Memang masih banyak orang di dunia ini suka merendahkan orang lain, tidak jauh berbeda seperti yang Nina rasakan saat ini. Meski bilangnya tes membuat kopi, tapi Gusti mengawasinya bak dirinya sebagai tersangka yang melakukan kesalahan besar.
Nina yang terlahir dalam keluarga terpandang bukan berarti ia hidup dalam kemewahan, justru hidupnya penuh tekanan serta penderitaan dari Angela–ibu tirinya serta Flora–saudara tirinya.
Hidup bagaikan cinderella yang harus mengerjakan segala pekerjaan pembantu demi bisa tinggal di mansion papanya, hingga suatu ketika saat ia lulus SMP dijemput oleh Basri–kakeknya, lalu dibawa tinggal bersama di Balikpapan. Ya, kakeknya pula yang menyekolahkannya hingga ke London. Jadi, siapa pun yang akan menghantam mental Nina, gadis itu sudah terbiasa.
“Kalau sudah selesai, antarkan kopi tersebut ke ruang keluarga,” pinta Gusti agak tersenyum jahat ketika melihat kopi buatan Nina sudah jadi. Ia sangat yakin jika kopi buatan Nina pasti tidak enak, karena gadis itu tidak membuatnya menggunakan mesin kopi, tapi masih dibuat secara tradisional.
Nina agak memicingkan matanya mendengar perintah Gusti. “Mengantarkan kopi ini? Sedangkan saya tidak boleh menunjukkan diri di depan Tuan Rafa ... jadi ada baiknya Pak Gusti saja yang mengantarkannya ke sana,” tolak Nina secara halus, walau sebenarnya ia tidak masalah harus mengantarkannya.
Gusti menarik napasnya dalam-dalam dengan menegak punggungnya. “Ada saya yang mendampingimu, jadi tidak perlu khawatir,” balas Gusti tegas, kemudian melangkah terlebih dahulu.
“Oh, oke,” sahut Nina sembari mangut-mangut, lalu ia mengangkat nampan berisikan tiga cangkir kopi buatannya, serta kudapan yang memang selalu tersedia di dapur.
Sementara itu di ruang keluarga, Brata masih belum selesai memberikan ceramah pada putra sulungnya, meskipun Rafa sudah tampak jengah dengan nasehat tersebut.
Untung saja ceramah Brata terpotong ketika Gusti datang bersama Nina.
“Permisi Tuan dan Nyonya, saya ingin mengantarkan kopi,” ucap Gusti dengan sopannya, lalu ia bergerak menepi memberi ruang untuk Nina menyajikan kopi tersebut.
Dengan mengulum senyum tipisnya Nina menaruh ketiga cangkir tersebut di atas meja serta kudapannya sembari ujung matanya melirik kedua mertuanya yang selama ini belum pernah ia kenal dan bertemu. Rafa mendengus sebal saat Nina-lah yang menyajikan kopi.
“Pantas saja anaknya ganteng, papanya ganteng, mamanya cantik,” puji Nina hanya dalam hatinya saja. “Tapi sayang anaknya rada-rada,” lanjut kata hatinya berceletuk.
“Nyonya, Tuan, silakan diminum kopinya, selamat menikmati,” pinta Nina sangat ramah sembari membungkukkan punggungnya sebagai tanda hormat pada Fira dan Brata, kalau Rafa dilewati olehnya.
“Terima kasih,” ucap Fira sembari memperhatikan wajah Nina. “Sebentar ... kamu maid baru di sini kah?” cegah Fira sebelum Nina undur diri.
Nina tidak jadi memutar tumitnya. “Iya Nyonya, saya baru saja diterima bekerja di sini. Nama saya Nina, kalau Nyonya butuh sesuatu bisa panggil saya,” balas Nina sangat ramah, maklumlah sedang bicara dengan mama mertuanya yang terlihat sangat baik orangnya, bisa dilihat dari wajahnya yang teduh serta suaranya yang lembut.
“Pantas saja saya baru melihatmu, semoga kamu betah di sini,” ucap Fira ramah sembari menelisik tubuh Nina yang tampak putih mulus dan terawat.
Rafa mendesis pelan sekaligus jengkel lihat sikap Nina yang terlalu ramah itu, dari pada harus melihatnya ia mengambil cangkir kopi tersebut dan mulai menyesapnya perlahan-lahan, sama seperti hal yang Brata lakukan.
Gusti menunggu reaksi dari kopi buatan Nina tersebut yang kini sedang dinikmati oleh tuannya.
Detik pertama belum ada reaksi, Rafa masih mengulang menyesap kopinya. Detik kedua kening pria itu agak mengernyit, detik ketiga ia kembali menyesap kopinya lalu berkata. “Pak Gusti ini kenapa rasa kopinya sangat berbeda ya?” tanya Rafa sembari menatap curiga pada kepala pelayannya.
Dalam diamnya Gusti tersenyum, lalu ia sedikit berdeham sebelum berbicara. “Mohon maaf Tuan Rafa jika rasa kopinya hari ini kurang enak, saya akan segera menggantikannya dengan yang baru,” jawab Gusti sembari melangkah maju untuk mengambil kembali ketiga cangkir kopi tersebut.
“Bukannya tidak enak, justru kopi ini sangat enak beda dengan biasanya, pertahankan rasa kopi ini. Setiap saya minta buatkan kopi, saya ingin seperti ini ... rasanya sangat pas,” ucap Rafa sembari menyesap kembali kopinya.
“Benar katamu, kopi ini sangat enak,” timpal Brata.
Tenggorokan Gusti rasanya tercekat mendengar pujian tersebut, dan Nina hanya bisa mengulum senyum tipisnya.
“Baik Tuan, saya akan mengingatnya,” jawab Gusti menahan rasa kecewanya, kemudian melangkah mundur. Lalu, mengajak Nina untuk undur diri dari sana.
Fira menatap punggung Nina hingga gadis itu menghilang dari penglihatannya, dan dipertemuan pertama kalinya wanita paruh baya itu terkesan dengan Nina.
“Maid yang barusan dari daerah mana?” tanya Fira sembari mencoba kopi yang katanya enak, ternyata memang enak rasanya.
“Dari Kaltim, tumben Mama pakai nanya asalnya dari mana. Biasanya juga tidak peduli,” celetuk Rafa sembari menaruh kembali cangkir kopinya.
Fira tersenyum kecut lantas menyesap kopinya kembali sebelum berkata. “Mama hanya merasa melihatnya agak berbeda saja dengan maid kamu yang lainnya. Dia memiliki kulit putih mulus, bodynya udah kayak model ya 11 12 sama istri kamu, tapi kenapa dia mau aja jadi maid? Kenapa tidak mencoba bekerja sebagai SPG produk, lulusan SMU juga bisa melamar pekerjaan itu, apalagi kulit wajahnya itu putih mulus loh sangat mendukung kalau dia melamar untuk produk kosmetik. Atau dia bisakan kerja di departemen store kamu di Jakarta itu untuk jadi SPG fashionmu itu? Ketimbang jadi pembantu di sini yang nanti ujung-ujungnya dipecat sama istrimu itu,” imbuh Fira memberikan saran.
Track record Emma yang suka memecat maidnya sudah sampai ke telinga Fira, mau menegur langsung rasanya enggan. Sebenarnya Fira dan Brata tidak terlalu menyukai menantunya tersebut. Tetapi ya mau bagaimana lagi anaknya bersikukuh ingin memperistri Emma.
“Mama ini kenapa harus mengatur hidup orang, dia yang memilih bekerja di sini. Dan tidak mungkin aku memberikan saran padanya seperti yang Mama ucapkan tadi! Kurang kerjaan sekali!” gerutu Rafa tampak jengkel.
Wanita paruh baya itu menyunggingkan senyum miringnya. “Ya sudah kalau begitu nanti Mama saja yang kasih saran buat dia, semoga saja dia mau mendengarkan. Ketimbang lama-lama bekerja di sini, selain capek tenaga tapi capek mental,” sindir Fira.
“Mam!” tegur Rafa dengan membulatkan matanya, tidak senang dengan tanggapan Mamanya.
“Loh, kok, kamu malah marah. Yang punya kehidupan itu dia bukan kamu kok! Mumpung dia baru kerja di sini, dan belum telat'kan,” ucap Fira dengan santainya.
Rafa mendesah sembari mencondongkan dirinya ke depan. “Dia baru bekerja satu hari di sini Mam, kalau Mama ingin memberikan saran padanya tunggu dia tiga bulan kerja di sini. Aku udah capek ngurus penerima maid tiap bulan!” tegas Rafa.
Fira lantas ikutan memajukan dirinya agak ke depan dan menatap dalam pada buah hatinya itu. “Justru seharusnya kamu didik istrimu itu untuk bisa menghargai pekerja yang ada di sini. Jangan karena menjadi Nyonya dan istrimu, lantas dia bisa sombong, angkuh dengan orang yang lebih rendah darinya. Ingat Nak, di atas langit masih ada langit. Suatu saat jika Allah berkehendak kita terjatuh dari ketinggian, maka kita pun akan jatuh. Dan di sanalah kamu akan merasakan apa arti hidup yang sesungguhnya!” imbuh Fira tegas.
Sudah tiga tahun Fira diam melihat perangai Rafa dan istrinya, kali ini sudah tak tertahankan lagi. Yang belok harus diluruskan kembali, jika tidak bisa, maka doa seorang ibu yang selalu Fira panjatkan untuk anak-anaknya.