Diam-diam Nina mendengarkan pembicaraan Rafa dengan asistennya yang sedang membahas mencari desainer bernama Karenina lulusan Esmod, Londan. Nama yang sama dengan Nina pakai untuk jati dirinya sebagai desainer, namun ia tidak ingin kegeeran jika yang dicari Rafa adalah dirinya, siapa tahu mungkin di luar sana ada nama desainer yang sama.
“Cakra cari sampai dapat desainer itu, saya ingin kerja sama dengannya. Desain yang kemarin dia menangkan itu saya tertarik untuk membelinya. Hubungi majalah Mode itu untuk dapat kontak personnya!” tegas Rafa sembari kembali melirik Nina yang masih berdiri di hadapannya.
“Sebentar, ini kalau yang dimaksud menang lomba desain, dua bulan yang lalu aku memang menang lomba di majalah Mode. Jangan-jangan yang dimaksud Karenina itu adalah aku,” batin Nina menebak. “Kalau memang benar—“ Nina menyunggingkan senyum miringnya, semakin sempurna dia mempermainkan suaminya tersebut.
Seusai menerima panggilan telepon, Rafa agak mencondongkan tubuhnya. “Kenapa kamu belum juga di tanda tangani suratnya! Atau kamu memang sengaja sedang menguping pembicaraan saya barusan!” tuding Rafa.
Mata Nina mendelik, bibirnya pun mencebik. “Bukan sengaja mendengar Tuan, tapi telinga saya masih normal bisa mendengar jelas. Lagian kalau tidak mau saya mendengar kenapa tidak nyuruh saya keluar atau Tuanlah yang keluar dari ruangan, jadi gak menuding saya sengaja menguping. Wong saya ini punya kuping kok,” jawab Nina, lupa barbar nya keluar lagi.
“Astaga!” seru Rafa udah geregetan, ia berkata satu kalimat maka akan dijawab seribu kalimat oleh Nina.
“Cepat tanda tangan, setelah itu kamu bisa menemui Pak Gusti! Dan, ingat jangan cari perhatian, menggoda saya jika ingin lama bekerja di sini!” perintah Rafa tegas, tampaknya kali ini tidak bisa dibantah oleh Nina.
Lagi, Nina membulatkan matanya sebelum menaruh surat kontrak ditangannya ke atas meja untuk ditandatangani. “Percaya diri sekali saya mau menggodanya, disangka cowok ganteng hanya dia aja. Masih banyak pria yang lebih tampan darinya di luar sana,” gerutu Nina sangat pelan bagaikan bisikan angin yang lewat begitu saja, tetapi suara bisikan itu terdengar jelas di telinga Rafa.
Rafa mendesis pelan, lalu mendorong kursinya ke belakang saat Nina agak membungkukkan punggungnya ketika mulai menandatangani kesepakatan kerja.
“Baiklah Tuan Rafa, suamiku yang telah melupakan istrimu ini. Hari ini aku akan mengikuti permainanmu, sampai di mana kamu tidak tergoda denganku, dan aku juga tidak sabar ingin membawamu ke penjara!” batin Nina sorak bergembira.
Kesepakatan kerja sudah selesai, Rafa meminta gadis itu segera keluar seakan sudah jengah untuk berlama-lama dengan Nina.
Rupanya Gusti sejak tadi sudah menunggu di depan ruang kerja, lalu ketika Nina sudah keluar ia mengajak gadis itu untuk menaruh tasnya terlebih dahulu ke kamarnya yang ada di paviliun, sekaligus memberikan seragam maid yang harus dikenakan.
“Setelah kamu ganti baju, temui saya di dapur kotor, saya akan menunjukkan pekerjaan kamu serta memberi tahukan peraturan di sini,” ucap Gusti sebelum meninggalkan Nina.
“Siap Pak Gusti, terima kasih,” balas Nina tersenyum, kemudian menutup pintu kamarnya.
Sesaat gadis itu mengedari pandangannya di dalam kamar yang akan ia tempati, cukup nyaman meski tidak semewah kamarnya di rumahnya. Kemudian, langkah tergerak untuk duduk di tepi ranjang sebelum ia berganti pakaian. “Semoga aku kuat tinggal di sini, kamu harus kuat Nina!” seru Nina mengulum senyum tipisnya.
***
Setengah jam kemudian, dengan kemeja biru lengan pendek model slim fit dipadu dengan rok span ¾ warna hitam dan sepatu flatshoesnya, Nina sudah berada di ruang dapur kotor. Di sana sudah ada Gusti dan Bik Yuni salah satu maid yang umurnya sudah setengah baya, wanita yang pertama kali ia kenal saat sengaja mengikutinya di pasar, berkat wanita paruh baya itulah ia tahu ada lowongan kerja jadi maid di sana.
“Peraturan di sini sudah jelas jika nanti ada bagian pekerjaan yang akan kamu lakukan di sini, namun untuk sementara waktu bantu Bik Yuni biar tahu cara teknik bekerja di sini, seminim mungkin jangan sampai ada kesalahan. Patuhi segala perintah yang diminta oleh saya serta Tuan dan Nyonya. Dan, hal yang paling perlu kamu ketahui, jangan sesekali berani menggoda Tuan Rafa! Dilarang keras kecuali kamu ingin segera berhenti kerja dari sini. Nyonya Emma tidak bisa disepelekan, jika kelihatan ada yang berniat seperti itu maka siap-siap ditendang dari sini,” jelas Gusti, hal yang serupa dijelaskan oleh Rafa.
Nina mangut-mangut paham. “Sudah jelas Pak Gusti, dan saya juga ingin menyampaikan perjanjian kerja saya di sini dengan Tuan Rafa hanya dari pagi sampai jam tiga sore karena saya harus sudah di rumah sakit,” balas Nina dengan santainya.
“Oh, hanya sampai jam tiga saja,” ucap Gusti tampak heran.
Gadis itu tersenyum tipis. “Sesuai dengan gaji yang saya terima. Jadi Pak Gusti jangan iri hati. Oke kalau begitu apa yang harus saya kerjakan sebelum waktu kerja saya habis?” tanya Nina, ia harus mulai memainkan perannya sebagai maid baru.
Gusti melayangkan pandangannya pada Bik Yuni. “Buatkan kopi untuk kedua orang tua Tuan Rafa yang baru saja datang, serta kopi buat Tuan Rafa. Saya ingin mengetes apakah minuman buatanmu bisa diterima atau tidak oleh mereka,” titah Gusti sepertinya sengaja ingin menjatuhkan mood Nina.
Nina menyunggingkan senyum miringnya, dipikir kepala pelayan dia tidak bisa buat kopi. “Tunjukkan letak kopi dan cangkirnya, dengan senang hati saya akan buat kopi untuk mereka bertiga,” pinta Nina dengan sopannya.
Gusti mengangkat dagunya pada Bik Yuni. “Mari Nina, saya tunjukkan tempatnya,” ajak Bik Yuni seraya bergerak ke lemari kabinet, dengan sigapnya Nina melakukan ritual bikin kopinya.
Sementara itu di ruang keluarga, Rafa mengecup pipi Fira, mamanya, setelah itu duduk bersama kedua orang tuanya.
“Ke mana istrimu?” tanya Fira seraya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut.
“Biasa Mam, ada pemotretan,” jawab Rafa terkesan malas untuk menjawabnya. “Tumben Mama sama Papa ke sini?”
Fira menatap Brata, suaminya, lalu kembali menatap putranya. “Mama sama papa habis jenguk istrinya Pak Keenan habis lahiran, anaknya ganteng,” balas Fira.
Rafa tersenyum kecut jika mamanya sudah ngomong masalah anak dengannya, ujung-ujungnya pasti akan menyinggung istrinya yang sampai saat ini belum juga mau hamil karena profesinya sebagai model menuntut menjaga bodynya, dan Rafa tidak keberatan akan hal tersebut.
“Oh habis jenguk, pasti Mama mau tanya kapan aku punya anak, 'kan?” tebak Rafa.
Fira menggeleng pelan, sementara Brata menggenggam tangan istrinya. “Rafa, Mamamu tidak akan bertanya kamu kapan punya anak, tidak perlu khawatir. Hanya saja Papa yang ingin memberitahukan jangan sia-siakan umurmu, apalagi sekarang usiamu sudah 33 tahun, bukan usia yang muda lagi. Apa salahnya kamu cek kesehatan kalian berdua, apakah sehat atau ada kendala sebelum kamu menyesal. Mungkin saja sekarang kamu masih menikmati hidup bahagia hanya berdua saja, tapi dengan hadirnya seorang anak hidupmu makin bahagia,” tutur Brata.