BAB 8
Aku mengurut ujung hidungku pelan, meredakan rasa nyeri di kepalaku. Di depanku kini, kertas-kertas desain berhamburan memenuhi meja.
Ini sudah dua minggu lebih dan aku nyaris seperti makhluk purba yang tidak pernah keluar dari gua. Aku benar-benar membutuhkan udara segar untuk menjernihkan pikiranku sekarang. Kulihat jam yang tergantung di dinding, pukul 12.30. Ah, pantas saja perutku mulai meronta sejak tadi.
Suara ketukan pintu membuatku menoleh. Buru-buru aku merapikan penampilanku sejenak dan mengambil tas tangan warna pastel di atas sofa. Setelah merasa siap, aku beranjak untuk membuka pintu ruanganku. Mungkin saja yang datang itu Ghea dan aku bisa langsung mengajaknya pergi jalan-jalan.
Dan, sosok yang berdiri menjulang di depanku membuatku terpaku.
“Hallo Dean.” sosok itu tersenyum manis. Di kedua tangannya terdapat dua plastik penuh barang entah apa isinya. Aku membuka pintu semakin lebar,
Sudah hampir dua minggu ini aku bolak-balik ke rumah sakit untuk mengunjungi Kaivan. Dan beberapa hari belakangan ini aku begitu sibuk dengan pekerjaanku, jadi tidak sempat menjenguk pria itu lagi.
Dan... saat melihatnya berdiri di sini dan tampak baik-baik saja, aku merasa sedikit... terkejut.
“Masuk. Kaivan,” ujarku setelah berhasil mengendalikan diri. Hari ini Kaivan mengenakan sweater abu-abu kebesaran dan celana bahan warna hitam. Yeah. Tampak cupu seperti yang terakhir kali aku lihat.
“Bagaimana lukamu?” aku mengikuti Kaivan untuk duduk di sofa. Ia menaruh plastik itu ke atas meja.
“Sudah sembuh. Lagipula lukanya tidak terlalu dalam.” Kaivan membenarkan letak kacamatanya, kemudian membuka bungkus plastik yang ia bawa.
“Aku membawakan makanan kesukaanmu. Kata tante Farah kamu suka kepiting saus tiram.” ia membuka kotak sterofoam, menampakkan kepiting berwarna kemerahan dengan baluran saus yang menggoda, sedang aromanya sendiri langsung menguar memenuhi ruangan.
Aku menelan ludah susah payah. Kaivan benar-benar bisa menggodaku.
“Tidak perlu repot-repot,” ujarku, berusaha menjauhkan pandangan dari sang kepiting penggoda. Kaivan membuka kotak sterofoam satunya lagi, menampilkan seporsi bubur ayam yang masih hangat.
“Tidak apa-apa Dean. Anggap saja ini hadiah untukmu karena sudah menemaniku di rumah sakit.” ia menggeser kepiting besar itu ke arahku, kemudian tersenyum kecil, “selamat makan, Dean.”
Oke, bukankah tidak baik menolak rezeki? Dan sekarang aku merasa jika perutku mulai meronta meminta di isi. Aku mengangguk singkat dan mulai mencomot kepiting kesukaanku. Sensasi pedas bercampur gurihnya saus tiram menyambut lidahku pertama kali. Ini benar-benar enak!
Aku melirik Kaivan yang sedang memakan bubur yang ia bawa. Apa sehabis operasi dia belum bisa makan yang berat-berat? Aku jadi merasa bersalah. Rasanya tidak adil jika aku bisa makan sesuka hatiku dan dia hanya boleh menelan bubur. Dia seperti itu karena aku kan?
“Masih belum bisa makan yang berat-berat ya?” akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutku.
“Tidak,” Kaivan menggeleng singkat, kemudian tersenyum kecil. “Aku hanya sedang ingin makan bubur.”
Aku mengambil napas lega. Syukurlah jika Kaivan sudah tidak merasa kesakitan lagi. Seminggu lebih melihat pria itu berbaring dengan wajah pucat membuatku merasa bersalah sekaligus kasihan. Dan, mengenai siapa dalang dari penembakan itu aku masih belum tahu siapa, tante Rita maupun Kaivan seperti enggan untuk membahas hal itu lagi.
Tapi rasanya tidak adil jika penjahat itu terus berkeliaran disaat Kaivan hampir meregang nyawa.
“Kenapa beberapa hari terakhir ini kamu tidak menjengukku?” aku mengangkat wajah, menemukan Kaivan yang menatapku penuh tanda tanya dari balik kacamata kunonya.
“Eh,” aku menjilat jari telunjukku yang penuh saus, mengambil air mineral yang juga Kaivan belikan dan mennegukknya sebelum berujar, “Aku sibuk, jadi tidak sempat menjengukmu, maaf.”
“Tidak apa-apa, lagipula aku sudah sembuh sekarang.” Kaivan tersenyum kecil dengan binar polos yang sama. Aku hanya mengangguk singkat dan melanjutkan makanku.
“Dean...”
“Hmmm?” aku masih sibuk menggigit cangkang kepiting untuk mengeluarkan isinya. Aku mengerutkan kening saat melihat Kaivan datang dari arah meja kerjaku sambil membawa sekotak tisu di tangannya.
Kaivan menunduk ke arahku. Manik birunya menyorot geli. Aku yang masih terpaku dengan keindahan bola matanya hanya bergeming saat melihat lelaki itu mengusapkan tisu ke sudut mulutku. “Kamu kalau makan belepotan ya?”
Kaivan tersenyum tipis dan kembali duduk. Dan aku merasa ingin melarikan diri ke kutub utara. Buru-buru aku memalingkan wajah untuk menyembunyikan rona di pipi. Sialan. Kenapa makhluk semacam Kaivan bisa semanis ini?
“Aku sudah selesai.” buru-buru aku mengambil bekas kotak makanan kami dan membuangnya di tempat sampah samping wastafel, sekaligus mencuci tanganku yang kotor.
Aku melihat pantulan diriku di cermin, sisa-sisa rona merah masih membekas di sana. Aku menepuk pipiku kesal sebelum mengeringkan tangan dan sebagian pipiku dengan handuk bersih. Bisa-bisanya Kaivan melakukan ini padaku! Lihat saja, lain kali aku akan membuatnya gugup juga sepertiku!
Saat aku kembali, Kaivan sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung plastik satunya.
“Aku ingin mengembalikan ini,” ujarnya.
Aku mengerutkan kening saat dia mengeluarkan satu set pakaian pria dari sana; sebuah kaus polo dan celana jeans.
Ah, aku baru ingat jika aku pernah meminjamkan baju milik Petra pada Kaivan waktu itu. Aku mengangguk paham dan mengambil pakaian dari uluran tangan Kaivan. Dan, aku malah bertanya-tanya. Dari sekian banyak media pembungkus dijaman modern seperti ini, kenapa Kaivan memilih kantung plastik warna hitam?
Kaivan itu, benar-benar susah ditebak. Tingkah polosnya selalu membuatku tidak habis pikir. Tapi, memang bukan Kaivan namanya jika tidak penuh kejutan.
Aku menaruh pakaian itu di sofa dan kembali duduk di depan Kaivan.
“Dean... jika aku boleh tau, ada hubungan apa kamu dengan Petra? Kenapa kamu meminjamkan bajunya padaku?” aku melirik Kaivan yang sedang menunduk sembari meremas kedua tangan. Maniknya berpendar ke segala arah, tidak berani menatapku. Aku menaikkan alis, seutas senyum geli tidak bisa kutahan lagi. Kaivan... benar-benar terlihat menggemaskan dengan ekspresi seperti itu.
Mengingat aku meminjamkan baju dari laki-laki lain, pasti membuat Kaivan berpikiran yang tidak-tidak. Bisa jadi dia berfikir jika aku ini jalang milik Petra dan meminjamkan pakaian Petra padanya. Tapi, orang sepolos Kaivan, aku tidak yakin jika pemikiran itu bahkan tidak pernah terlintas di otaknya.
“Jangan khawatir Kaivan, Petra bukan orang yang patut kamu cemburui,” ujarku menyemangatinya. Ia mengangkat wajah, dan aku bisa melihat dirinya mengerutkan kening bingung.
“Jadi, dia siapa? Kakak lelakimu?”
Aku mengangguk singkat. “Ya, dia kakakku.”
Sekilas, aku bisa melihat tatapan terkejut Kaivan. Tapi kemudian ia tersenyum dan mengangguk. “Kenapa aku tidak pernah melihatnya?”
Aku menggedikkan bahu. “Dia bekerja di Paris, mungkin sekitar dua minggu lagi dia pulang ke indonesia.”
Sebenarnya, aku tidak boleh sembarangan membuka identitas Petra yang sebenarnya adalah kakakku pada siapa pun. Mama benar-benar melarangku untuk melakukan itu. Tapi, bukankah ini Kaivan? Orang yang sangat dipercaya mama untuk menjadi calon suamiku kan?
Aku menegaskan diri bahwa semua masih akan berakhir baik-baik saja jika aku memberitahu Kaivan mengenai rahasia ini. Dan, lagipula... cepat atau lambat Kaivan juga akan tahu kan?
“Ooh.” Kaivan mengangguk singkat. Sedetik, tatapannya berubah sedikit takut bercampur ragu. “Apa dia baik, Dean? Apa dia akan menyukaiku?”
Aku menahan tawa. Kaivan benar-benar terlihat seperti anak kecil yang ketakutan saat akan bertemu gurunya untuk pertama kali. “Tentu saja Petra akan menyukaimu,” ujarku, menepuk bahunya menenangkan.
Kaivan ikut tersenyum dan mengangguk kemudian. Ya, Petra tidak pernah mengekangku selama ini. Jika mama berkata bahwa aku boleh dekat dengan seseorang, maka Petra akan menurut tanpa banyak tingkah.
Dan, melihat tingkah Kaivan yang selalu saja bisa membuatku tersenyum geli... sepertinya aku mulai sedikit menyukainya.
***
“Hallo Ma,” aku menjepit ponselku di antara telinga dan bahu. Sedang kedua tanganku sibuk merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.
Kaivan sudah pulang sejak tiga jam lalu, dan aku kembali sibuk berkutat dengan pekerjaanku.
'Mama udah sebar undangannya kemarin Dek, kamu tinggal terima beres aja. Teman-temanmu masih sama kan?'
Aku mengerutkan kening, sedang kedua tanganku mulai menumpuk kertas-kertas itu sesuai urutannya. “Undangan apa sih Ma? Kan Dean gak ulang tahun.”
Mama terdengar menghela napas dan berdecak gemas di seberang sana. Aku menyembunyikan tawaku. Ah, pasti ekspresi mama terlihat sangat menggemaskan sekarang.
“Kamu ini gimana sih Dek? Ya undangan pernikahanmu dengan Kaivan lah. Ulang tahunmu kan sudah lewat.”
Gerakan tanganku langsung terhenti di udara. Keterkejutan luar biasa memenuhi diriku saat ini. Lututku terasa lemas dan aku bahkan nyaris kehilangan kemampuanku untuk berdiri. Apa tadi? Undangan pernikahanku dan Kaivan?
'Halo Dean, kok gak jawab sih?'
Aku menghiraukan mama yang masih terdengar khawatir di ujung telepon. Aku bahkan tidak tahu kapan tanggal pernikahanku dan mama sudah menyebar undangan?
“Kenapa mama gak bilang ke Dean dulu sebelum nyebar undangan?” aku berhasil menemukan kembali suaraku walau aku yakin pasti terdengar aneh.
“Biasanya juga kamu selalu setuju sama mama. Kenapa sekarang nanya gitu? Nanti kamu coba lihat deh undangannya, pasti kamu suka.”
Kenapa aku selalu jadi anak yang penurut? Kenapa aku tidak pernah bisa melawan atau hanya sekedar membantah perkataan mama? Ini semua adalah tentang masa depanku. Seharusnya aku bisa memutuskan pilihanku sendiri. Tapi, kenapa tetap tidak bisa?
Tenggorokanku tercekat, aku mengambil napas dalam sebelum kembali berucap. “Ya udah. Nanti Dean lihat ya? Bye Ma.”
Kumatikan ponsel dan meluruhkan tubuhku ke lantai. Aku bingung. Bagaimana bisa mama bertindak tanpa memberitahuku? Dan lagipula...Kaivan belum benar-benar pulih kan? Kenapa jadi terburu-buru seperti ini?
Aku menenggelamkan wajahku pada lipatan lutut. Dan sekarang, aku benar-benar tidak punya alasan lagi untuk menghindari pernikahan ini.
***
Mengambil napas dalam, aku mulai melangkah memasuki rumah. Pasti sekarang ini mama sudah menungguku dengan senyuman lebarnya di ruang tengah.
Dan benar saja, saat langkahku sampai, beliau langsung berdiri dan memelukku erat. Aku membalas pelukannya dan mencium kedua pipinya singkat.
“Sebagian besar udangannya sudah mama sebar. Tapi mungkin kamu mau memberikan sendiri undangan yang tersisa pada Ghea dan teman dekatmu yang lain?” aku menurut saat mama menggandeng lenganku untuk duduk di sofa.
“Nanti Dean ingat-ingat dulu.”
Di depanku, puluhan undangan dengan paduan warna perak dan biru muda mendominasi meja. Aku mengambil salah satu dan mengamatinya. Mama memang satu selera denganku. Undangan ini tampak sederhana sekaligus menampilkan sisi elegan dengan warna perak sebagai tinta dan polanya.
“Bagus, Ma. Selera Mama memang selalu sama kayak aku.” aku mengangguk singkat dan mulai membuka bagian dalam surat undangan itu. Dua buah nama terukir dengan huruf indah di sana,
'Kaivan Wijaya Kusumadilaga.'
&
Deandra Lavenia Devi.
Aku tersenyum saat mama mengusap bahuku menenangkan. Kututup kembali undangan itu dan menaruhnya ke atas meja. Aku mengalihkan seluruh atensiku pada mama. Kulihat beliau menatapku dengan binar bahagia yang terlihat jelas.
“Dean bahagia kalau mama juga bahagia.” aku mengelus kerutan di wajah mama perlahan, mengamati tiap lekukan wajahnya lekat. Wanita yang sudah melahirkanku ini, akan aku jaga perasaannya agar selalu bahagia. Walau itu harus mengorbankan kebahagiaanku sekalipun. Bagiku kebahagiaaan mama adalah yang terpenting.
“Kalau saja papamu masih hidup, pasti dia bahagia liat putri kesayangannya akan segera menikah.” sorot mata mama berubah sendu. Tiap kali membicarakan ayah, pasti mama akan selalu sedih seperti ini.
Aku memeluknya erat saat air mata mulai menuruni pipinya. Sejak kematian ayah sepuluh tahun silam, kehidupan kami berada dalam masa-masa paling sulit. Mama yang terpuruk dan Petra yang selalu membuat masalah karena tidak terima dengan kepergian ayah. Sedangkan aku sendiri yang saat itu baru memasuki kelas satu SMP hanya bisa mendukung mama dan mencoba meringankan bebannya.
Bertahun-tahun lamanya kami mencoba bangkit dari keterpurukan, sedikit demi sedikit kembali menata hidup hingga sampai pada titik ini. Dan aku... tidak akan pernah sanggup untuk menolak permintaan mama. Akan aku lakukan apa pun agar bibirnya selalu menyunggingkan senyuman.
***
Aku melangkah santai memasuki sebuah kafe dengan d******i kayu-kayuan mengkilat di bagian dindingnya. Di sebelah kiri, terdapat air terjun kecil dengan bebungaan beraneka warna dan rumput hijau yang terlihat segar. Sedang bunyi gemericik air yang perlahan turun menenangkan indera pendengaran.
Pagi ini aku ada janji dengan Ghea untuk bertemu di sini. Aku perlu memberikan undangan pernikahanku dengan Kaivan. Ku edarkan pandanganku untuk menemukan keberadaan Ghea. Dan, di sudut, tepat di bawah lukisan abstrak yang tergantung indah, aku bisa melihat Ghea yang sedang memainkan ponsel dengan raut muka cemberut.
Aku tersenyum geli sebelum berjalan menghampirinya. Pasti Ghea sedang sibuk mengumpat karena keterlambatanku.
“Hai Ge. Sorry gue telat.” aku menepuk pundak Ghea dari belakang dan duduk di depannya. Gadis itu mendengus sambil memutar bola mata, rautnya berubah semakin kesal.
“Hampir setengah jam gue di sini,” ujarnya, menatapku sambil menaikkan alis. “Jus alpukat gue sampe tinggal setengah. Dan lo harus beliin lagi.”
Aku tertawa kecil. Ghea terlihat menggemaskan dengan kedua pipi bakpaunya yang penuh cairan jus. “Iya, lo bisa nambah sepuluh gelas kalau perut lo masih muat.”
Aku menghiraukan delikan Ghea dan memanggil pelayan. Ghea mulai menyebutkan semua pesanan yang ia inginkan, sedangkan aku hanya memesan milkshake cokelat.
Setelah pelayan pergi, aku mengeluarkan undangan pernikahanku dan menaruhnya ke atas meja. Ghea mengerutkan kening, menyeret kertas nuansa perak bercampur biru muda itu ke hadapannya.
Ghea menatapku dengan alis menukik. “Apaan nih?”
“Bisa baca kan?”
Gadis itu berdecak sebelum membuka plastik bening pembungkus undangan dan membaca isinya saksama. Lima detik, Ghea menatapku dengan manik melebar. Sorot keterkejutan bercampur tidak percaya tergambar begitu jelas di sana.
“Lo seriusan mau nikah sama Kaivan? Dua minggu lagi? Kok mendadak sih? Lo bunting ya?” Ghea menggeleng dengan mata yang melebar sempurna. Sedang tanganku yang berada di atas meja ia guncangkan sekuat tenaga. Aku balas melotot dan menjauhkan tanganku.
“Apaan sih lo. Negatif thinking aja bawaannya. Gue aja baru tahu kemarin. Mama yang ngurus semuanya.” aku menghela napas, dua detik setelahnya, pesanan kami sudah sampai di atas meja.
Ghea meminum jus alpukat miliknya hingga tersisa setengah. Kemudian, ia memajukan wajahnya dan menatapku serius. “Oke, gue tahu kalau lo nggak bisa nolak perintah nyokap lo. Tapi seenggaknya, ini tentang masa depan elo De, lo yang bakal nikah sama Kaivan, bukannya Mama lo.”
Aku mendesah. “Ya mau gimana lagi? Hidup gue udah jadi milik Mama semenjak ayah meninggal. Gak ada yang lebih berharga dari kebahagiaan Mama.” aku mengaduk milkshake cokelatku tanpa minat. Pandanganku beralih pada ikan-ikan koi yang berada di dalam kolam seberang, begitu cantik dengan warna orange terang menyegarkan mata.
Pasti rasanya menyenangkan sekali jika bisa menjadi salah satu dari ikan koi itu. Sepanjang hidupnya hanya dihabiskan untuk berenang tanpa beban, tanpa pikiran menumpuk dan hal-hal memusingkan lainnya.
“Sebagai sahabat, gue cuma bisa do'ain yang terbaik buat lo De.” Ghea menepuk pundakku pelan. “Lagian, semuanya udah terlanjur kan? Sekarang tinggal gimana caranya lo bisa bertahan sama Kaivan sampai akhir.”
Aku mengangguk singkat. “Dari kecil, gue cuma pengen nikah satu kali seumur hidup.” kutatap Ghea dengan senyum tipis, “gue masih percaya sama teori witing tresno jalaran soko kulino. Mungkin gue bisa jatuh cinta sama Kaivan kalau udah terbiasa.” aku terkekeh hambar di ujung kalimat.
“Dan lo gak usah segan minta bantuan gue kalau-kalau Kaivan berubah nyolot.” Ghea menggembungkan pipinya lucu. Salah satu kebiasaannya ketika kesal.
Aku tersenyum, kemudian mengangguk. “Pasti. Tapi kayaknya gue udah sedikit percaya sama Kaivan. Lihat dia yang polos gitu, pasti gak bakalan macem-macem sama gue. Gue bahkan ragu kalau dia tau caranya begituan.” aku meringis, menggoyangkan dua jariku membentuk tanda kutip.
“Apa yang lo lihat sekarang belum tentu juga lo lihat di masa depan De.” Ghea menghela napas, “seminggu lalu gue ke peternakan milik pamannya Kaivan. Dan lo tahu apa yang gue dapet dari sana?”
Aku mengerutkan kening. “Apa?”
“Ternyata itu bukan punya pamannya. Tapi milik si Kaivan sendiri. Terus, daging-daging sapi unyu dari sana juga udah sampe tahap ekspor. Kata si penjaga kandang juga si Kaivan punya pabrik yogurt sama keju.”
Aku menahan napas. “Kenapa Kaivan bohong soal itu?” cicitku, merasa tak percaya dengan kebohongan Kaivan. “Dia bilang sama gue kalau dia kerjanya cuma jaga toko sembako sama peternakan sapi.”
Ghea memegang kedua tanganku di atas meja. “Lo gak percaya sama gue? Kapan gue pernah bohong sama lo? Mungkin dia punya alasan ngelakuin semua itu. Saran gue, lo harus lebih hati-hati.”
Aku mematung. Apa alasan Kaivan melakukan ini?
****
Aku berjalan menuju halaman depan untuk mencari taksi. Ghea sudah pulang lebih dulu karena ada pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan. Aku sedikit kesal karena Ghea tidak jadi mengantarku pulang.
Sedikit, aku kepikiran dengan perkataan Ghea tadi. Sebenarnya apa alasan Kaivan berbohong padaku? Apa karena dia tidak mau saat kami menikah nanti, aku akan menguras seluruh hartanya? Aku mendengus. Yang benar saja!
Sebuah suara berdebum mengalihkan perhatianku. Dari arah tempat parkir, aku bisa melihat beberapa orang sedang berkelahi. Sedang di sudut, sebelah tempat pembuangan sampah, dua anak kecil sedang menangis terisak dengan bahu saling merangkul. Pakaian yang mereka kenakan sungguh tidak layak dengan beberapa bagian yang sobek dan kotor.
Buru-buru aku berjalan mendekat ke arah mereka. Tapi, saat melihat pria berkemeja biru dongker yang selesai bertengkar itu, mataku terbelalak.
Kaivan?
Langkahku terhenti. Kulihat dua orang berbadan besar yang baru saja Kaivan pukuli mulai bangkit susah payah dan melarikan diri.
Ternyata... pria lugu dan polos seperti Kaivan bisa bela diri juga ya?
Pandanganku teralih pada keberadaan Kaivan. Ternyata pria itu sedang membantu dua anak kecil di sudut tempat sampah untuk berdiri. Buru-buru aku berlari menghampiri mereka.
“Kalian tidak apa-apa?” Kaivan berujar perlahan, kedua tangan besarnya menepuki debu di pakaian si bocah sambil tersenyum menenangkan. Sepertinya laki-laki itu belum menyadari keberadaanku.
Kaivan mengeluarkan dompet di saku celananya dan mengambil pecahan dua ratus ribu. “Untuk kalian, jaga baik-baik ya. Jika ada penjahat yang akan mengambil uang kalian, kalian harus segera lari jauh-jauh.” ia tersenyum kecil dan menepuk puncak kepala anak-anak itu bergantian.
“Terimakasih Kak.” mereka tersenyum lebar, wajahnya yang lusuh tampak berbinar bahagia.
Sudut hatiku berdesir saat memperhatikan interaksi mereka. Bagaimana bisa Kaivan sebaik ini? Tanpa sadar, rasa kagumku mulai bertambah pada Kaivan. Aku bahkan hampir melupakan perkataan Ghea tadi. Sepertinya aku akan menanyakan hal itu langsung pada Kaivan nanti.
Setelah kedua anak itu pergi, aku mulai memberanikan diri untuk memanggil, “Kaivan..”
Kaivan menoleh. Netra yang berada di balik kacamata kuno itu melebar terkejut sebelum kemudian sudut bibirnya tersungging menawan. “Dean, sejak kapan kamu di sana?”
Aku balas tersenyum. “Sejak tadi.”
Kaivan menggaruk tengkuk salah tingkah. Ia mengalihkan pandangan. “Eh, padahal aku baru saja akan ke dalam. Tante Farah menyuruhku menjemputmu ke sini.”
Aku mengerutkan kening. “Benarkah?”
Ia mengangguk. “Aku ingin mengajakmu mengecek persiapan pernikahan kita dan mengenalkanmu pada seseorang.”
Eh, jadi Kaivan sudah tahu tentang tanggal pernikahan itu? Kenapa dia tidak memberitahuku sejak dulu? Kaivan ini... aku benar-benar ingin menggigit wajahnya!
***