Lima puluh juta rupiah.
Ran tidak bisa mengenyahkan suara Theo dari kepalanya saat pria tersebut menyebutkan nominal utang yang harus Ran bayar.
Rasanya seperti di mimpi, mimpi buruk.
Dia langsung keluar dari rumah sakit itu sesaat setelah Theo pergi dari sana untuk suatu urusan penting di kantornya. Sebelum itu, Theo berkata pada Ran, “Kencan kita hari ini sayangnya harus dibatalkan. Untuk itu, cepatlah sembuh supaya aku bisa membawamu jalan-jalan. Oke?”
Ran melengos ketika Theo mengucapkan itu. Dia rela untuk sembuh lebih lama kalau itu artinya dia akan bisa menghindari pria tersebut.
Tapi sayangnya, tubuh Ran bereaksi lebih cepat, atau mungkin obatnya yang demikian. Karena dua hari setelah insiden pingsan itu, Ran sembuh total. Satu malam di rumah sakit, dan malam lainnya dia habiskan di rumah.
Semenjak itu juga, Theo tidak pernah datang menemuinya.
Tapi baru saja Ran mendapatkan sebuah pesan dari nomor tidak dikenal.
[Temui aku di ruangan manager sore nanti.]
Theo tahu bahwa hari ini Ran sudah mulai masuk kerja. Dan entah apa yang akan pria itu katakan nanti padanya. Kalau dia membahas utang, Ran akan meminta keringanan lebih.
Karena kejadian kemarin juga, Ran jadi tidak enak menatap rekan-rekan kerjanya.
Desi, salah seorang pelayan yang lumayan dekat dengan Ran menceritakan setiap detail. Bagaimana Ran jatuh, kemudian dikerumuni orang, dan saat kegaduhan itu terjadi tiba-tiba saja sosok yang tidak diduga-duga datang, kemudian seperti pangeran berkuda putih di negeri dongeng, sosok itu menyelamatkan Ran.
Ran dibuat hampir berdecih muak. Tapi di satu sisi dia juga tidak bisa diam saja ketika kesalahannya ada di depan mata. Tempat di mana seharusnya guci mahal seharga puluhan juta itu sebelumnya berada, kini tampak sangat janggal dan berulang kali Ran menahan diri untuk tidak menoleh ke sana supaya dia bisa fokus dan tidak mengingat-ingat mengenai masalahnya.
Sore datang dengan begitu cepat. Ran sedang berganti pakaian di ruangan karyawan wanita bersama Desi.
“Gimana keadaan kamu sekarang, Ran?”
Ran memaksa senyum tipis. “Aku baik-baik saja.”
“Berarti besok kamu udah mulai bekerja seperti biasa ‘kan?” tanya Desi lagi. Hari ini, Ran memang diberikan kompensasi karena keadaannya yang kurang sehat, sehingga tidak banyak yang dia kerjakan.
Ran mengangguk. “Semoga.”
“Bagus deh. Oh iya, tadi Pak Manager manggil kamu. Jangan-jangan mau bahas masalah guci itu. Ih, aku kalau jadi kamu ngeri deh. Itu kan guci mahal banget. In fact, semua barang pajangan di restoran ini memang mahal sih, makanya aku hati-hati banget kalau mau bersih-bersih.”
Ran hanya mampu menghela napas mendengar ucapan Desi itu. “Iya,” sahutnya singkat.
Kemudian Desi menepuk bahunya. “Good luck ya, Ran! Semoga Pak Manager gak cerewet-cerewet banget sama kamu.” Desi cengengesan, lantas berlalu pergi.
Saat Ran sendiri di sana, suara helaan napasnya terdengar semakin keras.
***
Pintu diketuk sekali. Theo yang tengah duduk di sofa dengan ponsel di tangannya itu menaikkan tatapan ke arah pintu tersebut, menunggu, namun tidak ada suara apa pun lagi.
Theo tersenyum tipis. Itu cara yang janggal untuk mengetuk pintu, batinnya. Karena sangat jelas siapa pun yang berada di luar sana sedang merasa enggan dan setengah hati melakukannya.
Saat pintu dibuka, senyuman Theo melebar melihat sosok yang telah dia tunggu-tunggu berada di hadapannya.
“Tuan,” kata Ran dengan kalem dan ketenangan yang terkadang membuat Theo terusik.
“Ran. Silakan masuk!” pintu dibuka Theo semakin lebar, mempersilakan Ran masuk ke dalam, kemudian menutup kembali pintu itu rapat-rapat. “Dan tolong, kamu harus membiasakan diri memanggil Theo, jangan Tuan lagi.”
Ran tampak tidak setuju dan ekspresi di wajahnya semakin rumit. “Tuan,” ucapnya kemudian.
Theo tidak tahan untuk tidak terkekeh dibuatnya, karena sikap keras kepala Ran ini entah kenapa membuatnya terhibur.
“Ayo duduk dulu,” kata Theo.
Ran pun duduk di tempat sebelumnya Theo duduk. Sementara itu, Theo pergi mengambil air minum untuk disuguhkan kepada Ran, lalu duduk di hadapannya.
“Jadi, bagaimana keadaan kamu?” tanya Theo berbasa-basi.
Tapi Ran sedang dalam suasana hati yang tidak baik untuk itu, dia sangat gugup di dalam dan takut akan kenyataan yang akan dia hadapkan.
“Katakan saja, Tuan, berapa banyak yang harus aku bayar dan kapan jatuh temponya. Aku akan berusaha untuk membayar ganti rugi guci itu dan biaya rumah sakit kemarin, secepatnya.”
Sesaat setelah mengatakan itu, Ran mengutuk dirinya sendiri di dalam. Oh, betapa arogannya dia terdengar. Secepatnya? Ran bahkan kualahan untuk membayar biaya kontrakan bulan depan. Bagaimana bisa dia mengatakan secepatnya.
Theo lagi-lagi terkekeh. “Aku senang mendengarnya, Ran. Kalau lidahmu sudah setajam ini, itu artinya kamu sudah sembuh.”
“Seolah dia pernah merasakan lidahku saja,” gerutu Ran pelan, tanpa maksud apa pun. Dan Theo yakin Ran mengatakannya dengan pikiran lugu. Tapi sayangnya Theo tidak.
Seringai menggoda bermain di bibirnya. “Oh, kamu mau aku mencobanya?” kata Theo.
Ran mengernyit tidak mengerti. “Mencoba apa maksud Tuan?”
Tatapan Theo turun ke arah bibir Ran. “Merasakan lidahmu. Tidak masalah kalau kamu mau aku melakukannya sekarang.”
Satu detik ….
Dua detik ….
Tiga—
Ran tersentak oleh kesadaran apa yang pria itu maksud. Dia refleks menutup mulutnya dan menjauh sampai punggungnya menyentuh sandaran sofa. “Jangan macam-macam!” cercanya dengan nada penuh peringatan.
Theo menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa, Ran? Kamu bertindak seperti seorang gadis polos saja.”
Theo tidak pernah berpikir Ran adalah gadis yang seperti itu. Dengan sikap keras kepalanya dan ucapannya yang selalu tajam, Ran pasti kesusahan dalam mempertahankan hubungan dengan pria mana pun. Tapi parasnya yang cantik di atas rata-rata itu, memang patut dikagumi oleh siapa pun.
Dan karena ucapannya itu, alhasil Theo mendapatkan pelototan tajam oleh Ran.
Ran tiba-tiba saja bangkit. “Kalau Tuan mau membahas ini. Lebih baik aku pergi. Asal Tuan tahu, aku juga termasuk orang yang sibuk!”
Namun sesaat sebelum Ran mengambil langkah pergi, Theo menyentuh tangannya dan menahan Ran. Ketika Ran berbalik, pria itu memberikannya senyuman permintaan maaf.
“Aku tidak bermaksud, Ran. Maafkan aku. Ayo, kembali duduk.”
Theo kemudian membawa Ran kembali ke sofa dan kini mereka duduk berdampingan. “Jujur saja, aku sedikit tersinggung karena kamu telah menolakku barusan,” kata Theo sembari menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas kosong di hadapan Ran. “Saat kita menikah nanti, aku harap kamu mau lebih menerimaku.”
Dengan gerakan yang sangat kilat, Ran mendorong bahu Theo, bermaksud menyalurkan kefrustrasiannya karena ucapan pria itu yang lagi-lagi membahas pernikahan yang tidak pernah—bahkan sampai kapan pun—Ran setujui. Tapi yang tidak Ran sangka, perlakunnya itu justru membuat gelas yang baru terisi setengah air itu tumpah, tersebar di meja, jatuh ke lantai, dan yang lebih parah; mengenai celana Theo.
“Setelan ini … tiga puluh juta,” ucap Theo, tertegun.
Ran tidak lebih buruk. Dia merasakan jantungnya nyaris dibuat berhenti. “Aku … kacau!” gumamnya kemudian dengan mata membelalak lebar.
***
[to be continued]