Bab 7

1126 Words
Keesokan harinya setelah ijab qabul dadakan itu Saski dan kedua orang tuanya berangkat ke Amerika. "Take care. Ma, pa, Sas!" ujar Gavril saat mereka sudah sampai di bandara. "Cepat sembuh sayang, pokoknya kamu harus sembuh!" Alana memeluk Saski begitu erat sementara air matanya terus menetes. "Pokoknya nanti kalau gue balik ke sini lo harus punya buntut 5." Alana melepaskan pelukannya. "Iya anak kucing ya, Sas!" membuat mereka yang mendengar tertawa. Alana memeluk Jasmin, meskipun Jasmin sempat marah ke Alana kemarin tapi sekarang tidak lagi, kemarin itu hanya emosi sesaat. "Hati-hati ya, tan---" "Mama, bukan tante!" "Hehe iya hati-hati, mama." Setelah melepaskan pelukannya Alana salim Satria. "Hati-hati, om." "Papa, bukan om!" "Hehe iya hati-hati, papa." Gavril memeluk Saski, Jasmin dan Satria secara bergantian sembari mengucapkan kata 'hati-hati' "Gavril, tanggung jawab hotel papa serahkan ke kamu," Gavril mengangguki ucapan Satria. "Siap bosku." "Kalian baik-baik ya di rumah," Jasmin ikut menambahi. "Yang akur ya pengantin baru," lanjut Saski. Keadaan Saski sekarang memang belum sembuh tapi kondisinya tidak sedrop kemarin, untuk naik pesawat ia masih sanggup. "Kami pamit ya, pesawatnya take off sebentar lagi," ujar Satria. *** "Kamu mau langsung pulang atau kemana dulu?" "Mau ke rumah temanku dulu ambil barang." "Aku antar ya," Alana mengagguk dan mereka langsung ke mobil yang terparkir di depan Bandara. Airyn : Sayang, aku mau bicara sesuatu sama kamu. Bisa ketemu sekarang. Aku tunggu kamu di kafe biasa. Setelah membaca pesan dari Airyn, Gavril langsung mengurungkan niatnya untuk mengantar Alana. "Na, maaf ya. Aku tidak jadi mengantarmu." Alana yang sedang memasang seat belt langsung terhenti. "Kenapa?" "Airyn ajak ketemu katanya ada sesuatu yang mau dia bicarakan." Alana hanya bisa menghela napas pasrah, bahkan sampai saat ini prioritas Gavril masih Airyn padahal jelas-jelas istri Gavril sekarang bukan Airyn tapi Alana. Kamu harusnya ingat kalau Gavril menikahimu bukan atas dasar cinta. Perempuan yang ia cintai hanya kak Ryn. Jangan terlalu berharap! "Oke, aku bisa naik taksi." "Maaf ya." Alana keluar dari mobil dengan perasaan terluka rasanya ia ingin menangis sekencang-kencangnya saat ini juga. Ia masih jadi perempuan yang terabaikan dan mungkin selamanya akan terabaikan. Ia menyetop sebuah taksi yang akan membawanya ke rumah Azkil, sebenarnya ia merasa bersalah karena tidak memenuhi ajakannya Azkil semalam, sungguh ia tidak ada maksud hanya saja keadaan yang mengharuskan dirinya tetap berada di rumah sakit sampai tidak pulang dari kemarin. Setelah membayar lalu turun dari taksi dan melangkahkan kakinya masuk ke rumah, terlihat ada Azkil yang sedang tiduran di sofa ruang tamu sambil memainkan ponselnya seorang diri. "Lo kemana dari kemarin kenapa nggak ada kabar?" tanya Azkil setelah menyadari kehadiran Alana. Ia mengganti posisinya menjadi duduk dan menatap Alana yang sedang berdiri. "Kemarin aku ke rumah sakit, terus baterai hp aku mati tidak bawa charger." "Siapa yang sakit?" "Saski." Azkil tertawa hambar. "Jadi lo lebih milih seharian di rumah sakit dari pada menerima ajakan gue, Na. Seharusnya lo datang dulu terus lo bisa lanjut ke rumah sakit lagi atau setidaknya lo kasih tau gue, Alana." "Maaf tapi keadaannya kemarin---" "Gue kecewa sama lo, Na." Alana sakit mendengar kata itu, belum pernah selama ini Azkil berbicara seperti itu kepada dirinya. "Lo tahu kemarin gue punya impian dinner romantis sama lo, gue booking kafe terus gue dekorasi dibantu Kevin sama Amanda setelah itu gue bakal bilang 'can you be my future wife?' tapi semua itu gagal, Na." Alana terkejut mendengar pernyataan Azkil, ia benar-benar tidak tahu kalau sahabatnya ini menyimpan rasa untuknya. Ia kira kebaikannya selama ini murni rasa sayang sahabat. "Lo pernah dengar istilah 'persahabatan antara cowok dan cewek tidak ada yang murni, salah satu atau keduanya pasti memiliki rasa lebih' dan gue sekarang yang alami." "Dari dulu perempuan yang gue sayang itu lo, Alana. Dari dulu hingga sekarang, dari pertama gue kenal lo waktu umur gue 9 tahun. Mungkin saat itu gue belum tahu apa itu cinta tapi gue udah sayang dan gue sadar gue cinta sama lo waktu kita kelas 9." Lalu kenapa kamu memacari Saski kalau kamu tidak ada rasa ke dia? Alana sama sekali tidak mempunyai rasa cinta ke Azkil, ia murni menganggap Azkil sahabatnya tidak lebih. "Azkil, aku benar-benar tidak tahu kalau kamu cinta aku. Maaf." Azkil mendekat dan memegang kedua tangan Alana. "Perasaan lo ke gue gimana?" "Murni sahabat." "Kenapa, Na? Gue selalu ada buat lo, gue selalu berusaha bikin lo bahagia, apa kurangnya gue, Na?" "Maaf, Azkil. Lagipula sekarang aku udah menikah." Hati Azkil hancur 100kali lipat, ia tidak bisa mengendalikan emosinya lalu ia mencium Alana tanpa ampun meski Alana terus meronta ia tidak peduli, bahkan ia tidak membiarkan Alana untuk menghirup udara, Azkil hanya ingin melepaskan kekesalannya. "AZKIL!!!" mendengar teriakan Vania yang baru masuk rumah Azkil langsung menghentikan ciumannya dan berlari ke kamarnya di lantai dua. "Aku ke kamar dulu mau ambil barang. Aku mau pamit, makasih tante untuk tumpangannya beberapa hari ini," ujar Alana diisak tangisnya. *** Gavril memang sangat mencintai Airyn tapi ia juga tidak ingin semakin menjadi pria berengsek yang tidak bisa menepati janjinya sendiri. "Gav, please ceraikan Alana setelah anaknya lahir. Aku mohon!" entah sudah keberapa kali Airyn berucap seperti itu dan Gavril selalu menggeleng. Gavril menggenggam tangan Airyn. "Aku cinta kamu, sangat! Tapi kamu dengar sendiri kan kemarin bagaimana Saski memintaku agar terus bersama Alana apapun yang terjadi." "Aku tidak ingin hubungan kita berakhir, Gav. Aku cinta mati sama kamu!" "Sepertinya kita memang harus berakhir, Ryn. Kalau kita terus melanjutkan hubungan ini sama saja aku berselingkuh, bukan?" "Dari awal kamu milik aku dan selamanya akan begitu!" "Tapi nyatanya sekarang aku sudah punya istri, aku memang belum mencintainya tapi biarkan aku menjadi suami yang baik untuknya sesuai permintaan Saski." "Enaknya aku bunuh siapa ya? Saski atau Alana?" Gavril melepaskan genggamannya dan menatap tajam Saski. "Seujung kuku kamu sakiti Saski, leher kamu akan aku patahin, tidak peduli kalau kamu perempuan yang aku cinta atau bukan!" "Bagaimana dengan Alana?" "Terserah, sekarang kita sudah berakhir, Ryn. Aku akan berusaha menghilangkan rasa ini dan kamu juga harus begitu. Kita memang tidak berjodoh, Airyn," kemudian Gavril beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari kafe. "Baik kalau gitu, biarkan aku berperan antagonis!" *** Setelah sampai di rumah Gavril heran melihat Alana yang sedang menangis di sofa ruang tamu, ia langsung menghampirinya. "Alana ada apa?" Alana hanya menggeleng dan menghapus air matanya. "Bisa tunjukkan di mana kamarku, kak?" "Kamarku adalah kamarmu." Ucapan Gavril cukup membuat Alana terkejut. "Bukannya di w*****d, n****+ atau drama itu kalau menikah bukan atas dasar cinta atau menikah karena terpaksa atau karena dijodohkan itu tidurnya terpisah?" Gavril tersenyum mendengar ucapan polos istrinya ini. "Jangan samakan dunia nyata dengan dunia fiksi, menikah dengan atau tanpa cinta kita tetap suami istri dan tidur sekamar itu hukumnya wajib bukan sunah apalagi haram." Alana baru tahu ternyata dibalik sifat dingin Gavril ia masih bisa buat lelucon meskipun garing. Untuk saat ini ia cukup bahagia memiliki Gavril. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD