Saat menyadari apa yang telah dia perbuat, Ran dengan gerakan refleks langsung berlutut di lantai dan mencoba untuk mengelap air di celana Theo menggunakan tisu. Ran menggosok-gosoknya dengan kasar karena merasa panik, dan hal itu justru membuat celana Theo kini kotor oleh jejak putih tisu yang larut dengan air.
Gerakan Ran lantas terhenti, matanya yang besar itu semakin melebar memandang ke kacauan yang telah dia buat semakin kacau. Dia bahkan tidak berani mendongakkan kepalanya dan manatap Theo.
Sementara itu, suara helaan napas berat terdengar. “Sekarang menjadi lima puluh lima juta, ditambah biaya laundry.”
Mata Ran membelalak lebar, amarahnya langsung tersulut, dan dia pun bangkit berdiri. “Tuan mencoba memerasku!” tukasnya.
Dengan tangan terlipat di d**a, Theo mendongak tenang menatap gadis yang tengah menatapnya berang ini.
“Apa kamu punya jalan keluar lain, Ran? Aku tidak mencoba memerasmu. Biaya laundry untuk pakaian-pakaian mahalku juga mahal.”
Ran sama sekali tidak terkejut. Sekalipun dia dibesarkan di keluarganya yang sederhana, tapi kurang lebih dia mengerti bagaimana orang-orang kaya seperti Theo ini bersikap dan menjalani hidupnya.
Theo berkata lagi, “Dan asal kamu tahu, aku memperlakukan semua pakaianku dengan penghargaan penuh.”
Tentu saja dia memperlakukannya dengan perhargaan penuh, karena harganya juga tinggi, batin Ran.
“Apa semua orang kaya seperhitungan itu?” tukasnya kemudian, tidak bisa menahan diri.
Theo menatap Ran serius. “Kalau kami tidak perhitungan, kamu pikir bagaimana kami bisa kaya?”
“Ah, ya. Ada benarnya juga,” gumam Ran.
Keluguan Ran itu membuat Theo tersenyum.
“Jadi …?” ucapnya, mengangkat sebelah alis.
Ran terdiam sebentar, kemudian tiba-tiba saja dia melepas kardigan yang ia kenakan.
Theo menatapnya bingung. Terlebih ketika Ran membasahi lengan kardigannya dengan air yang masih tergenang di meja, lalu Ran kembali berlutut di hadapan Theo dan mengusap noda putih bekas tisu itu.
Bersamaan dengan sentuhan tangan Ran di pahanya, Theo berjengit. Matanya berubah tajam.
“Apa yang kamu lakukan?!”
Ran kemudian mendongak, menatap Theo polos. “Aku memiliki alternatif lain, seperti yang Tuan minta.” Dia menunduk lagi dan mengusap berulang kali noda putih yang sudah setengah mengering itu. Upaya Ran berhasil, karena lama kelamaan noda putihnya hilang. Dia tersenyum senang.
Tapi Theo justru tampak sebaliknya. Napasnya memburu dan di otaknya sekarang, tergambar jelas adegan yang dia bahkan tidak sanggup ucapkan. Tapi pemandangan Ran di bawahnya dengan kilau wajah yang diterpa cahaya matahari sore, serta rambut panjangnya yang digerai mencuat ke mana-mana, bahkan ada yang mengenai paha Theo yang satunya.
Ini hanya sentuhan di luar, dan Ran melakukannya dengan lugu. Tapi Theo, sebagai seorang lelaki dewasa yang dalam masa primanya, tentu saja tersulut oleh kelakuan gadis ini, tidak peduli selugu apa pun.
Namun sebelum semuanya terlambat, sebelum dia menarik Ran ke sofa dan menciumnya, Theo menepis tangan Ran dan sedikit mendorong tubuh gadis itu sampai punggungnya terbentur dengan ujung meja.
Ran memekik terkejut sekaligus kesakitan.
“Ma-maaf!” ucap Theo cepat, menarik Ran kembali ke arahnya, tapi dia tidak sadar telah menggunakan tenaga terlalu besar sehingga Ran kini terjungkal ke depan.
“…!”
Karena posisi duduk Theo dengan kaki yang dilebarkan, kepala Ran jatuh di antaranya.
Keheningan yang memekakkan telinga langsung menguasai ruangan itu.
“R-ran, kamu baik-baik saja?” tanya Theo, suaranya entah kenapa terdengar gugup.
Ran mengaduh karena kepalanya terbentur sofa, kemudian saat dia mendongak, dia baru tersadar di mana posisinya.
Refleks Ran berteriak dan meronta membabi buta.
Namun keheningan kembali terjadi ketika tangan Ran yang menumpu di paha Theo—di bagian yang basah dan licin oleh bahan celana yang halus—terpeleset dan menyentuh s**********n Theo, tepat di bagian yang membesar dan terasa sangat keras.
“Aaaaaaakh!”
Suara teriakan Ran memekikkan telinga dan memenuhi seisi ruangan itu. Ran langsung berdiri, punggungnya kembali terbentu meja tapi dia tidak peduli, lalu dia berlari ke arah pintu dengan kecepatan yang dia bahkan tidak tahu dirinya miliki.
BRAK!
Pintu kembali ditutup oleh tangan yang melewati samping kepala Ran.
Hawa panas tubuh di belakangnya terasa dengan jelas, ditambah dengan embusan napas yang terasa menerpa tengkuk Ran, membuat Ran menahan napas dan jantungnya bertalu-talu sangat kencang.
Pikirannya tengah kacau sekali karena insiden memalukan tadi. Dan untuk apa sekarang Theo menahannya seperti ini?!
“Kamu pikir, kamu bisa kabur begitu saja? Setelah apa yang kamu lakukan?” bisik Theo di belakangnya, suaranya terdengar tajam dan berat.
Tubuh Ran langsung membeku. “Me-melakukan … apa?” tanyanya gugup.
“Melecehkanku seperti tadi,” jawab Theo.
Mata indah Ran yang berwarna hitam besar itu langsung membelalak sempurna. Tapi tidak hanya karena jawaban tidak terduga pria di belakangnya ini, tapi juga karena nada marah yang terdengar jelas di suara pria itu.
Ran memberanikan diri berbalik. “Siapa yang melecehkan siapa?!” serunya tidak terima. “Tuan yang lebih dulu mendorongku, lalu menarikku dengan kasar sehingga aku terjatuh! Hidungku saja sekarang masih terasa sakit, tahu!”
Theo menatap Ran tajam, kemudian menyadari bahwa hidung gadis itu memang sedikit memerah.
“Apa merahnya bisa menyebar ke seluruh wajah sampai telingamu?” tanya Theo, tidak mau kalah.
Ran memelototinya. “Tidak tahu! Tapi yang pasti aku sama sekali tidak melecehkan siapa pun dan aku tidak pernah berniat melakukannya! Apa lagi …,” Ran menarik napas sebelum melanjutkan, “… apalagi pria semacam Anda, Theo!”
Kini, giliran Theo yang membelalakkan mata.
Sementara Ran sudah hampir pingsan karena tekanan suasana di antara mereka, dan Ran segera ingin pergi dari ruangan ini, sejauh mungkin. Terutama dari pria di hadapannya.
Beberapa detik berlalu, tidak satupun dari mereka kembali bersuara. Dan selama itu Ran gunakan untuk menenangkan diri dan pikirannya.
“Dengar,” kata Ran memulai, “maafkan aku kalau apa yang aku lakukan tadi membuatmu merasa dilecehkan. Aku benar-benar tidak sengaja. Aku mohon maafkan aku dan biarkan aku pergi!”
Theo tersenyum miring. “Ke mana perginya gadis keras kepala dan dingin itu?” ucapnya, lalu menunduk, menatap mata Ran dalam-dalam. “Sekarang kamu tampak seperti kelinci penakut di bawah kuasa pemangsanya.”
Ran tidak ingin terpengaruh. Sungguh dia tidak ingin pria ini merasa berkuasa saat berada di sekitarnya. Tapi, sekarang, Ran akui, bahwa dia memang takut.
Bagaimana tidak? Dia belum sembuh total dari sakitnya kemarin, lalu dihadapai fakta bahwa dia memiliki hutang lima puluh juta, dan hari ini ditambah tiga puluh lima juta.
Ran tidak berpikir Theo bercanda. Pria ini memiliki muka serius yang meyakinkan. Kecuali ketika dia tersenyum miring dengan kerlingan di matanya dan tatapan penuh makna.
Satu lagi; Ran tidak mengenal Theo!
Jadi tentu saja Ran akan takut. Memiliki utang di pria antah berantah dengan jumlah fantastis, dan tahu bahwa pria itu berkuasa dan memiliki banyak uang serta bisa melakukan apa pun padanya.
Wajar kalau Ran takut.
“Ikut denganku malam ini, maka aku akan memaafkanmu,” kata Theo. Suaranya mengalun lebih tenang dari sebelumnya, tatapan tajamnya juga melembut.
Dan Ran pun menyadari, bahwa selain takut, dia juga merasa seperti tersihir oleh pria ini.
Atau tersihir oleh perasaan asing yang tidak dia mengerti.
***
[to be continued]