Dulu setelah melahirkan anak pertama yang ternyata seorang laki-laki, Endang dan Bakti sangat menginginkan anak perempuan. Tiga tahun kemudian Endang melahir kan seorang anak laki-laki yang diberi nama Tendi. Meski pun mereka sangat menginginkan seorang anak perempuan akan tetapi kehadiran seorang Tendi membuat mereka kembali bahagia. Endang dan Bakti selalu berdoa kepada Tuhan agar kedua anaknya selalu sehat dan panjang umur sampai mereka bisa merasakan pusingnya mengurusi anak dan bahkan pusing menghadapi para cucu yang meminta jajan kepada mereka
Berita malam ini membuat mereka tercengang Endang yang tidak bisa menahan kesedihannya lantas naik ke kamar Airin, dengan tergesa ia ingin bisa dengan cepat pergi ke tempat menantunya.
“Airin,” ucap Endang dengan suara seraknya. Ia tidak bisa menahan linangan air mata di kedua matanya.
“Bu, ada apa?” Airin terkejut melihat kedua mata mertuanya memerah. Apakah Endang bertengkar hebat dengan bakti gara-gara makanan? Tidak mungkin, mereka tidak pernah debat masalah sepele seperti itu
“Kamu tahu nama pesawat yang ditumpangi oleh Tendi?”
Airin mengangguk. “Pesawat boing 217 Penerbangan menuju Medan. Ada apa Bu? Ayah sudah bisa menghubungi Mas Tendi?”
Mendengar jawaban Airin membuat Endang lemas bahkan sekarang ia terduduk di bawah sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak bahkan sekarang menangis dengan suara keras Bakti pun menyusul ke atas dan terpaku melihat istrinya menangis seperti itu.
Airin kebingungan. Apalagi baru pertama kali ini ia melihat mertuanya menangis seperti ini. “Yah? Ada apa? Mas Tendi baik-baik saja kan?
Bakti terdiam kemudian turun ke bawah tanpa mengatakan apa pun. Seperti mengetahui keinginan Bakti untuk mengikutinya Airin pun turun ke bawah meninggalkan Endang, ia ingin memberikan ruang kepada mertuanya agar bisa kembali tenang. Meskipun ia tidak tahu apa yang membuat mertuanya menangis seperti itu.
Bakti tidak bisa berkata apa-apa mulutnya terasa membeku tidak bisa mengucapkan satu kata pun. Bahkan saat ini ia hanya bisa memberik kan ponselnya yang menampilkan berita tentang hilangnya pesawat yang ditumpangi oleh anaknya.
“Tidak mungkin!” Airin sudah membacanya jantungnya berdegup kencang seluruh tubuhnya lemas bahkan kepalanya terasa pening. Ia terduduk di lantai dan manatap handphone itu dengan tatapan teruka.
“Mas Tendi pasti masih hidup kan Yah? Pesawatnya saja yang hilang! Mas Tendi pasti masih ada di Jakarta! Bahkan bisa saja Mas Tendi salah naik pesawat dan dia sedang kebingungan untuk pulang!” Airin mulai melantur, ia berusaha mengatakan kemungkinan terbaik yang bisa terjadi kepada Tendi, otaknya tidak terima dengan informasi buruk seperti ini.
“NGGAK! MAS TENDI NGGAK MUNGKIN MENINGGAL!” teriaknya kembali. Sisi dirinya entah kenapa membenarkan jika Tendi suaminya sudah tidak ada di muka bumi ini.
Air matanya kembali deras ketika mengingat kata-kata dan keinginan Tendi sebelum pergi ke Medan. Tendi ingin mempunyai anak, dan dia dengan teganya mengatakan ingin menundanya terlebih dahulu karena ingin fokus terhadap karirnya.
Kepala Airin terasa pening tenggorokannya terasa kering bahkan seluruh tubuhnya lemas tidak berdaya. Makanan yang tadi dimakannya tidak bisa membuatnya kuat kehilangan Tendi seperti kehilangan separuh tubuhnya. Airin tergeletak di bawah dengan mata terpejam, bahkan jika bisa dia sangat ingin menyusul Tendi. Hidup berdua di sana dan memiliki anak sesuai dengan keinginan suaminya.
Sebenarnya Airin sudah sadar sejak Ibu dan ayah mertuanya meninggalkannya sendirian di dalam kamar. Kedua matanya tidak sanggup menatap kembali dunia, rasanya ia ingin menutup mata selamanya.
“Mas kamu baik-baik saja kan?” serunya sambil membuka kedua matanya.
Ia memiringkan badannya ke kanan dan disajikan dengan pandangan lampu tidur yang dibiarkan menyala. Besok semuanya akan baik-baik saja kan? Dia mengusap tempat yang sering digunakan Tendi tepat di sebelahnya sebelum kejadian mengerikan ini datang mereka sempat berbincang mengenai anak. Sialnya Airin tidak mendapatkan firasat buruk ketika suaminya menginginkan seorang anak.
“Mas, maaf kan Airin. Mas Tendi pasti pulang kan? Airin janji semua keinginan Mas Tendi akan aku penuhi. Semuanya termasuk keinginan memiliki anak.”
Kedua mata Airin berlinangan air mata. Ia tidak sanggup menahan kepedihan yang ada di hatinya. Bagaimana jika Tendi benar-benar pergi meninggalkannya? Ia tidak bisa hidup tanpanya. Tidak akan pernah bisa.
“Mas. Mas Tendi tolong aku. Aku nggak kuat.” Airin terisak sambil mencengkram dadanya yang terasa sanga sakit. Ia benar-benar menyerah, tidak sanggup menahan kesedihan ini. Kepada siapa ia mengadu? Tidak ada yang bisa mengerti keadaanya kecuali Tendi.
“Aku memang istri durhaka. Bisa-bisanya aku menolak keinginan suami. Aku mohon Mas kembali. Kamu kayak gini karena aku nakal kan? Aku janji aku akan jadi istri yang baik.” Keadaan Airin benar-benar kacau. Seprai hitam yang membungkus kasurnya basah karena air matanya. Matanya juga mulai membengkak.
Airin semakin mengeluarkan air mata ketika membayangkan jika pesawat itu benar-benar jatuh lalu hancur berkeping-keping apakah bisa suaminya selamat? Pesawat itu terbuat dari besi yang kuat berbeda dengan manusia yang terbuat dari tanah, rapuh dan mudah terluka.
“Mas. Kamu baik-baik saja kan?” Airin hanya bisa bermolog tidak ada satu pun orang yang mendengarkan perkataanya, yang ia inginkan adalah bertemu dengan Tendi dan menanyakan pertanyaan itu ke suaminya langsung.
Airin tidak bisa menghentikan linangan air matanya. Bahkan ia menggigit bibirnya agar suara tangisannya teredam dan tidak ada satu pun yang mendengarkan. Ia tidak ingin membuat kedua mertuanya bersedih Airin tahu bukan hanya ia yang terluka di sini. Pintu kamarnya terbuka, Airin segera memejamkan kedua matanya agar Endang dan Bakti tidak tahu bahwa dia sudah sadar.
Bakti menaruh kasur lipat yang ia bawa dari kamarnya ke dalam kamar Airin sedangkan Endang membawa selimut dan bantal beserta guling. Endang menatap Airin dengan tatapan sendu.
“Kamu tidur duluan. Aku mau cari bantuan buat cari informasi tentang pesawat Tendi. Agak lama jadi kamu nggak usah nunggu aku,” jelas Bakti kepada istrinya. Ia tidak bisa hanya berdiam diri ketika anaknya sedang mendapatkan musibah.
Endang mengangguk. Ia serahkan semuanya kepada Bakti. Ia sudah tidak sanggup mendengar informasi buruk tentang Tendi. Bahkan ia harap Tendi diberi anugrah oleh Tuhan agar bisa selamat dan tidak mengalami hal buruk apa pun.
“Kamu nggak boleh lupa kasih kabar. Mau kabar apa pun harus segera bilang.” Hanya saja Endang tidak bisa tenang jika tidak mendapatkan informasi tentang Tendi.
“Iya. Kamu juga harus kasih kabar. Jangan lupa taruh ponsel, mulai sekarang ponsel kamu harus dibawa kemana-mana.”
Endang mengangguk kemudian membiarkan suaminya menutup pintu dan meninggalkannya bedua dengan Airin. Kunci utama Bakti kunci tenang saja ia masih mempunyai kunci cadangan. Ia kembali menatap Airin dengan raut wajah sendu.
“Kamu yang kuat Rin. Apa pun yang terjadi sama Tendi kamu harus kuat,” ucap Endang setelah itu ia membaringkan tubuhnya di bawah dan memejamkan kedua matanya. Mereka harus menyiapkan hati yang kuat agar bisa tetap tegar menerima semua fakta yang akan mereka hadapi.
**