Dengan senyuman manis ia berjalan melewati koridor kantor ini, tampak sekali wajahnya sangat bahagia karena sebentar lagi ia akan bertemu pria yang sangat ia rindukan beberapa hari ini.
"Hai, mbak Ana!" sapanya ramah kepada sang sekretaris yang duduk di depan ruangan Gavril.
Yang disapa Ana pun tersenyum tak kalah ramah. "Mbak Airyn sudah lama tidak kelihatan."
Sebelum Gavril menikah ia sering datang ke sini sehingga lumayan dekat dengan sekretarisnya Gavril.
"Biasa mbak sibuk kuliah."
Airyn langsung masuk ke ruangan dengan langkah percaya diri, Gavril menyambutnya dengan senyuman bahagia. "Hai, Ryn. Tumben kamu datang."
Ia duduk ke pangkuan Gavril dan meraba-raba jakunnya yang menurut Airyn sangat seksi. "Aku sudah tidak bisa menahan rinduku, rasanya aku ingin mati."
Gavril terkekeh geli lalu mencium kening Airyn. "Aku lebih merindukanmu."
Airyn tersenyum puas mendengar jawaban itu karena Gavril masih mencintainya meskipun ia adalah suaminya Alana.
Posisi mereka sekarang sangat dekat, jika mereka mau bisa saja kedua bibir itu menempel dan saling melumat hingga kehabisan napas.
Gavril menggelengkan kepalanya dan langsung mendorong Airyn menjauh dari tubuhnya hingga Airyn hampir jatuh. "Ini salah, Ryn. Status kita sudah berbeda sekarang!" Gavril kembali fokus dengan lembaran kerja yang ada di hadapannya.
Sial, aku tidak berhasil menggodanya.
Airyn tampak kesal dan menghela napas beberapa kali. "Aku cinta kamu, kamu cinta aku. Lalu apa yang salah? Toh, Alana juga tidak akan tahu!"
"Karena aku adalah suami ADIK kamu sendiri!" Gavril menekankan kata adik agar Airyn ingat bahwa pria yang ia goda tadi adalah adik iparnya.
Ia berjalan ke arah meja Gavril dan pendangannya terhenti ke dua voucher dengan tulisan LOMBOK. "Voucher? Apa kita akan berlibur ke Lombok?"
Gavril mengangkat wajahnya dan menatap Airyn. "Bukan kita tapi aku dan Alana!"
Airyn menatap tak percaya lalu ia meraih dua voucher itu dan merobeknya hingga menjadi kepingan tak beraturan. "Kamu memang suami Alana tapi aku tidak akan biarkan kalian liburan, kamu hanya milik aku sampai kapanpun."
Gavril mengacak rambutnya frustasi. "Jangan karena aku mencintaimu jadi kamu bisa seenaknya mengatur hidupku, Airyn."
"Gav, kita saling mencintai sudah sepantasnya kita bersatu!"
"Aku sudah bilang kalau kita memang berjodoh cepat atau lambat kita bisa bersatu dan sekarang tolong biarkan aku menjalani kehidupan rumah tanggaku sebagaimana mestinya!" Gavril berbicara penuh ketegasan tapi masih dengan intonasi standar.
Airyn sudah tidak bisa menahan kedua kakinya lalu ia menangis terduduk di lantai. "Aku takut kamu mencintai Alana, aku takut kamu bukun jodohku, aku takut saat kita benar-benar berpisah justru aku tidak bisa melupakanmu dan aku takut sangat terjebak dalam kenangan masa lalu."
Airyn menghapus air matanya kasar. "Apa kamu juga seperti aku? Pasti jawabannya tidak karena hati kamu jauh lebih kuat daripada aku."
"Kamu pernah berpikir betapa sakitnya hati aku saat tahu Alana mengandung anakmu? kamu tahu betapa terlukanya aku saat harus membenci adikku sendiri hanya karena dia merebutmu dariku? dan kamu tahu betapa hancurnya hati aku saat kamu membaca ijab qabul untuk perempuan lain?"
"Aku tidak setegar Alana yang bisa kuat menjalani kenyataan pahit."
"Aku cuma perempuan yang ingin memperjuangkan kamu agar kamu tetap di sampingku."
Gavril terluka melihat Airyn yang seperti ini, jujur ia sangat mencintai Airyn tapi ia tidak ingin egois, sekarang dirinya milik Alana secara sah. Ia bangkit dari tempat duduknya dan menuntun tubuh Airyn ke sofa.
Gavril menarik Airyn ke dalam pelukannya. "Bukannya semua orang akan egois dalam hal mencintai?" lirih Airyn.
Tidak ada yang salah dalam hal mencintai karena rasa itu tumbuh begitu saja dari dalam hati, terkadang cinta hadir hanya untuk mengajarkan kita arti kesabaran, menunggu dan perjuangan. Kalau tidak bisa memilikinya yang bisa dilakukan adalah belajar melepaskan. Karena cinta juga mengajarkan tentang keikhlasan.
Airyn merenggangkan pelukan dan menatap Gavril penuh harap. "Tolong berjanji sama aku Gav, kamu akan meninggalkan Alana setelah dia melahirkan. Kalau masalah Saski akan mencoba bicara dengannya."
Gavril bergeming.
"Kenapa diam? Bingung? Apa kamu mulai mencintainya Gav?"
Cinta? Gavril tidak tahu yang jelas ia sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Alana di sisinya, menunggunya pulang kerja, menyapanya saat bangun tidur, menyiapkan pakaian kerja, memasak untuknya dan kadang-kadang Gavril akan menjadi imam Alana saat sholat. Gavril sudah biasa dengan hal seperti itu dan mungkin ia sudah nyaman.
***
"Mbak ngidam apa sekarang?"
"Pengin mangga muda tapi malas beli."
"Oh begitu,"
"Ada apa bi?"
"Yasudah bibi mau lanjut cuci piring dulu."
Walau Alana ngantuk sekali tapi ia memutuskan untuk tetap menunggu Gavril pulang karena menunggunya sudah menjadi hobi tersendiri untuk Alana.
Tak lama kemudian terdengar ada langkah kaki yang mendekat dan ia terkejut melihat Azkil yang sedang membawa kresek lalu meletakkannya di atas meja depan Alana.
"Mangga muda untuk bumil."
Azkil ke dapur mengambil pisau dan wadah untuk mangga kemudian mengupas kulitnya dengan telaten.
"Kok kamu tahu sih aku lagi ngidam mangga muda."
"Feeling!"
"Terdabes memang sahabatku ini."
Setelah semua selesai diiris oleh Azkil ia makan mangga tersebut dengan lahap tanpa sambal, garam atau apapun itu. Azkil hanya menatap heran karena Alana bisa lahap padahal mangganya sangat kecut.
Mangga muda memang kecut minta ampun tapi ibu hamil sangat menyukainya. Konon katanya kalau suka makan mangga muda saat hamil itu berarti anaknya laki-laki.
"Enak?" tanya Azkil saat mangganya tandas tak terisa.
Alana mengangguk. "Thanks, Azkil."
"Everything for you."
Tak lama kemudian Gavril masuk dengan membawa kresek dan melihat Azkil dengan tatapan tak suka lalu ia naik ke lantai dua menuju kamarnya dan meletakkan kresek tersebut di atas nakas.
Setelah Azkil pulang, Alana menyusul suaminya ke kamar ternyata ia sedang mandi dan dilihatnya kresek yang Gavril bawa tadi ternyata isinya mangga muda.
Kok kak Gavril tahu aku lagi pengen mangga?
Alana keluar dari kamar dan bertanya ke asisten rumah tangga yang sedang berbaring di kamarnya. "Bi, tadi kak Gavril tanya aku ngidam apa?"
Ia tidak menjawab karena Gavril memintanya untuk tidak menjawab jika Alana bertanya.
"Jawab saja bi!"
"Iya tadi mas Gavril suruh tanya ke mbak Alana."
Apa kak Gavril mulai peduli sama kehamilanku?
"Iya, makasih bi."
Alana kembali ke kamarnya dan mendapati Gavril yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membaluti tubuhnya hanya sebatas perut.
Ia tidak bisa menahan detak jantungnya melihat tubuh Gavril yang menurutnya sangat seksi apalagi saat rambutnya basah menambah keseksiannya, ia menelan ludah susah payah melihat Gavril mendekat ke arahnya.
"Apa kamu sedang tergoda dengan tubuhku?" goda Gavril menaik turunkan alisnya.
Alana salah tingkah dan langsung naik ke kasur pura-pura tidur.
"Biasa saja Alana, tubuhku milikmu jadi tidak usah grogi!"
Alana spontan membuka matanya dan menatap Gavril "Milikku?" tanyanya tidak percaya.
"Apa kamu lebih suka miliki tubuh Azkil?"
"Kakak! Azkil hanya sebatas sahabatku."
"Sahabat ya? Sahabat yang kamu mencintaimu, begitu? Apa kalian friendzone?"
Alana kembali tidur daripada menanggapi ucapan Gavril tidak akan selesai sampai besok.
"Aku tidak suka Azkil menggantikan posisiku sebagai ayah dari bayi kamu, kalau kamu ngidam apa-apa bilang sama aku?"
Gavril tahu Alana belum tidur.
"Sejak kapan kakak peduli? Sejak kapan kakak peduli dengan anakku? Sejak kapan kakak pedulu dengan kehamilanku?"
Skakmat.
Selama ini Gavril memang tidak pernah menunjukkan kepeduliannya bahkan untuk mengelus atau mencium perut Alana yang sudah mulai membuncit itu ia tidak pernah atau sekedar mengucapkan hai ke bayinya tidak pernah.
Apa aku memang sangat berengsek?
"Kakak tidak ingat siapa yang ingin membunuh bayiku? Kakak tidak ingat siapa yang hampir membunuhku?"
Gavril sungguh menyesal saat itu ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. "Maafkan aku."
"Sudahlah anggap saja itu tidak pernah terjadi, aku mau tidur."
***
Keesokan malam Azkil akan bertemu perempuan yang dijodohkan orang tuanya itu kini mereka sudah tiba di restoran Jepang yang menjadi saksi pertemuan mereka. Alexander, Vania, Kevin dan Amanda tampak bersemangat berbeda dengan Azkil yang hanya bisa menghela napas pasrah berkali-kali.
"Yang semangat Azkil, mereka sedang menunggu kita!" Alexander dan Vania mempercepat langkahnya dan diikuti oleh ketiga anaknya di belakang.
Sebenarnya Azkil malas dengan perjodohan ini, ia yakin pasti perempuan yang dipilihkan orang tuanya ini hanya anak yang manja, angkuh, boros dan semaunya sendiri. Azkil bergidik ngeri jika sampai benar apa yang ia pikirkan.
Tidak terasa ia sudah sampai di meja yang dituju terlihat seorang pria yang sepantaran dengan Alexander duduk bersama istri dan anaknya.
Perempuan itu hanya menunduk memainkan ponsel tak mengindahkan kehadiran Azkil sekeluarga.
"Laura, simpan ponsel kamu dan kenalan dulu sama Azkil!" tegur ayahnya.
Mendengar nama Azkil ia langsung mengangkat wajahnya dan menatap pria yang ada di depannya.
"Lo?" ucap Azkil tak percaya.
Ternyata perempuan yang akan dijodohkan dengannya adalah perempuan di club saat itu memakai baju sangat minim dan yang berusaha menggodanya sekaligus perempuan ini yang ia lihat di bandara kemarin.
"Apa kalian saling mengenal?" tanya Alexander.
Azkil menggeleng. "Perempuan ini yang aku lihat di club memakai baju minim yang ajak aku one nigh stand dan sayangnya aku menolak," ujar Azkil tanpa rasa bersalah di hadapam keluarga Laura dan keluarganya.
Laura kesal karena Azkil membuka aibnya dan sebentar lagi ayahnya pasti akan mengamuk.
"Laura Anastasha Putri, apa benar?"
"Laura bisa jelaskan papi."
"Papi tanya benar atau tidak, papi tidak bertanya penjelasan kamu!"
Laura menghela napas dan menatap kesal Azkil, awalnya ia tertarik dengan Azkil saat melihatnya di club dan di bandara tapi setelah tahu sifatnya menyebalkan ia jadi berpikir dua kali untuk tertarik dengannya.
"LAURA JAWAB!" beberapa pengunjung restoran menatap ke meja mereka. Azkil tidak menyangka kalau kejujurannya membuat ayah Laura marah besar.
Laura bangkit dari kursinya sebelum melangkah pergi ia berkata sesuatu ke Azkil. "Gue mau kasih tahu lo belum tentu apa yang lo lihat sesuai sama kenyataannya."
Lalu menatap ayahnya. "Aku menolak perjodohan ini, nanti kita selesaikan di rumah. Aku pergi."
Ada sedikit rasa bersalah di hati Azkil melihat gadis itu melangkah menjauh.
"Laura gadis yang baik, ia bukan gadis malam, kami tahu itu. Mungkin benar apa yang dia katakan tidak semua apa yang terlihat sesuai kenyataan," ujar ibunya Laura.
Mungkin gue emang terlalu cepat ambil kesimpulan kali ya, pokoknya gue harus tanya ke dia dan minta maaf kalau emang gue udah salah judge dia.
***