"Mbah, kasihan banget. Mbak Ningsih, pembantu almarhum Pak Burhan itu meninggal bunuh diri," ucapku setelah bersih-bersih dan kami bersantai di ruang tamu.
"Innalilahi. Udah diselidiki kenapa almarhumah memilih nekat bunuh diri gitu?"
"Belum tau, Mbah, tapi pengakuan teman satu selnya, Ningsih ini emang gak mau makan selama tiga hari. Murung aja, keliatan banyak tekanan," jawabku.
"Saya curiga, memang bukan dia pelakunya. Bisa aja ada yang merasuki Ningsih dan membunuh majikan sendiri," duga Mbah Parto yang diikuti anggukan oleh Pak Aji.
Kalau dipikir-pikir, memang bisa terjadi. Mengingat kematian Pak Burhan dan istrinya karena Sarah yang tak suka dengan mereka.
Ya, meskipun Sarah telah mengakui kesalahannya, tetap saja perbuatan masa lalu tak secepat itu diselesaikan.
"Kasihan, mungkin saking depresinya dia dituduh terus, akhirnya bunuh diri. Dia gak melakukan itu semua," timpal Mas Arif.
Satu hal yang belum kupahami. Tentang beberapa gumpalan daging yang kami temui, juga kehamilanku yang tiba-tiba gugur padahal baru beberapa minggu.
Firasat perempuan memang kuat. Ketika ingin pergi ke rumahnya, ia malah datang sendiri dibantu seorang wanita. Entah siapa dia, tapi kutaksir usianya sudah kepala empat.
Kupersilakan mereka masuk, tetap menjamu memanjakan tamu. Kondisi wajah Sarah semakin parah. Bengkak di pipi kanan, bernanah pula. Matanya saja sipit karena nanah itu lumayan besar.
Ia dibopong oleh wanita tadi, katanya naik angkot ke sini. Sambil menutupi wajahnya dengan penutup kepala, ia nekat ingin sekali bertemu denganku.
Terlihat dari tatapannya yang begitu dalam ketika menjawab salamnya.
"Ada perlu apa ke mari, Mbak?" tanyaku, "dan ini siapanya Mbak?"
"Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan. Wanita ini adalah tante saya, hanya dia keluarga saya di sini," jawabnya. Aku manggut-manggut paham.
Tak lama kemudian, Mas Arif berteriak, bertanya dari kamar. "Siapa yang datang, Dek?"
"Sarah, Mas!" jawabku lantang agar sampai di telinganya.
Ia pun ikut nimbrung, duduk di sebelahku dengan tatapan serius. Digenggamnya kuat tangan ini, katanya takut diapa-apakan oleh Sarah.
"Cepat katakan, bentar lagi mau antar istriku periksa kesehatan," ucap Mas Arif.
Sarah ingin mengakui semua perbuatannya. Ia yang mengirim gumpalan daging itu yang ternyata dari ibu-ibu hamil. Ya, janin yang masih berupa gumpalan daging. Sebagai teror rencananya, tapi saat itu aku tak peka, hanya mengira daging biasa.
Termasuk ia mencoba membuatku depresi dengan menggugurkan bayi. Namun, sayangnya hal itu tidak terlalu berefek, karena berpikir positif. Keguguran karena memang belum waktunya diberi kepercayaan.
Ia mengaku selalu mengalami mimpi buruk, selalu diteror makhluk menyeramkan. Makhluk itu memaksa Sarah agar mau berterus terang, karena akibatnya sangat fatal. Ia yang lelah diteror terus, mau tak mau mendatangiku.
"Semalaman perut saya sakit, seperti ada yang berebut organ dalam saya. Jadi, mungkin dengan mengakui segalanya dan diberi maaf, saya bisa sembuh dan kembali hidup tenang," ucapnya setelah bercerita.
Aku mendengkus kasar lalu menyandarkan kepala. Mas Arif menatap sekilas, kemudian beralih ke Sarah yang sedang tertunduk ini. Jujur kasihan, tapi mau bagaimana lagi? Kesalahannya terlalu besar dan fatal. Agak sulit dimaafkan secepat ini.
"Anggap aja itu teguran dari Tuhan, kalau kamu memang banyak dosa. Lupakan masa lalu, lupakan Mayang yang pernah cinta mati dan menyantet suami kamu. Jangan membalas dendam pada orang lain, mereka gak ada hubungannya. Jangan bodoh, jangan gegabah. Andai kamu merelakan, semuanya akan berjalan lancar," jelas Mbah Parto khas gaya nasihatnya.
"Benar kata Mbah, kamu ini cantik, pasti gak susah nemu lelaki lajang yang bakal nerima apa adanya. Saya yakin kamu bisa bahagia tanpa menghancurkan hidup orang lain," timpalku.
Sarah hanya bergeming mendengar ceramah dari kami. Kuharap ia mengerti dan benar-benar menyesali perbuatannya.
"Dan, kamu bilang waktu itu lagi hamil tua. Anakmu ke mana?" tanyaku yang sudah memikirkan hal ini sejak semalam.
"Anak saya ... saya—" Ia menjawab gugup, membuatku semakin curiga. Dugaan aneh-aneh pun telah menggerayangi pikiran.
"Kamu bunuh?" tanyaku to the point. Ia langsung mendongak, kemudian menangis terisak. "Jawab!" tegasku lagi karena ia tak merespon apa-apa.
"I–iya, Mbak, saya bunuh."
"Astagfirullah ...." Sontak semua yang ada di ruangan itu serentak beristighfar. Aku langsung mengelus d**a, bisa-bisanya membunuh darah daging sendiri?
"Bener-bener perempuan b***t! Kamu gak tau, ya di luar sana itu banyak pasangan yang menunggu puluhan tahun! Menunggu diberi keturunan! Dan kamu?" Pak Aji akhirnya emosi.
"Beda, Pak. Mereka punya pasangan, ada yang menguatkan. Sedangkan saya? Suami saya diambil Tuhan duluan. Jadi, untuk apa saya mempertahankan anak itu?" kilahnya yang membuat kami semakin berapi-api.
Sarah mengaku, ketika ditinggal mati saat hamil tua, ia benar-benar jatuh dan depresi berat. Kehamilannya bermasalah karena ia tak mau makan. Alhasil si bayi kekurangan nutrisi, lahir normal, tapi kesehatannya menurun. Ia melahirkan di rumah, tanpa bantuan bidan atau dokter. Ketika sudah lahir, barulah ia berteriak meminta pertolongan.
Tetangganya yang menolong bukannya memberi semangat, malah mengata-ngatai Sarah. Ia menjadi bahan omongan. Menjadi janda ketika hamil tua. Hal itu membuatnya tambah depresi dan sulit berpikir jernih. Berkali-kali diciduk warga ingin gantung diri, tapi untunglah terselamatkan.
Baby blues syndrome yang menimpanya, membuat ia kehilangan akal. Ia benci ketika bayi malang itu menangis semalaman, mengganggu tidurnya. Pada awalnya ia enggan menyusui sang bayi, tapi dipaksa oleh tetangga kanan kiri.
Hingga akhirnya, di puncak kesabaran yang semakin menipis. Padahal bayi malang itu kelaparan, ia hanya minta disusui. Namun, Sarah yang gelap hati dan muak mendengar tangisan itu, langsung mengambil gunting dan menusuk-nusuk wajah anaknya sendiri. Tangisan anak malang itu berhenti, seiring dengan kepergiannya dari dunia. Ia bahagia di atas sana, dunia terlalu kejam untuknya.
Sarah yang heran mengapa bayinya tidur begitu lama, ia pun menggoyang-goyangkan tubuh mungil itu. Tidak ada respon, sudah lama tiada. Darah pun berceceran, tapi ia tak kunjung sadar.
Begitu menyadari bahwa ia telah membunuh anak sendiri, ia langsung menangis histeris, memeluk jasad sang bayi. Menyesal setengah mati, tapi percuma. Semua telah terjadi.
***
"Ya Allah."
Beberapa dari kami bergeming, tak bersuara usai mendengar ceritanya. Terlalu biadab untuk seorang ibu. Jika memang tak mau merawat, tak bisakah dikirim ke panti asuhan saja? Setidaknya masih ada nyawa yang terselamatkan.
"Kok kamu tega banget, Mbak? Anakmu itu, dia gak ngerti apa-apa. Ya Allah," ucapku masih terkejut.
"Iya, Mbak. Saya menyesal."
Mas Arif berdecak sebal, ia gatal ingin mengusir wanita itu karena sudah tersulut emosi. Namun, Pak Aji melarang, tunggu saja, siapa tahu ada pengakuan lain. Lebih cepat selesai, lebih baik.
"Saya bingung, Mbak."
Aku pun meminta diantarkan ke makam anaknya itu. Katanya, ia mengubur jenazah bayi malang itu di belakang rumah. Setiap malam, ia berbaring di sana, menangis dan menyesal. Berharap ada keajaiban dan anaknya kembali hidup. Memanggil, berteriak menyebut "Mama".
Namun, semuanya hanya halusinasi.
Kuelus batu nisan yang tak bertuliskan nama itu, karena Sarah belum memberinya nama memang. Cukup ditandai dengan sebuah batu dan payung kecil di atasnya.
"Sedihnya, kenapa saya menyayangi anak ini setelah dia tiada? Ketika dia ada, saya benci. Dia membuat saya ingat mendiang suami," ucapnya yang duduk di kursi roda karena tak bisa berjalan.
Aku menggeleng pelan, terlalu parah perbuatannya. Entah bagaimana cara Tuhan membalasnya kelak.
"Ya, sudah. Saya pulang dulu, kamu jaga diri baik-baik."
***
Fany pulang dengan membawa makanan ringan dan pizza kesukaanku. Rupanya ia ditawari bekerja sebagai kasir di salah satu restoran. Pemilik restoran tersebut adalah teman masa kecilnya. Ia pun menerima tawaran itu karena memang butuh uang.
Padahal, semua biaya hidupnya akan kutanggung hingga ia menikah nanti. Namun, ia bersikeras ingin kuliah sambil kerja karena tak ingin merepotkan.
"Cie, baru hari pertama kerja aja udah dibeliin makanan. Gimana ntar kalo gajian, ya? Langsung ditraktir satu kampung kita," godaku ketika ia sibuk membuka plastik makanan.
Ia tertawa malu, menahan pipi yang perlahan memerah itu.
"Gak papa, Mbak. Kebetulan ada simpenan uang dan emang lagi laper. Kan gak enak aku beli sendiri. Sekalian aja buat orang rumah. Pak Aji sama Mbah belum pulang, `kan?" tanyanya.
"Belum, mereka berdua tadi ngobrol di belakang. Biasa, bapak-bapak." Aku dan Mas Arif pun tertawa, sedangkan Bibi tersenyum tipis.
Bibi memakan keripik singkong kesukaannya, sedangkan Mas Arif menyantap pizza bersamaku. Fany? Ia membeli nasi goreng.
"Panggil Pak Aji noh sama Mbah," suruhku.
"Udah, sisakan aja. Nanti kalau udah kelar, pasti mereka datang ambil sendiri," kata Mas Arif.
"Iya juga. Gak baik ganggu mereka lagi ngobrol."
Tak lama kemudian, keduanya terlihat dari kejauhan masih saling mengobrol sambil tertawa. Ah, tampaknya obrolan ringan, candaan khas bapak-bapak.
"Panjang umur," ucapku.
"Habis ngomongin kami, ya?" Mbah mulai kegeeran.
"Haha, gak ada kok. Ini makan, Mbah, Pak. Nanti habis dimakan suamiku."
Tatapan Mas Arif berubah devil. Aku pun tertawa melihat ekspresi lucunya itu. Bukan takut, malah senang melihatnya marah.
Akhirnya, setelah beberapa hari rumah murung dan kelam, bisa melihat mereka bahagia begini hatiku sudah senang. Bersyukur Tuhan berbaik hati memberi kebahagiaan sederhana ini. Mas Arif lepas dari pengaruh jahat orang lain, pun rumah tanggaku kembali harmonis.
"Jadi, kapan kita pulang? Udah terlalu lama nih ninggalin anak bini," tanya Pak Aji kepada Mbah Parto sambil terkekeh.
"Besok atau lusa?" tawar Mbah.
"Terserah, asal jangan bulan depan karena nyaman."
Gelak tawa mereka terjadi lagi. Syukurlah, malam ini bisa tidur nyenyak. Akhirnya kejahatan itu kalah.
"Rame, ya, Mas? Apalagi kalau ada adek bayi." Ucapan itu, malah membuatku sedih karena belum dikaruniai anak lagi setelah keguguran. Mas Arif menarikku dalam pelukannya.
"Gak papa. Kadang faktor susah dapat anak itu karena banyak pikiran. Aku tau kamu stres banget mikirin Mas waktu Sarah masih menggila itu. Sekarang 'kan udah aman. Kita bisa coba kapan pun," ujarnya.
"Eh, Mbak. Aku baru nyimak grup tadi. Beneran Mbak Ningsih bunuh diri?"
Seketika kami terdiam, saling beradu tatap satu sama lain. Ah, kurasa Fany bertanya di saat yang kurang tepat.
"Iya, dua hari yang lalu udah dimakamkan. Kamu ke mana aja kok baru tau?" jawabku lalu balik bertanya.
"Maklum, Mbak, sibuk ngerjain tugas. Deadline-nya mepet banget. Gak sempat buka grup keluarga," jelasnya.
"Besok pagi Mbak ceritakan kejadiannya."