Bagian 17 Aku mengerjabkan mata perlahan ketika sesuatu yang hangat menepuk-nepuk pipiku. Samar-samar aku bisa melihat wajah seorang laki-laki menunduk ke arahku—yang wajahnya tidak terlihat jelas karena rasa pusing menghantam kepalaku hingga terasa berdenyut menyakitkan. “Bangun dan buatkan aku makan malam.” Kesadaranku kembali sepenuhnya ketika suara dingin Kaivan menyeru tepat di samping telingaku. Rasanya aku ingin melempar laki-laki sialan ini dengan sesuatu yang keras—seperti vas bunga di atas nakas, misalnya? Karena Kaivan benar-benar menyebalkan—jenis manusia paling langka dengan tingkat kepekaan minus seratus. Bukankah seharusnya dia bertanya, Dean, apa kamu baik-baik saja? Atau, Aku punya sup hangat untukmu, semoga cepat sembuh. “Kenapa gak deliver