BAB 9
“Kenapa kamu enggak kasih tahu soal tanggal pernikahan kita?” aku langsung bertanya sedetik setelah Kaivan melajukan mobil. Laki-laki itu melirikku dari kaca depan sambil mengerutkan kening.
Ya, aku memang memilih duduk di jok belakang daripada berada di samping Kaivan. Aku masih merasa kesal dengannya.
“Aku pikir kamu sudah tahu dari Tante Farah.”
Aku mendengus. Sebenarnya... pernikahan macam apa yang akan kami jalani? Bahkan tidak ada acara lamaran resmi seperti pasangan-pasangan lain. Dan Kaivan juga tidak pernah melamarku secara pribadi! Sialan. Memangnya aku ini barang yang bisa ia nikahi seenaknya?
Walaupun awalnya aku menolak, tapi aku juga ingin seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Melihat Kaivan yang tidak peka sama sekali membuatku ingin menjatuhkan pria itu ke dalam jurang.
“Dean, kamu marah ya?” Kaivan berujar ragu, ia bahkan tidak berani menatapku. Aku bersedekap dan memalingkan wajah, memilih menatap jalanan daripada memandang laki-laki itu.
“Dean maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu kalau...”
“Sssttt...” jari telunjukku terangkat ke depan bibir untuk menghentikan ucapan pria itu. Dari kaca depan aku bisa melihat wajah Kaivan yang berubah murung.
Aku menghela napas. Kenapa aku merasa tidak tega melihat wajah tampannya yang memelas? Lagipula... hal ini bukan sepenuhnya salah Kaivan. Salahku juga kenapa aku tidak bertanya pada mama soal ini.
Kemudian, perkataan Ghea tadi terlintas di kepalaku. Buru-buru aku maju ke depan dan duduk di samping kemudi. Kaivan sedikit terkejut melihat tindakanku tapi kemudian ia memilih tidak berkomentar dan tetap melajukan mobil.
Aku memiringkan tubuh untuk melihat wajah Kaivan dengan jelas, “Aku akan memaafkanmu asalkan kamu mau jujur padaku.”
Kaivan menoleh. Keningnya berkerut dalam. “Soal apa?”
“Kata Ghea, peternakan sapi itu bukan punya Pamanmu. Tapi milikmu sendiri. Apa itu benar?” aku menatapnya menyelidik, ia terlihat salah tingkah dan tidak nyaman dengan duduknya.
“Aku... eh, sebelumnya itu memang milik Pamanku. Tapi semenjak kematian Paman satu tahun lalu, peternakan itu dibalik nama jadi milikku karena sepupuku tidak mau mengurusnya.” Kaivan menatapku takut-takut sebelum fokus pada kemudi dan melanjutkan, “bagiku peternakan itu masih punya Paman dan aku hanya diberi tugas untuk menjaganya.”
Aku mengangguk. Ya, alibinya terdengar masuk akal dengan tingkahnya yang kelewat polos itu. Aku melanjutkan introgasiku. “Lalu, kamu juga punya pabrik keju dan yogurt kan?”
Kaivan sedikit mengerutkan kening, kemudian menggeleng. “Itu juga milik Paman.”
Aku menahan tawa susah payah. Bodoh. Kenapa Kaivan terlalu bodoh dan polos? Membuatku semakin bernafsu untuk menjedotkan kepalanya ke tembok saja!
Kenapa dia bisa berfikir seperti itu? Peternakan dan pabrik-pabrik itu sudah sepenuhnya milik Kaivan. Kenapa dia tetap menyangkal? Dasar makhluk aneh.
Tapi, entah kenapa aku malah menyukainya? Bagiku, Kaivan lebih terlihat seperti seseorang yang tidak mau memamerkan harta yang ia yakini bukan miliknya. Kaivan sungguh terlalu polos untuk mempunyai pikiran picik dengan menggunakan harta untuk dipamerkan.
“Aku sudah berkata jujur. Kamu... memaafkanku kan?” Kaivan menoleh, maniknya berbinar penuh harap.
“Hm.” aku mengangguk singkat, tidak bisa menahan sudut bibirku untuk terangkat membentuk senyuman. “Aku memaafkanmu, Kaivan.”
Kaivan tersenyum lebar. “Terimakasih, Deandra.”
***
Aku mengerjabkan mata saat cahaya lampu menyorot terang. Seperti orang linglung, aku mulai menatap ke sekeliling. Ternyata aku masih berada di mobil Kaivan! Sialan. Apa aku tidak sengaja tertidur tadi?
Dan kenapa Kaivan tidak membangunkanku?
Buru-buru aku merapikan baju dan membuka pintu mobil. Sorot lampu yang tadi membangunkanku ternyata berasal dari dalam sebuah gedung pencakar langit. Pandanganku mengedar, dan bodohnya aku karena baru menyadari jika hari sudah beranjak malam.
Aku ingin menangis. Kenapa Kaivan tega sekali membiarkan aku sendirian di mobil? Bagaimana jika ada penjahat yang akan menculikku tadi?
Bunyi ponsel dari tas tanganku membuyarkan lamunan. Buru-buru aku mengambil benda pipih itu dan mendapati nama Kaivan terpampang jelas di sana.
“Kenapa kamu meninggalkanku?” aku sedikit mengeraskan suara saat panggilan tersambung, sengaja menunjukkan kekesalanku padanya.
“Dean ini Mama. Kok kamu teriak-teriak gitu sih.” eh? Aku mengecek kembali layar ponselku dan menemukan nama Kaivan masih tercetak jelas di sana.
Bagaimana bisa mama yang mengangkat telepon? Buru-buru aku mendekatkan ponselku ke telinga.
“Dean gak tahu kalau itu mama,” aku berujar dengan nada bersalah, “maafin Dean ya?”
“Jadi selama ini kalau sama Ivan kamu suka bentak-bentak ya?”
Aku menggigit lidah. “Gak gitu Ma, aku cuma lagi kesel aja sama Kaivan karena dia ninggalin aku sendiri di mobil.”
“Hm. Sekarang kamu masuk ke gedung. Mama ada di rooftop. Cepetan.”
'Klik'
Sambungan terputus. Aku menatap ponsel dengan dahi berkerut. Mama ada di rooftop? Bagaimana bisa? Tanpa membuang waktu lagi, aku segera mempercepat langkahku memasuki gedung. Jika tidak cepat-cepat, aku yakin mama akan semakin marah padaku.
Berbagai pertanyaan masih mengganjal di kepalaku saat aku sudah menaiki lift menuju lantai atas. Apa mungkin aku melewati sesuatu saat tertidur tadi?
Ah, Dean bodoh! Salah sendiri punya nafsu tidur yang melebihi koala!
'Ting'
Pintu lift terbuka. Aku memandang ke sekeliling. Di sudut ruangan itu ada cahaya terang di antara semuanya yang serba remang-remang. Aku merasakan bulu kudukku berdiri saat menyadari suasana yang hening tak biasa. Buru-buru aku beranjak ke sana dan menemukan sebuah anak tangga melingkar. Sepertinya setelah melewati ini aku akan segera sampai di rooftop tempat mama menungguku.
Saat di anak tangga terakhir, langkahku mendadak beku. Di depanku kini, terhampar banyak lilin warna biru membentuk sebuah jalan setapak. Sedang disepanjang jalannya, ditaburi kelopak mawar merah.
Mulutku terbuka. Aku mengedarkan pandangan dan menemukan sebuah layar besar di sudut dengan tulisan 'will you marry me, Deandra?' tercetak jelas.
Eh?
Aku mengerutkan kening. Kenapa mama membuat semua ini? Apa maksudnya? Dua detik setelahnya, aku mendengar alunan lagu from this momen dengan gesekan biola dan piano. Menoleh ke sumber suara, aku melihat sekelompok pemain orkestra sedang memainkan musik.
“Dean...”
Aku berkedip saat suara yang begitu aku kenali merayapi pendengaran. Aku menoleh. Tepat di ujung lilin-lilin indah yang membentuk jalan itu, aku bisa melihat Kaivan berdiri dengan setelan jas warna cream yang melekat begitu sempurna di tubuhnya. Rambut yang biasa ia sisir rapi kini sengaja diberi gel. Sedang kedua tangannya menggenggam sebuket mawar merah.
“Apa maksudnya ini?” aku berujar lirih, bahkan aku sendiri tidak yakin jika Kaivan mendengar ucapanku.
Pria itu terlihat melangkah ragu, tapi senyumnya tidak meluntur sedikit pun. Saat Kaivan sudah sampai dua langkah di depanku, ia berujar,
“Maaf karena telat untuk melakukan ini, Dean.” sorot manik biru itu tampak bersalah, “tapi, izinkan aku untuk membayarnya dengan bunga ini.”
Kaivan mengulurkan buket mawarnya padaku. Kelereng biru menyorot penuh pengharapan. “Dean, kamu mau jadi istriku kan?”
Aku tertegun, menatap buket mawar itu dan wajah Kaivan bergantian. Sebenarnya aku ingin terawa saat mendengar kalimat Kaivan yang tidak ada kesan romantis sama sekali.
Tapi... yang baru saja Kaivan lakukan itu... melamarku ya? Bukannya undangan telah tersebar? Bagaimana jika aku berkata jika aku menolak lamaran ini? Apa kami tidak jadi melaksanakan pernikahan? Ide itu sepertinya bagus.
Tapi...
Saat menatap Kaivan, aku melihat dari balik punggungnya, mama sedang menatapku tegang sekaligus penuh harapan, seutas senyuman mama lontarkan saat mata kami bertemu. Dress warna cokelat muda yang ia kenakan membuat penampilan mama jadi beberapa tahun lebih muda. Sedang di sampingnya, tante Rita merangkul bahu mama menenangkan.
Setitik air mata jatuh di pipiku. Mama benar-benar berharap dengan pernikahan ini, dan aku tidak akan pernah sanggup melihatnya kecewa. Kualihkan lagi pandanganku pada Kaivan yang masih menunggu dengan tangan terulur. Sorot penuh binar dan harapnya hampir luntur. Pasti pria itu merasa cemas karena aku tak kunjung menerima bunganya.
Perlahan, tanganku mulai terulur. Ketulusan dan kebaikan pria ini sudah cukup banyak menjungkirbalikkan hidupku. Aku mengulas senyum tipis saat buket itu benar-benar sudah berada dalam genggamanku.
Kaivan balas tersenyum lebar. Aku hampir terhuyung mundur saat tiba-tiba lelaki itu memelukku erat. Aku tertawa kala Kaivan menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri seperti anak kecil.
Aku harap, semua keputusan yang aku ambil hari ini sudah benar-benar tepat. Bersama Kaivan, aku akan mencoba memberikan hidupku seutuhnya.
“Terimakasih, Dean. Aku benar-benar bahagia.”
Aku mengangguk. Kaivan merenggangkan pelukannya dan menangkup kedua pipiku dengan senyuman tulus. Aku menatap bibir tipisnya sejenak sebelum kemudian mengalungkan kedua lenganku pada lehernya.
Kaivan sedikit terkesiap. Tapi sebelum dia mengeluarkan protes, bibirku sudah membungkam miliknya, mencecap kemanisan yang ditawarkan bibir merah muda itu.
Aroma mint bercampur cokelat yang khas menguar saat aku memperdalam ciuman kami. Kaivan hendak memundurkan kepalanya, tapi dengan sigap aku menahanya dan menikmati bibir itu lebih lama lagi. Dan, Kaivan tidak membalas ciumanku!
Sialan. Kenapa aku jadi seperti jalang sekarang?
Buru-buru aku melepaskan rangkulanku dan mengambil napas sepuasnya. Kulihat Kaivan juga melakukan hal yang sama. Dan kini, di antara cahaya lampu yang meremang dan alunan musik romantis, aku bisa melihat wajah Kaivan tampak merah karena malu.
Aku tersenyum puas. Akhirnya aku bisa membalasmu juga, Kaivan.
“Kenapa kamu melakukan itu?” Kaivan bertanya setelah berhasil mengendalikan napas. Nada keterkejutan terdengar jelas.
Aku menggerlingkan mata ke arahnya. “Memangnya kenapa? Bukannya dua minggu lagi kita menikah?”
Kaivan mengalihkan wajah, tampak salah tingkah, kemudian menjilat bibir bawahnya sekilas dan menatapku ragu. “Dean, kenapa hari ini bibirmu seperti rasa strawberry?”
Aku tertawa kencang. Mengabaikan kalimat polosnya, aku meninggalkan Kaivan dan beranjak menuju mama dan tante Rita yang sedang menunggu di meja makan yang sudah disediakan di seberang sana.
Aku tersenyum kecil saat mengingat lagi tentang si polos itu. Kaivan, bisakah aku menitipkan hatiku padamu?
****