Abang Gavril PoV
Setelah Azkil keluar dari ruangan, aku menyusulnya ke rumah sakit bersama Airyn. Aku merasa bersalah atas apa yang terjadi dengannya, memang ini bukan sepenuhnya salahku karena aku memang tidak tahu kejadiannya tapi tetap saja aku merasa gagal menjadi suami dan calon ayah yang baik.
Sesampainya aku di rumah sakit dokter mengatakan bahwa Alana kekurangan banyak darah sehingga ia belum sadarkan diri tapi aku sangat bersyukur bahwa anak kami baik-baik saja. Apa anak kami? Apa baru saja aku mengakui kehadiran bayi itu?
Tapi sial golongan darah Alana A dan stoknya habis di rumah sakit ini. Darahku, Azkil maupun Airyn tidak ada yang cocok dengannya, kemana aku harus menemukan orang yang berbaik hati mau mendonorkan darahnya untuk Alana?
Kutatap wajah lemah yang sedang terbaring di ranjang kecil itu, kulitnya sangat pucat, bibirnya tak lagi tersenyum, mata biru indahnya tak lagi terlihat. Apa aku merindukannya? Kenapa rasanya sesak melihat Alana seperti ini? Rasanya sulit sekali bernapas.
"Siapa yang bisa menolong Alana?" aku mengacak rambut frustasi, kulirik Azkil yang menatap Alana dengan tatapan terluka.
Begitu besarkah rasa cinta Azkil untuk Alana?
"Aku tahu siapa yang bisa menolong Alana!" tiba-tiba Azkil langsung bangkit dari sofa dan berjalan keluar ruangan, aku tidak bertanya karena aku yakin Azkil pasti akan melakukan yang terbaik untuk sahabat yang dicintainya.
Airyn menghela napas berkali-kali, kurasa ia tak nyaman berada di sini bahkan sedari tadi ia tampak biasa saja melihat Alana, sama sekali tidak menunjukkan raut kesedihan atau mungkin ia tidak peduli dengan Alana?
"Ryn, kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Airyn memutar bola matanya jengah. "Aku benci melihatmu yang menatap Alana dengan tatapan terluka."
Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Airyn, apa segitu bencinya ia dengan adiknya sendiri sehingga ia tidak memiliki rasa kasihan sedikitpun untuknya.
"Kalau dia cepat mati itu lebih baik! Jadi tidak ada lagi pengganggu untuk hubungan kita sayang dan kita happy ending," ujarnya tersenyum.
Oh Tuhan aku benar-benar tidak menyangka ia memiliki pikiran sepicik ini, aku saja melihat Saski terbaring lemah di rumah sakit seperti separuh hidupku hilang. Lalu dia? Apa Airyn sama sekali tidak punya hati. Tapi sayangnya perempuan yang tidak punya hati ini adalah perempuan yang kucintai.
"Sayang apa kita akan melanjutkan ciuman yang sempat terhenti tadi?" ia mendekatkan wajahnya lalu aku bergeser ke ujung sofa.
Aku menatapnya tajam dan penuh penegasan. "Tidak akan! Seharusnya pas kamu mulai menciumku tadi, aku menolaknya bukan malah menikmatinya. Dasar perempuan penggoda!"
Airyn memang ke kantorku tadi, awalnya aku tidak menggubris kehadirannya, aku menyibukkan diri dengan setumpukan kertas kerja di hadapanku tapi ia justru mendekatiku dan terus menggodaku dengan sentuhannya entah di jakunku dan sekitar area wajah kemudian menempelkan bibirnya ke bibirku, awalnya aku ingin menolak tapi aku menikmati lumatannya. Entah ada setan mana yang memintaku untuk membalas ciumannya.
Ibarat kata kucing tidak akan menolak jika diberi ikan. Apalagi ikan yang ia sukai.
"Aku penggoda? Asumsi seperti apa itu? Aku memang kekasihmu sayang."
Aku menghela napas berat berulang kali. "Aku tegaskan ke kamu sekali lagi hubungan kita sudah BERAKHIR!" aku sengaja menekankan kata berakhir agar dia sadar bahwa aku bukan lagi miliknya.
"Harus berapa kali aku bilang, biarkan aku menjalani kehidupan rumah tanggaku sebagaimana mestinya dan jika kita memang berjodoh kita pasti akan bersatu. Tolong gunakan kepintaranmu!"
Aku sudah tidak bisa menahan emosiku, selama ini aku selalu menjaga agar aku tidak membentak Airyn tapi kali ini aku melakukannya. Aku membentaknya untuk pertama kali.
"HARUS BERAPA KALI AKU BILANG, AKU BISA GILA TANPAMU!"
Ia berteriak dengan suara yang sangat lantang jauh lebih lantang teriakannya daripada bentakanku tadi, apa ia lupa kalau sekarang dirinya di rumah sakit bukan di hutan.
Kulihat pintu terbuka dan itu ayah dan bunda Airyn yang masuk, memang sebelumnya aku sudah menghubungi bunda Lisa.
"Dimana kecerdasan kamu Airyn? Apa otak pintarmu hanya kamu gunakan untuk akademik saja? Ini rumah sakit bukan hutan!" bunda Lisa membentaknya dengan penuh amarah.
Padahal yang aku tahu Airyn adalah anak kesayangan di keluarga Winata tapi kuakui Airyn memang pantas mendapatkannya.
"Jangan membentak Airyn seperti itu!" pembelaan ayah Winata membuat bunda Lisa menghela napas berkali-kali.
"Terus saja bela! Bela saja terus sampai kiamat! Airyn menjadi anak seenaknya sendiri karena ayah terlalu memanjakannya, kenapa ayah tidak bisa bersikap tegas? Cobalah didik Airyn lebih keras lagi maka anak kesayanganmu ini tidak akan egois. Oh aku lupa sifat egoisnya menurun dari Ayahnya, sudah mendarah daging!"
Kurasa memang benar ayah Winata telah salah mendidik Airyn sehingga ia menjadi perempuan keras kepala yang semua keinginannya harus dituruti.
Ayah Winata tidak menjawab apa-apa mungkin ia kehabisan kata-kata.
"Apa Alana sudah mendapatkan pendonor?" tanya bunda Lisa dengan raut wajah yang menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Azkil sedang mencarinya," jawabku.
"Kalau Tuhan bilang sekarang waktunya Alana berhenti kita bisa apa."
Ucapan Ayah Winata seperti ingin Alana segera meninggal. Oh Tuhan betapa kejam hatinya. Anak dengan bapak sama saja. Sama-sama tidak punya hati.
Bunda Lisa langsung menampar pipi ayah Winata dengan keras padahal yang ia tampar adalah suaminya sendiri. "Jangan berbicara seperti itu! Aku selama ini diam jika ayah menyakiti Alana tapi sekarang aku akan maju paling depan untuk membelanya!"
"Berani kamu menamparku? Kamu tidak takut aku talak 3 hah?" ia mengepalkan tangan menahan amarahnya.
"Talak 100 kalau perlu! Mungkin kemarin-kemarin aku masih ingin mempertahankan rumah tangga kita tapi sekarang kalau memang harus pisah aku tidak masalah! Lebih dari 20 tahun aku berusaha bertahan tapi hanya tekanan batin yang sering aku dapatkan. Mungkin berpisah memang jalan terbaik."
Ayah Winata hanya diam begitupun aku dan Airyn hanya menjadi penonton yang baik.
Setelah terjadi keheningan beberapa saat, Azkil datang bersama seseorang yang akan menjadi pendonor Alana. Aku belum pernah melihat orang ini sebelumnya.
"Kenalkan ini daddyku, golongan darahnya sama dengan Alana."
"Tidak perlu, saya bisa mencarikan pendonor yang lain untuk Alana!"
Aku tidak tahu kenapa bunda Lisa menolak daddy Azkil menjadi pendonor untuk Alana.
"Tapi bun, Alana membutuhkannya segera!" ujarku.
"Iya benar tante, daddy bisa menjadi pendonor untuk Alana."
Bunda Lisa tampak pasrah akhirnya ia setuju, setelah itu daddy nya Azkil melakukan pemeriksaan kesehatan apakah ia bisa menjadi pendonor atau tidak karena kalau tidak sehat tidak bisa menjadi pendonor.
***
Aku sekarang sedang duduk di taman rumah sakit bersama Azkil, entah karena apa ia memintaku untuk bicara empat mata. Sepertinya ada hal serius yang ingin ia ucapkan.
"Sorry udah nonjok kakak tadi, aku tidak bisa mengendalikan emosiku."
Aku mengangguk pelan, Azkil tidak sepenuhnya bersalah, ia hanya ingin melindungi sahabat yang dicintainya dari orang berengsek sepertiku.
Ia menghirup udara dalam-dalam dan memejamkan matanya sejenak. "Lepaskan atau pertahankan?"
Aku bingung dengan pertanyaannya. "Maksudnya?"
"Kalau pada akhirnya kakak memang berniat meninggalkannya lebih baik sekarang kakak lepaskan dia, sebelum dia terluka lebih dalam lagi!"
Aku harus menjawab apa? Lepas atau bertahan? Aku masih bingung dengan hatiku, apa yang harus aku lakukan?
"Aku mencintainya dan jika kakak menyakitinya maka aku akan merebutnya darimu."
Aku tahu Azkil memang mencintai Alana sangat terlihat sekali dari caranya benar-benar menjaga Alana. Aku saja yang notabene suami Alana tidak bisa menjaganya.
"Aku tahu kakak tidak mencintainya kan? Kakak menikah hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban dan karena Saski yang memintanya."
Apa benar aku tidak mencintainya?
"Lepaskan dia, kak. Biarkan aku memperjuangkan Alana, aku akan menjadi ayah yang baik untuk anaknya Alana."
Tidak akan kubiarkan ia mengambil posisiku sebagai ayah dari anak Alana, aku tidak rela anakku memanggil papa kepada pria selain aku. Tidak akan kubiarkan. Entah kapan persisnya aku tidak tahu, aku sudah menerima kehadiran bayiku.
"Tidak! Aku akan mempertahankannya!"
Ia menghela napas untuk kesekian kalinya. "Kalau begitu berjanjilah, kakak akan terus mempertahankannya, jangan menyakitinya, perlakukan dia layaknya seorang istri dan apapun yang terjadi kakak jangan pernah meninggalkannya!"
Apa aku harus menuruti perkataannya? ia hanya sahabat bukan ayahnya. Tapi kenapa ia berlaku seperti seorang ayah yang benar-benar menjaga putrinya? Benar-benar menyebalkan.
"Kalau kakak tidak bisa berjanji lebih baik lepaskan dia sekarang juga!"
"Baiklah aku berjanji, aku memang belum mencintai dia sepenuhnya tapi jujur aku mulai nyaman dengan kehadirannya!"
Ia tersenyum tipis. "Bagus, tapi kalau kakak mengingkarinya aku akan mematahkan lehermu, memotong jari-jarimu, menebas kepalamu dan yang paling sadis aku akan memutilasimu hingga menjadi potongan-potongan kecil lalu kumasukan ke karung untuk dibuang ke laut!"
Tawaku pecah mendengar ucapannya terdengar sangat lucu. Apa ia sedang membayangkan menjadi seorang pembunuh seperti di film-film thriller?
"Tidak perlu cemas."
"Pria sejati yang dipegang adalah janjinya."
Ucapannya mengingatkanku pada Saski.
"Ucapanmu seperti Saski saja. Ngomong-ngomong kenapa kamu putus dengan Saski?"
Ia mengendikkan bahunya. "Aku tidak mencintainya."
Aku terkejut dengan ucapannya dan kenapa ia memacari adikku kalau tidak mencintainya?
"Berengsek! Kenapa kamu memacarinya kalau tidak cinta?"
"Sudahlah kak, lagian itu waktu SMA lupakan saja."
Tidak bisa begitu, aku penasaran. "Jawab saja Azkil, aku jamin tidak akan membunuhmu karena jawabanmu."
"Waktu kelas 12 dia menyatakan perasaannya padaku, entah aku harus jawab apa karena aku hanya menganggap dia sahabatnya Alana, awalnya aku ingin menolak tapi setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya pacaran dengan Saski mungkin bisa membuat Alana cemburu."
"Jadi kamu menerima Saski karena ingin Alana cemburu?"
Ia mengangguk. "Tapi sayangnya Alana tidak cemburu dan seminggu kemudian aku memutuskannya karena jalani hubungan tanpa cinta itu rasanya hambar, percuma, tidak ada kenyamanan hanya bosan yang ada."
"Berapa lama kalian pacaran?"
"Tiga minggu!"
"Dan kamu tahu? Saski menangisimu selama 3 bulan!"
"Tapi yang aku lihat Saski baik-baik saja setelah kami putus, bahkan dia tidak menangis saat aku memutuskannya."
"Itu karena dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan kalian. Asal kamu tahu sedekat-dekatnya Alana dengan Saski, aku jauh lebih dekat dengannya. Apa yang tidak dia ceritakan kepada sahabatnya dia akan ceritakan kepadaku."
Saski gadis ceria yang selalu terlihat tegar dan ia tidak ingin bercerita kepada orang lain tentang kesedihannya karena ia tidak ingin jadi beban. Kecuali kepadaku, ia akan menceritakan apapun. Sekecil apapun masalahnya dia pasti cerita.
Dari semua anggota keluarga aku lah yang paling dekat dengan Saski.
"Sebelum dia berangkat ke Amerika dia bilang ke aku kalau dia masih mencintaimu."
Azkil terkejut dengan ucapanku.
"Dia bukan gadis ambisius yang harus selalu mendapatkan yang ia mau. Seperti halnya memilikimu, ia tahu kamu tidak mencintainya jadi dia tidak bisa memaksa."
Aku menepuk bahunya lalu meninggalkannya yang sepertinya sedang memikirkan ucapanku.
***