Bab 4

1062 Words
Baru pertama kali ini Airin sangat tidak bersemangat ketika pulang ke rumah. Biasanya ia akan senang sekali jika sudah waktunya pulang, karena ingin cepat-cepat bertemu Tendi dan memakan masakan Endang yang selalu membuat lidah berpesta ria. Hanya saja kali ini berbeda tidak ada Tendi bahkan lelaki itu tidak menghubunginya sama sekali membuatnya khawatir, cemas dan mengakibatkan pikirannya diisi dengan hal-hal negatif. Seperti Tendi berselingkuh di sana? Atau sedang bermesraan dengan wanita malam? Tapi Tendi buka tipe laki-laki yang seperti itu ia sangat taat kepada Tuhan dan selalu menjauhi hal-hal yang dilarang dalam agama. “Tendi belum menghubungi kamu Rin?” tanya Endang mereka sedang makan malam dengan ikan yang dibakar hasil dari mancing Bakti tadi sore. Airin menggelengkan kepalanya. Wanita itu menggunakan baju tidur berwarna pink dengan lengan pendek dan celana panjang, rambut panjangnya ia gelung sampai memperlihatkan leher putihnya. “Mas Tendi pasti baik-baik saja kan Bu?” Endang mengangguk yakin. “Pasti, Tendi mungkin sedang sibuk. Kamu tahu sendiri kan suami kamu itu seorang pemimpin perusahaan dia paling sibuk di antara yang lain. Jadi kamu sabar ya. Ibu yakin Tendi pasti akan kasih kabar ke kamu.” “Ayah juga yakin Tendi pasti baik-baik saja. Setelah ini Ayah akan telepon teman Ayah yang sedang di Medan, dan suruh dia buat datang ke hotel Tendi untuk lihat keadaan dia. Ayah nggak tega lihat kamu cemas kayak gini Rin.” Airin merasa bersalah kepada kedua orangtuanya karena telah merepotkan seperti ini. Hanya saja ia sekarang merasa lega karena Bakti akan meminta temannya untuk melihat keadaan Tendi. Meski pun Tendi sudah besar dan dewasa ia sangat ingin tahu tentang kondisinya apakah suaminya itu baik-baik saja atau tidak. “Makan yang lahap supaya kamu bisa memarahi Tendi karena lupa kasih kabar ke istrinya. Ibu juga marah kalau jadi kamu Rin.” Endang dengan semangat menambahkan nasi ke dalam piring Airin tidak lupa dengan ikan bakar yang dicampur dengan kecap campur cabe rawit di dalamnya. “Makasih Bu.” Airin memakannya dengan lahap. Tekstur ikan yang lembut kemudian rasa manis yang bercampur dengan rasa pedas membuat lidah Airin bersorak ria. Ini perpaduan yang sangat pas membuatnya ketagihan dan sanggup menghabiskan seluruh makanan yang ada di dalam piring dengan gembira. “Enak?” Endang menatap menantunya dengan wajah antusias. Nikmat sekali melihat Airin memakan masakannya dengan lahap seperti ini. “Enak Bu, Ibu harusnya ikut Master Chef biar semua orang tahu bahwa masakan Ibu lebih dari chef yang ada di restoran mahal.” Bakti tertawa keras. Untung saja ia sudah selesai makan jika tidak mungkin duri dalam ikan akan masuk ke dalam tenggorokannya. “Masa sih? Bukannya kalau Ibu ikut Master Chef baru episode pertama aja ibu sudah di keluarkan kalah karena lelet masaknya.” “Ikut acara sana kan harus cepet. Di waktu. Ibu tuh masak segini aja harus dari sore terus selesainya malam,” ucap Bakti melanjutkan ucapannya tadi. Endang menyenggol Bakti dengan sikutnya. “Awasnya Ibu nggak mau masak buat Ayah lagi. Masak buat Airin aja biar selesainya cepet.” Endang lantas pergi menuju ruang televisi menyalakannya dan duduk dengan wajah datar sambil menonton acara kesukaanya. “Jangan gitu dong Bu. Ayah minta maaf.”  Bakti langsung menyusul Endang ia tidak mau harus mencari makan di luar, tadi ia hanya bercanda tidak adil jika karena hal itu ia tidak bisa memakan masakan paling enak di dunia ini. Airin yang melihat tingkah mereka dari meja makan hanya terkekeh geli. Ayah selalu menggoda Ibu dan Ibu akan mengeluarkan ancamannya yang tidak bisa membuat Ayah bertahan. Kemudian keduanya akan berbaikan kembali dan akan saling menggoda lagi. Airin sangan beruntung di pertemukan dengan keluarga ini. Tidak pernah Airin mendengah Ayah membentak Ibu atau pun sebaliknya mungkin ini juga alasan Tendi selalu sabar menghadapinya. “Bu, Yah. Airin ke kamar dulu ya.” Endang dan Bakti melihat ke belakang dan mengangguk. “Kalau udah ada kabar dari teman Ayah nanti Ayah kabarin Rin.” “Siap Yah.”  Endang lantas memeluk Bakti dari samping dan meletakkan kepalanya dengan nyaman di d**a suaminya, “Anak kamu tuh kurang ajar. Dia itu pura-pura lupa atau memang benar-benar lupa? Tendi itu udah punya istri kenapa dia belum kasih kabar sampai sekarang? Pusing aku pikirin anak kamu.” “Punya dua anak laki-laki tapi kelakuannya pada aneh semua. Yang satu nggak pulang-pulang dan milih tinggal di luar negeri sama anaknya yang satu nggak kasih kabar ke istrinya. Dulu juga kamu kayak gitu bedanya aku bodo amat kalau Airin kan beda.” Bakti hanya diam dia tidak mau memulai perdebatan lagi. Ia juga pusing memikirkan kedua anak laki-lakinya. “Ini salah kamu dulu pas akum au punya anak lagi kamu nggak mau karena udah punya anak dua. Terus setelah Tendi SMA kamu mau punya anak perempuan ya nggak bisa lah. Aku tuh udah tua nggak sanggup melahirkan walaupun di bedah.” Endang tidak bisa berhenti mengomel ia akan mengeluhkan semua yang ia rasakan kepada suaminya. Salah siapa coba dia seperti ini? Semua ini salah Bakti dan suaminya harus mau mendengarkan semua keluh kesahnya. “Yaudah kalau gitu aku telepon aja sekertaris Tendi. Gitu aja kok ribet.” Bakti mengeluarkan Handphone miliknya dan menelepon Angga sekertaris Tendi. Baru saja sambungan terjawab Bakti sudah mengomel terlebih dahulu. “Anggak. Tendi ke mana saja? Kok sampai sekarang belum kasih kabar ke istrinya?” Angga yang baru saja keluar dari restoran dengan kekasihnya mengerutkan keningnya. “Saya di Jakarta Pak. Pak Tendi terbang ke medan sendirian. Katanya saya urus saja perusahaan yang ada di Jakarta. Sampai sekarang Pak Tendi belum kasih kabar Pak?” “Belum lah kalau udah masa saya telepon kamu. Kamu antar dia ke bandara nggak? Awas saja kalau nggak berarti kamu makan gaji buta!” Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menatap kekasihnya untuk izin pergi menjauh darinya. Bisa gawat kalau kekasinya tahu kelakuannya di kantor. “Iya dong Pak. Saya antar sampai Pak Tendi masuk ke Bandara.” “Yaudah kamu telepon temen kamu yang ada di Medan dan bilang ke Tendi supaya kasih kabar ke istrinya. Saya juga minta pesawat yang dinaikin Tendi. Bisa gawat kan kalau pesawatnya hilang dan saya nggak tahu nomor penerbangannya?” “Ayah!” Angga tertawa terbahak-bahak mendengar Bakti dimarahi oleh Endang karena mengatakan hal yang aneh. Bakti membaca nama pesawat yang dikirimkan oleh Angga. Kemudian betepatan dengan itu di layar televisi menayangkan jika pesawat Boing 217 penerbangan menuju Medan hilang kontak sejak kemarin. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD