Tentang masa lalu Sarah yang membuatku tersentak. Tentang kesedihannya ditinggal sang suami dalam keadaan hamil tua. Sulit dibayangkan jika aku berada di posisinya. Pasti depresi, tertekan, dan bingung harus bagaimana. Apakah setelah mengetahui ini, aku memaafkannya? Tidak. Perbuatannya selama ini juga tidak bisa dibenarkan begitu saja.
Siang itu aku bersama Mas Arif pergi ke rumah Sarah. Tumben, ia sedang duduk di teras rumah dengan pakaian serba putih. Komplek ini pun seketika sunyi, hampir tidak terlihat orang berlalu-lalang di sekitar. Rumah pun banyak yang tertutup rapat.
Begitu sampai, ia menatap kami dalam. Wajahnya yang mulai rusak pun semakin memperhatinkan. Lukanya bernanah, hampir memenuhi seluruh wajahnya.
"Mukamu kenapa?" tanyaku berbasa-basi. Ia membuang muka, lebih tepatnya menolak eye contact.
"Saya kena karma, Mbak. Saya sudah diberi pelajaran oleh Tuhan. Mbak gak perlu repot-repot menghukum saya," jawabnya.
"Sekarang kamu sadar ini semua salah? Ngaku, semua yang kamu lakuin ini bener, `kan?"
Ia mengangguk cepat, kemudian bercerita menjelaskan semuanya. Ketika itu, ia tak suka dengan Tania karena mencampuri urusannya. Ia benci Tania yang membentaknya ketika itu, sehingga menyantet Tania hingga meninggal dunia. Mayatnya diseret, tapi sebelum itu, ia memotong tangan dan kaki Tania untuk dijadikan sesajen.
Tangan dan kaki itu nantinya akan dijadikan persembahan untuk iblis yang disembah Sarah. Ya, saat itu aku tidak salah lihat. Memang benar dia yang memakan tangan dan kaki Tania, tapi sedang dirasuki iblis. Alhasil, seakan-akan ia kanibal.
Setelahnya, ia tak suka jika ada orang lain yang ikut campur. Termasuk Pak Burhan dan istrinya saat itu. Tanpa basa-basi, ia pun mengirim ilmu santet yang mengakibatkan sakit luar biasa hingga meninggal dunia.
Yang terakhir, ia mengaku telah memelet Mas Arif karena merasa kesepian ditinggal sang suami.
"Maaf, Mbak. Saya dendam sama almarhumah adik saya dulu. Saya ingin perempuan lain merasakan sakit yang sama. Makanya saya nekat melakukan ini semua," jelasnya.
"Almarhumah? Jadi si Mayang sudah meninggal dunia?"
"Iya, Mbak. Seminggu setelah dikurung dalam rumah, dia bunuh diri. Minum racun tikus sama bensin. Orang-orang tahu besoknya, pas ada yang mau antar makanan," jawabnya.
"Ya Allah." Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Terlalu mengejutkan.
Mas Arif pun sedari tadi diam, ia hanya mendengkus kasar beberapa kali.
"Saya gak habis pikir, kenapa kamu tega? Istri saya gak ada salah apa-apa sama kamu, Mbak! Kok yo tega ngorbanin orang lain demi kepuasanmu sendiri?" Ia pun angkat bicara, mungkin tak tahan melihat Sarah yang bungkam.
"Karena Mas Arif mirip sama mendiang suami saya. Mirip sifatnya, kelembutan hatinya. Saya jatuh cinta kedua kali," jawab Sarah.
"Udah, Mas. Yang penting dia udah ngaku salah dan mau bertaubat."
"Iya, Mbak. Habis ini saya ingin bertaubat dan melenyapkan sihir pelet ini. Saya benar-benar minta maaf, tolong ampuni kesalahan saya." Ia memohon, memeluk kakiku lalu menciumnya. Segera kubantu ia berdiri.
"Saya belum bisa kalau sekarang. Mungkin bisa diberi waktu beberapa hari sampai saya memaafkan. Karena jujur, beberapa bulan belakangan saya menderita karena kamu, Mbak. Saya kehilangan janin juga mungkin karena kamu. Jangan memaksa saya segera. Assalamualaikum."
"Ah, iya, jangan hanya meminta maaf pada kami. Minta maaf sesungguhnya lah kepada Tuhan." Saran Mas Arif diterima, sebelum kami benar-benar pergi.
Dari kejauhan, ia kembali terlihat murung. Kasihan sebenarnya. Ia kesepian, tak mempunyai teman. Andai sejak kejadian menyedihkan itu ia segera bangkit, mungkin sekarang hidupnya menjadi lebih baik. Sarah cantik, pasti ada banyak lelaki yang menerima statusnya sebagai janda.
Susah memang jika perkara dendam.
***
Siang itu, Mas Arif izin kembali bekerja besok karena merasa tubuhnya sudah baikan. Namun, Pak Aji melarang dulu, lebih baik tunggu beberapa hari lagi. Semuanya harus diselesaikan sebelum terlambat. Luka di tubuh Mas Arif memang belum kering, tapi semangatnya kembali berapi-api. Aku senang, ia kembali.
Pelukan hangat darinya membuatku nyaman sekaligus terharu. Akhirnya Tuhan kembali menyatukan kami, meski berdarah-darah dan terseok-seok mencari kebenaran. Akhirnya, Sarah kalah, mengibarkan bendera putih dan mundur.
Bibi dan Fany pun ikut senang begitu mendengar ceritaku sepulang dari rumah Sarah. Mereka juga ingin pergi ke sana, ingin menjenguk Sarah langsung. Ingin melihat kondisinya yang melemah.
Namun, lagi-lagi Pak Aji melarang. Katanya sudah cukup selama ini terlalu baik ke orang lain. Sudah waktunya tegas dan biarkan ia merenungi kesalahan selama ini.
"Kita memang kasihan sama dia, tapi jangan lupakan perbuatannya yang keterlaluan. Jangan diberi ampun. Sakit yang dia alami sekarang belum seberapa," kata Pak Aji. Mbah Parto yang sedari tadi bungkam pun akhirnya angkat bicara.
"Itu hak kalian mau bagaimana ke dia. Apakah memaafkan atau memberinya hukuman dulu, tapi tetap aja bagi saya itu perbuatan salah. Ia harus mendapat sanksi sosial, di samping hukuman dari Tuhan."
"Apa gak terlalu kejam, Mbah? Jujur aja saya kasihan. Dia kesulitan bangun, makanya seharian duduk di luar. Masuk rumah aja harus merangkak. Makanya tadi sebelum pulang kami bantu dia masuk dulu," jelasku.
"Sekali lagi, itu hak kalian. Kami hanya mendorong dari belakang."
Aku dan Mas Arif beradu tatap, kemudian pergi. Meninggalkan empat orang lain di ruang tamu. Kami memutuskan untuk istirahat karena hari ini lumayan melelahkan.
***
Menjelang malam, aku dan Mas Arif memutuskan untuk keluar makan. Katanya sudah lama tidak mengajakku jalan-jalan. Ada saja halangan yang membuat hubungan kami renggang.
Dengan setelan kasual dan jilbab biru polos, aku berangkat dengannya memakai mobil karena motor kami dipakai Fany. Tadi ia izin nongkrong ke kafe bersama teman-temannya sambil mengerjakan tugas kuliah. Katanya sulit fokus belajar di rumah.
Sepanjang perjalanan, mataku tak lepas menatap sekitaran. Banyak hal yang berubah, termasuk pohon besar yang pernah menjadi tempatku berteduh ketika itu. Sudah ditebang, entah mengapa. Sayang sekali, padahal tanpa pohon, lingkungan terasa gersang.
"Liatin apa, sih dari tadi serius banget? Biasanya elus tangan aku," tanyanya.
"Gak tau kenapa, suasana malam tuh enak aja. Tuh, lihat, banyak lampu dan rame banget. Gak kayak di komplek Sarah tadi, sepi sunyi. Gak bakal tahan aku tinggal di sana," jawabku yang malah mengungkit Sarah.
"Mas juga heran, perasaan terakhir kali ke sana, masih banyak orang-orang. Kok tiba-tiba sepi begitu? Apa jangan-jangan mereka dijadikan tumbal Sarah juga?" Dugaan Mas Arif membuatku sulit menelan saliva.
"Semoga aja nggak, Mas, kan dia janji mau taubat."
Setelahnya hening, sampai akhirnya mataku menangkap sesuatu. Ya, mobil ambulan yang terparkir di depan sebuah rumah. Di samping mobil itu, terlihat petugas medis dan seorang ibu-ibu menangis. Sepertinya ada yang kecelakaan.
Kuminta Mas Arif berhenti dulu karena penasaran. Firasat mengatakan ada yang tidak beres.
"Maaf, Pak, ini kenapa? Ada kecelakaan?" tanyaku.
Ibu-ibu tadi menangis histeris dan berlari menuju ambulan, tapi dihalangi petugas. Ia kembali ditenangkan seorang pria yang kuduga adalah suaminya.
"Ada tahanan yang bunuh diri dalam sel. Kami bawa jenazahnya ke mari karena mau dimakamkan sekarang," jawab salah satu petugas.
"Innalilahi. Bunuh diri?"
"Iya. Almarhumah memecahkan piring makan dan langsung iris nadi memakai pecahan piring itu. Memang kata tahanan lain, ia sudah tiga hari menolak makan. Di perjalanan ke rumah sakit, dia meninggal dunia," jelasnya lagi.
Aku menghela napas tak tega, kasihan melihat ibunya.
"Ya Allah, Nak! Maaf, ibu belum bisa nembus dendamu! Hukumanmu terlalu berat, Nak."
Begitu mayat dikeluarkan, aku membekap mulut tak percaya. Langsung terdiam tanpa kata, benarkah ini dia? Mengapa harus bunuh diri?
Rasanya kakiku lemas. Tak mampu menopang tubuh lagi.
"Mas, i–itu `kan pembantunya almarhum Pak Burhan? Kalau gak salah namanya Ningsih," ucapku.
"Hah? Masa, sih?" Mas Arif pun tak percaya.
"Iya, Mas. Waktu itu aku masih rutin jenguk dia. Dia selalu bilang, bukan pembunuh, tapi semua bukti mengarah ke dia," jelasku berkaca-kaca.
"Anak saya memang bukan pembunuh, Mbak! Saya yakin dia gak sebejat itu sama orang, apalagi majikannya sendiri. Saya yang melahirkan dan merawatnya hingga sebesar ini," ucap sang ibu berderai air mata.
"Mas, ini pasti perbuatan Sarah. Sumpah, aku gak habis pikir sama dia. Udah berapa orang yang disakiti hatinya?"
***
"Dek, kamu gak melayat besok?" tanya Mas Arif setelah ia memesan makanan. Aku yang sudah tak mood pun hanya memesan es teh. Tak nafsu memakan apapun.
"Gak tau, tiba-tiba badanku gak enak, Mas."
"Eh? Kok bisa? Ya udah mesen teh hangat aja lagi."
"Gak papa, Mas. Paling masuk angin biasa."
Pelayan datang membawa pesanan kami, Mas Arif pun memakan spagetinya sangat lahap. Aku yang sedari tadi menahan muntah pun tak tahan. Izin pergi ke toilet dan mengeluarkan cairan itu. Cairan merah kental seperti darah.
Syok bukan main, tapi nanti saja periksa ke dokter. Tentu tak ingin membuat Mas Arif khawatir. Ia sudah sangat bahagia kali ini. Aku tak mau menghancurkan suasana.
Setelah membersihkan wastafel, aku buru-buru keluar karena takut ada yang melihat. Begitu sampai di meja, Mas Arif masih menikmati hidangannya. Bahkan ia memesan pizza lagi. Entah mengapa, nafsu makanku kembali bangkit.
"Tumben makan pizza, biasanya burger," ledek Mas Arif karena aku langsung comot satu potongan.
"Ngeliat Mas makan, aku jadi pengen juga." Aku cengengesan.
"Alesan. Sana pesen sendiri, kamu kan rakus." Ingin rasanya melempar gelas ini tepat di kepalanya. Aku tidak rakus, memang banyak makan karena butuh tenaga lebih.
"Takut gak habis. Nebeng Mas aja."
Melupakan muntah darah tadi, aku kembali tertawa dengan Mas Arif. Sudah hampir dua jam kami di sini. Tak terasa jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Untung sudah selesai makan, tinggal duduk sebentar dan pergi membayar.
Urusan dengan kasir selesai, waktunya kami pulang. Di tengah perjalanan, tak sengaja bertemu dengan Fany yang sedang memesan sesuatu di kafe. Ia melambai tangan, teman-temannya pun tersenyum ketika kubuka jendela mobil.
"Pulang jangan kemalaman!" teriakku.
"Iya, Mbak! Hati-hati pulangnya!" balasnya dari jarak beberapa meter.
Mas Arif menatapku tak enak setelah kejadian itu. Aku pun balik menatapnya heran dan sewot.
"Sayang banget sama Fany, jangan-jangan kamu juga udah dipelet sama dia," ucapnya.
"Eh, sembarangan kalo ngomong! Fany tuh anak baik-baik. Wajar aku perhatian karena udah anggap dia adik sendiri," jelasku tak kalah tajam.
"Yakin? Kok dia berkumpul ama cowok-cowok itu?"
"Namanya juga tugas kuliah, jelas ada cowok ceweknya dong. Gak boleh suuzon."