Bab 5

1068 Words
Zea terus berbicara mengeluarkan semua sumpah serapahnya pada Mezo. Sebab setelah pulang dari rumah orangtua Zea. Mezo malah membawanya ke sebuah tempat yang Zea sendiri tidak tahu akan dibawa ke mana. Jika ditanya mau kemana Mezo hanya mengangguk-angguk malas kadang hanya berdehem untuk menganggapi pertanyaan Zea. "Lo mau culik gue? Lo butuh duit?" tanya Zea yang entah sudah ke berapa kali. "Sekarang lo berhenti atau gue lompat." Mezo hanya diam malas menjawab, Zea mendengus kesal. Bahkan pria itu tidak terkecoh dengan ucapan Zea, mana mungkin juga Zea rela mati begitu saja. Intinya ia harus membuat Mezo menderita dahulu baru boleh mati. "Udah sampai." Akhirnya setelah perjalanan yang hampir menempuh selama satu jam mereka sampai di depan rumah berpilar putih dengan halaman rumah yang sangat luas. "Ini rumah siapa?" tanya Zea. "Rumah kita." "Kita?" Zea tertekeh dengan nada mengecek. Sungguh ucapan Mezo sangat lucu. "Lo kira gue mau satu rumah sama lo?" lanjut Zea. "Ingat ya sebelum lo pindah ke rumah tu, kita itu udah cerai." "Nggak ada yang namanya perceraian, lo bakalan terus sama gue kecuali gue mati," jawab Mezo dengan mata menatap Zea dengan keseriusan. "Kalau lo mati gue bakalan nikah sama orang lain dan itu ide yang bagus," lanjut Zea menatapin sinis ke arah Mezo. Mezo menatap ke arah Zea tajam. "Ya udah bakalan gue ganggu lo, gue ngetayangin." "Yaudah mati sana," ucap Zea ngasal Zea mengelengkan kepalanya tidak habis pikir, di dunia ini saja sudah menyusahkannya masa sekarang di dunia lain juga. "gue bakalan bunuh lo." Zea beranjak setengah bangun dari kursi dan langsung mencekek leher Mezo dengan erat. Mezo tersedak ludahnya sendiri karena terkejut dengan serangan tiba-tiba itu. Mezo tidak bergerak ia ingin melihat sampai mana Zea berani padanya. Mezo mencoba menarik tangan Zea, tapi Zea malah semakin menekan lebih kuat. Tangan Mezo yang berada di kedua lengan Zea ia lepaskan. Mata Mezo tertutup dengan tubuh yang sudah terkulai lemah di kursi mobil. Zea melotot melihat Mezo yang sudah menutup matanya dengan erat. Zea melepaskan tangannya dari leher Mezo, tangan Zea bergetar. Apa tadi Zea mencekek Mezo terlalu kuat? "Zo," lirih Zea dengan suara tercekat sarat dengan ketakutan. "Lo serius udah mati?" Zea mengigit jarinya dengan pikiran yang sudah tidak bisa ia kendalikan sendiri. "Zo." Zea kembali mendekat, menggoyangkan tubuh Mezo berulang kali agar bangun tapi, Mezo tidak bangun sama sekali. Zea mengecek hidung Mezo. Tidak ada napas yang terhembus. Air mata Zea mengalir tanpa bisa di cegah. Ia tidak menyangka sudah membunuh orang. "Maaf." Zea memeluk Mezo dengan erat. "Gue benci lo, tapi gue nggak nyangka bisa ngebunuh lo." Zea menangis dengan suara yang besar sangking sesaknya. "Gue lebih jahat dari lo, gue bakalan serahin diri ke polisi." Zea mengambil ponselnya hendak menelepon Ayahnya. Mencoba mengontrol tangannya yang bergetar untuk tetap bisa menekan layar ponselnya. "Halo, Yah Mez-," Zea terdiam melihat ponselnya yang sudah ditarik seseorang, ia menatap ke depan dan Mezo tidak mati. Ia masih bisa mematikan sambungan telepon itu. "Lo bohongi gue?" Zea memukul d**a dan lengan Mezo dengan kuat. Mezo hanya terkekeh pelan, tenaga Zea untuk mencekiknya tidak akan sanggup membuat Mezo mati. Dan tadi juga ia menahan napas agar Zea berpikir bahwa ia sudah meninggal. "Makanya kalau takut nggak usah sok keras." Tidak perduli dengan hinaan oleh Mezo yang terpenting sekarang Zea bisa bernafas lega karena pria itu tidak jadi mati. "Lo khawatir sama gue?" "Iya, nggak lah. Gue cuman khawatir nanti masuk penjara. Sekarang gue mau pulang!" Zea mengalihkan wajahnya ke arah jendela, Zea masih saja menangis, Akhirnya Mezo mengalah dan mengemudi mobil untuk kembali ke rumah biasa tempat mereka tinggali. *** Kantin sudah sangat ramai sehingga membuat Zea dan kedua temannya kesulitan untuk mencari tempat duduk. "Zea," teriak seseorang membuat Zea mencari sumber suara. Dan ternyata Mezo yang memanggil dengan tangan yang seolah mengajaknya untuk duduk di meja Mezo. Di samping Mezo ada Zidan pria yang terkenal seram itu. "Zea lo mau duduk di sana?" tanya Bella. "Udah lah, yok ke sana. Dari pada berdiri di sini, kan Mezo suami lo." Sisil menarik tangan Zea agar menuju meja Mezo. Dengan pasrah Zea mengikuti langkah Sisil begitu pun dengan Bella. "Duduk sini." Mezo menepuk samping tempat duduknya tapi Zea tidak perduli dan lebih memilih duduk di samping Zidan begitu pun dengan Sisil yang duduk di sampingnya. Bella bingung mau duduk di mana dan akhrinya ia duduk di samping Mezo. Zea makan tanpa bersuara, ia jadi tidak fokus melihat Bella dan Mezo yang tampak sedang asik berbicara. Bahkan sekarang Bella tertawa. Dan sekarang Sisil temannya malas asik berbicara dengan Zidan. Walaupun Zidan tampak kesal dan kadang mengumpat ke arah Sisil, tapi Sisil masih saja tersenyum dengan lebar ke arah Zidan. Sekarang Zea merasa jadi anak buangan. "Ze kok nggak dimakan, mau disuapin?" Zea mendelik dan membuang muka tidak menanggapi ucapan tidak berguna itu. *** Zea mengganti-ganti siaran TV tanpa jelas ingin menonton apa. Sekarang Zea berada di dalam kamar Mezo, ia memilih nonton di kamar karena jika nonton di luar tetap saja Zea akan sendiri menonton TV. Ia tidak tau kemana mertuanya berada sekarang. Ia melempar remot itu asal ke atas sofa dengan kasar. Tidak tahu kenapa sejak makan siang tadi di kampus mood Zea langsung turun. Mungkin karena di cuekkin. Zea kembali melihat jam dan sudah dua jam Mezo belum kembali, bukan karena rindu tapi Zea merasa kesepian. Rumah ini sangat besar hingga terkadang Zea merasa sendiri padahal pasti ada pekerja yang masih ada di dalam rumah ini. Cklek. Suara pintu terbuka membuat Zea membalik melihat siapa yang membuka pintu ternyata Mezo yang baru pulang. Pria itu melepaskan jaketnya lalu menaruhnya ke atas kasur, kebiasaan. Gerutun Zea dalam hati. Dengan terpaksa Zea bangun dan menaruh jaket itu di tempatnya, karena percuma kalau di suruh pun Mezo pasti pria itu menjawab "Iya bentar." "Belum tidur?" tanya Mezo setelah menghabiskan waktu setenggah jam di dalam kamar mandi. "Ini mau tidur." Zea meletakkan ponselnya ke atas nakas samping tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. "Kenapa muka lo kayak gitu?" "Gitu gimana?" tanya balik Zea dengan wajah cemberut. "Eh tidur di sofa sana," ucap Zea saat melihat Mezo yang juga ikut merebahkan tubuhnya di samping Zea. "Kita udah nikah ya, gue nggak mau tidur di sofa," jawab Mezo. "Lo kenapa di sini sih, sana jangan tidur bareng gue." Zea menyepak punggung Mezo agar segera ke bawah, tapi pria itu masih tetap pada pendiriannya yang ingin tidur satu ranjang dengan Zea. "Nurut atau gue paksa lo buat ngelayani gue sekarang!"

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD