Kepulangan seorang Aruna bukanlah hal yang ia inginkan karena sejak dulu keinginannya hanyalah pergi menjauh dari semua hal yang membuatnya merasa sangat menderita. Keluarga dan teman semuanya bagaikan buah simalaka yang harus ia telan sendiri. Apalagi perebutan harta keluarga menjadi hal kelam yang harusnya ia hindari tapi karena permintaan sang Oma yang memintanya untuk pulang, membuatnya akhirnya memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Aruna tak ingin sang Oma menyelidiki apa yang telah ia sembunyikan selama ini dan sebaliknya ia merasa berhutang budi karena sejak kecil sang Oma yang telah membesarkannya.
Aruna namanya yang dulu dieluh-elukan bukan hanya kecantikan dan kecerdasannya, tapi juga cucu perempuan yang menjadi kandidat terkuat pemimpin Wiyasa grup. Apalagi Aruna memang didik sejak kecil oleh Oma Mentari untuk menjadi pewarisnya, ia mengabaikan cucu-cucunya yang lain karena merasa mereka terlalu serakah sama seperti anaknya kecuali Aruna. Bocah kecil yang tidak diperdulikan oleh ayah dan ibu tirinya itu hanya bisa menangis ketika ia tidak dianggap. Mentari awalnya tidak menyukainya bagaimana tidak, anak hasil perselingkuhan putranya itu ditinggalkan begitu saja di Kediamannya dan membuat rumah tangga putranya itu hancur. Tentu saja awal kedatangan Aruna di Rumah ini membuat suasana rumah tangga putranya semakin memanas, apalagi tes DNA menujukkan jika Aruna memang benar-benar merupakan keturunannya.
Aruna kecil dituntut sempurna dan ia selalu mendapatkan nilai terbaik di sekolahnya. Walaupun setiap kali keluarga besarnya itu berkumpul, ia selalu dianggap tidak ada. Hanya Mentari yang memberinya perhatian dan nasehat-nasehat agar berusaha menjadi yang terbaik dari para saudaranya yang lain. Mentari tidak pernah membedakan jenis kelamin dalam memperlakukan anak atau cucu-cucunya. Dimana yang terbaik, itulah yang akan memegang tampuk kekuasaan Wiyasa grup. Dulu seperti itulah yang ia yakini karena ia melihat potensi para cucu-cucunya.
Aruna memang telah lama pulang dari Amerika, setelah menamatkan kuliahnya di Havard jurusan ekonomi bisnis dan ia segera pulang ke Indonesia, namun tidak kembali ke Jakarta seperti seharusnya. Aruna memilih Bandung menyembunyikan dirinya untuk membesarkan buah hatinya. Ia tidak ingin siapapun tahu jika ia telah memiliki anak dan berusaha membesarkan seorang diri. Terlebih lagi ia tak ingin keluarga besarnya tahu dan juga laki-laki yang telah menghamilinya.
Aruna sengaja berpura-pura pulang dari Amerika dan ia meminta supir pribadi sang Oma untuk menjemputnya di Bandara. Sandiwara yang harus ia lakoni demi keselamatannya dan juga putrinya. Trauma masalalu yang ia alami membuatnya takut bertemu laki-laki itu, kebencian serta kemarahan yang terpupuk dipikirannya. Pikirannya yang selalu dihantui oleh masalalu yang membuat masa depannya hancur. Ternyata mencintai itu adalah kelemahan terbesarnya, meskipun berusaha melupakan rasa sakit dan mengorbankan dirinya, namun ternyata apa yang ia lakukan pasti telah menyakiti buah hatinya.
"Non Aruna," panggil seorang pria barubaya yang melambaikan tangannya membuat Aruna tersenyum. Aruna menggeret kopernya dan ia melangkahkan kakinya mendekati Pak Ujang yang telah bekerja bersama Omanya dari puluhan tahun. Pak Ujang jugalah yang dulu selalu mengantarnya kemanapun ketika ia berada di Kediaman Wiyasa.
"Ya ampun Non tambah cantik saja," puji Pak Ujang.
"Pak Ujang biasa saja, Bapak kayaknya nggak berubah sama sekali," ucap Aruna membuat Pak Ujang tersenyum.
"Ayo Non, Nyonya Besar sudah menunggu!" Ucap Ujang.
Aruna masuk kedalam mobil, ia duduk dengan tenang namun tidak dipikirannya yang saat ini sedang memikirkan apa yang akan terjadi nanti ketika ia pulang dan bertemu para keluarganya yang lain. Aruna juga bingung bagaimana menjelaskan kepada Omanya, jika Omanya itu tahu ia telah melahirkan tanpa suami. Aruna tidak bisa membayangkan bagaimana murkanya seorang Mentari padanya. Ia berharap tidak ada satupun keluarganya yang tahu untuk sementara ini. Beberapa menit kemudian Aruna sampai di Kediaman Wiyasa tempat ia dibesarkan dan kenangan-kenangan ketika ia berada di Kediaman ini memenuhi pikirannya.
Seorang bocah perempuan yang menangis meminta agar ibunya membawanya pergi dan tidak meninggalkannya di rumah ini menjadi hal yang begitu menyakitkan. Ia tidak ingin membuat anak-anaknya merasakan apa yang ia rasakan, ia juga tidak ingin anaknya memiliki saudari tiri dari ibu atau ayah yang berbeda seperti dirinya. Aruna berusaha agar ia tidak menikah demi anak-anaknya meskipun anaknya membutuhkan sosok seorang ayah, dia akan menjadi ayah sekaligus ibu bagi anaknya.
Aruna turun dari mobil dan ia melangkahkan kakinya memasuki rumah ini. Sudah beberapa tahun lamanya ia tidak menginjakkan kakinya di Rumah ini dan seperti ia yang ia lihat, keadaan rumah ini tidak banyak berubah. Aruna mengedarkan pandangannya dan ia melihat sosok perempuan tua dengan rambutnya yang memutih dan tersanggul rapi menatap kearahnya. Aruna tahu pasti Omanya itu merindukannya, namun ia tahu jika akan ada selalu batasan baginya untuk terlihat rapuh ataupun sedih dihadapan sang Oma. Aruna melangkahkan kakinya dengan cepat mendekatinya dan mengulurkan tangannya, ingin mencium punggung tangan perempuan kuat yang selama ini ia kagumi.
Aruna berhasil mencium punggung tangan sang Oma dan ia menahan rasa harusnya agar tidak menangis. Sekeras apapun sang Oma mendidiknya, ia tetap menyayangi seorang Oma Mentari karena selama ini hanya Omanya ini yang ia miliki. "Kenapa harus Oma yang memintamu untuk pulang? Jika Oma tidak memintamu pulang apa kamu akan pulang?" Tanya Mentari menatap Aruna dengan sendu. Bocah cantik dan mungil yang dulu terlihat menyedihkan kini tumbuh menjadi sosok perempuan cantik yang terlihat mengagumkan.
"Ada banyak hal di luar sana yang harus Aruna pelajari Oma," ucap Aruna.
"Hingga perusahaan kita hampir bangkrut baru kau akan pulang? Memang sepantasnya Oma memohon padamu agar kamu mau mengabdi di perusahan kita," ucap Mentari dingin.
Aruna menggelengkan kepalanya "Bukan begitu Oma," ucap Aruna.
"Ikut dengan Oma karena ada yang perlu kita bicarakan!" Ucap Mentari dengan langkah kakinya yang pelan ia mengajak Aruna cucunya ini mengikutinya masuk kedalam ruang kerjanya. Dari lantai dua seorang perempuan paru baya melihat kedatangan Aruna Wiyasa, anak yang menjadi duri dalam daging dikehidupan rumah tangganya. Kedatangan perempuan itu membuatnya merasa kesal karena ia tidak ingin dengan kehadiran perempuan itu menghambat putranya menjadi pemimpin perusahaan.
Sementara itu saat ini Aruna duduk dihadapan mentari dan keduanya saling menatap seolah mengukur kekuatan masing-masing. Aruna bisa melihat sosok Oma Mentari terlihat lemah dan tidak terlihat kuat seperti dulu. "Oma tahu betapa sulitnya kamu menginjakkan kakimu di Rumah ini," ucap Mentari. Sebenarnya apa yang diucapkan Omannya ini benar, ia memilih untuk menjauh dari keluarga ini karena tak ingin terlibat dengan pertengkaran yang hanya membuat hidupnya menderita.
"Saya tahu mengakhiri semuanya sekalipun menghilangkan nama belakang saya, saya tetap bagian dari keluarga ini," ucap Aruna.
"Kamu memang bagian dari keluarga ini, sejak dulu dan selamanya kamu adalah seorang Wiyasa," ucap Mentari.
"Iya Oma benar," lirih Aruna.
Mentari menghembuskan napasnya dan ia menyandarkan punggungnya dikursi kerjanya. Ia mengedarkan pandangannya lalu kembali menghembuskan napas beratnya. "Sebenarnya Oma tidak ingin memintamu pulang, tapi ada sesuatu yang membuat Oma merasa kamu harus pulang Aruna," ucap Mentari. Dulu ia memang menginginkan Aruna menjadi pewarisnya dan bertarung dengan cucunya yang lain, namun ketika ia tahu pertarungan itu akan menjadi sang berat bagi Aruna membuatnya membuatkan Aruna memilih kehidupan bebasnya. Menantunya pasti tidak akan membiarkan begitu saja anak tiri yang ia benci menjadi pemimpin di keluarga ini. Meskipun Mentari tahu Aruna mampu menjadi pemimpin perusahaan, namun melihat ambisi gila menantunya yang menginginkan putra sulungnya memimpin perusahan, membuat Mentari akhirnya membiarkannya.
"Kakakmu ternyata tidak mampu mengelolah perusahaan kita Aruna, Papimu tidak bisa membantu karena kerugian yang kita alami begitu besar," ucap Mentari.
"Aruna juga tidak yakin Oma bisa membantu," jujur Aruna. Yang ia hanya punya pengetahuan untuk memimpin perusahaan dan pengalamanya bekerja dibeberapa perusahaan. Meskipun lulus dengan nilai tertinggi di angkatannya, namun ia sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang dihadapi perusahan keluarganya dan memberikan solusi. Aruna tahu jika perusahan bangkrut pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk bertahan satu memperbaiki perusahaan.
"Dari apa yang Oma dengar hanya kamu yang bisa membantu Aruna," ucap Mentari membuat Aruna bingung. Mentari menatap Aruna dengan sendu dan sebenarnya keputusan membawa Aruna pulang juga permintaan cucu sulungnya. Kelvin tidak akan memohon kepadanya agar meminta Aruna pulang jika ia tidak terdesak.
"Aruna tidak mengerti apa ucapan Oma, kenapa hanya Aruna yang bisa membantu perusahaan?" Tanya Aruna.
"Ini masalah investasi dan dana segar," ucap Mentari. Aruna merasa dibohongi karena sebelumnya Memyari mengatakan kondisinya tidak sehat hingga membuatnya khawatir dan memutuskan untuk pulang.
Tiba-tiba pintu terbuka sosok Kelvin melangkahkan kakinya dengan cela masuk kedalam ruang kerja Mentari dan ia melihat kehadiran Aruna disana. "Hanya kamu yang bisa membantu perusahaan kita, temui laki-laki ini!" Ucap Kelvin mengeluarkan selebar foto laki-laki yang membuat tubuh Aruna bergetar. Keringat dinginnya mengucur dan ia merasa sangat ketakutan saat ini, Aruna menggelengkan kepalanya menolak untuk menemui laki-laki yang ada di foto itu.
"Mungkin saja ini semua juga karena kamu, hingga dia menjalankan hal gila lalu membuat perusahan kita bangkrut," ucap Kelvin menatap Aruna dengan dingin.