tanpa bisa ditahan.
“Bukan. Rumah ini sudah berusia puluhan tahun. Hanya saja, aku terlalu jarang berada di rumah ini. Aku biasanya tinggal di apartemenku di kota, atau di rumah orang tuaku. Rumah ini memang diharapkan akan ditempati setelah aku menikah nanti. Karena aku tidak tahu bagaimana selera calon istriku, jadi aku mengeluarkan semua furniturnya. Dan aku berharap, kamu mau mengisinya nanti dengan hal-hal yang mungkin memang kamu sukai dan menjadi seleramu.”
Ran mengatupkan bibirnya rapat, lalu melangkah mendekati Theo, berdiri di hadapan pria itu dengan ekspresi datar dan tatapan dingin.
“Aku tidak akan tinggal di tempat ini, Tuan Rahandika,” ucap Ran langsung pada intinya.
Theo langsung membuang napas berat. “Penolakan itu lagi,” gumamnya pelan, tapi disertai senyuman yang Ran tahu hanya berupa paksaan. “Kalau begitu kamu lebih memilih apartemen saja? Tempatnya jauh lebih modern dari rumah ini, kalau itu memang selera kamu.”
“Aku tidak punya selera apa pun! Mau itu modern atau kuno! Mewah atau sederhana! Intinya semua yang menyangkut tentangmu bukanlah seleraku! Jadi dari pada kita membuang-buang waktu di sini membahas hal yang tidak penting, lebih baik kita langsung saja pada intinya.”
Rahang Theo tampak mengeras, tidak ada lagi senyum main-main di bibirnya. “Justru itulah intinya!” ucap Theo.
Mungkin di mata Ran, lamarannya terkesan main-main. Tapi Theo tidak pernah seserius ini di dalam hidupnya. Dia ingin Ran menikah dengannya! Dan dia sudah pasti akan mendapatkan apa yang dia inginkan.
Namun semakin ke sini, Theo yang awalnya memaklumi penolakan Ran, lama-lama menjadi berang juga.
“Jadi Anda mengajakku ke sini untuk menyombongkan diri dengan semua kekayaan Anda ini?” kata Ran lagi.
Theo mencoba menahan amarahnya dan berkata, “Ran, tumah ini akan jadi milik kamu kalau kamu menikah denganku nanti. Semua kekayaan yang kamu pikir aku sombongkan ini juga akan menjadi milikmu.”
Ran menggeleng. “Kalau begitu aku lebih baik pergi,” ucapnya sembari berbalik.
Tapi Theo dengan segera menarik tangannya dan menyentaknya sehingga Ran kembali menghadapnya. Tatapan Theo menggelap. Kalau saja Theo bisa mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, untuk menyakiti Ran seperti gadis ini menyakitinya, bahwa Theo tidak menyukai tipe perempuan susah diatur seperti Ran, yang keras kepala dan tidak tahu diri.
“Ingat bahwa kamu masih memiliki utang puluhan juta padaku!” desis Theo tajam.
Ran yang awalnya hendak memberontak langsung terdiam. Matanya yang berwarna hitam kelam itu mendongak menatap mata yang juga sama kelam dengan miliknya tersebut. Tapi milik Theo tampak lebih misterius, seperti menyimpang sejuta misteri yang Ran tidak ingin ketahui. Dan itulah yang membuatnya takut.
Ran menyentakkan tangannya dari pegangan Theo dan mengusap pergelangannya yang terasa sedikit sakit karena sentuhan pria itu yang cukup keras.
Ini adalah saat di mana Ran tahu bahwa dia harus bersikap dewasa. Benar, dia memiliki utang banyak pada Theo, utang yang tidak dia kehendaki tapi tetap ada mau sekuat apa pun dia menolaknya.
Dan Ran tidak akan pernah menjadikan menikah dengan pria ini adalah jalan keluar untuk membayar utang-utangnya tersebut.
“Maafkan aku, Tuan,” kata Ran kemudian.
Dan suaranya itu membuat kening Theo mengernyit. Karena dibanding perempuan dengan perasaan meluap-luap seperti tadi, perempuan yang baru saja berbicara padanya ini terdengar sangat dingin seolah tidak memiliki perasaan.
Tapi Theo juga tidak bisa mengatakan apa pun untuk itu.
“Baik. Dan alasan yang sebenarnya kenapa aku membawamu ke sini adalah untuk menghadiri acara makan malam dengan keluargaku malam ini,” ucap Theo.
Kedua mata Ran saat itu juga langsung membelalak lebar menatap lantai di bawahnya. Dia lantas mendongak, hendak memprotes, tapi menutup kembali mulutnya karena ingat tentang utang-utang yang dia miliki.
“Apa yang akan Tuan berikan padaku kalau aku setuju?” kata Ran.
Theo tersenyum miring. Baiklah kalau Ran mau memainkan perannya seperti ini, maka Theo juga akan demikian. Dan memang, bagi Theo juga, dalam hubungan setiap insan itu selalu ada give and take yang tidak pernah luput.
“Baiklah. Aku akan memotong utangmu sebanyak sepuluh juta dari setiap permintaan yang aku minta,” jawab Theo.
Ran terdiam. Dia memiliki utang sekitar delapan puluh juta. Membayarnya dengan delapan permintaan yang akan diminta oleh pria di hadapannya ini terdengar lebih baik ketimbang dia harus bekerja banting tulang siang dan malam seperti yang sudah-sudah.
Theo mengulurkan tangan pada Ran. Dan Ran menatap uluran tangan itu, lalu menyambutnya.
“Dengan catatan, aku boleh menolak kalau permintaanmu itu di luar batas dan tidak sesuai norma.”
Theo menampilkan sengiran penuh arti. “Apa itu?”
Kening Ran mengernyit tipis. “Syaratnya?”
Lantas, Theo pun tertawa. “Aku tidak ingat menyebutkan sebuah syarat?” ucapnya.
Saat itu juga, kedua netra Ran kembali melebar. Dia langsung melepas tangannya dari genggaman resmi tangan kokoh milik pria di hadapannya ini.
“Maksudmu kau akan bersikap semena-mena?!” seru Ran marah, karena merasa telah dibohongi.
“Tergantung semena menurut takaranku itu seperti apa.”
“Aku—“
“Kalau kamu menolak aku akan melipatgandakan nominalnya,” sela Theo cepat sebelum Ran sempat berucap.
“Itu namanya pemerasan!”
“Yang kamu lakukan padaku tidak jauh lebih buruk, Ran,” sahut Theo. Walau di bibirnya tersemat senyuman tipis, tapi matanya memancarkan hal yang berbeda.
Apa aku sudah berhasil menyentil harga dirinya? Sehingga dia berubah kejam seperti ini? batin Ran.
“Tapi itu bukan salahku,” balas Ran dingin. “Saat seorang pria memutuskan, wanita berhak memilih!” lanjutnya.
“Sayangnya tidak di duniaku.”
“Berarti kamu tinggal di dunia yang primitif.”
“Tidak. Karena di duniaku hanya ada satu wanita yang aku putuskan untuk nikahi, yaitu kamu.”
Dalam hati Ran membatin, kalau Devi yang mendengar perkataan pria ini atau wanita-wanita lain pada umumnya, pasti akan langsung menganggapnya sebagai godaan dan ucapan manis, kemudian langsung terpesona pada siapa pun pria yang berkata seperti itu padanya.
Tapi tidak bagi Ran. Ucapan Theo itu terdengar seperti racun.
“Bagaimana, Ran?”
“….”
“Makan malamnya, kamu siap?” tanya Theo, tampak puas dengan kebisuan yang Ran tunjukkan.
Ran menghela napas. “Seperti yang kamu bilang, aku tidak punya pilihan,” jawabnya.
***
[to be continued]