Bab 3

1309 Words
"Kemana aja?" Tanya Zidan saat melihat Mezo yang berjalan memasuki bengkel. Padahal pria itu sudah berhari-hari tidak ke sini, dengan alasan ada Zidan yang akan memantau pekembangan usaha Mezo. Andai saja Mezo tidak mengancam akan mengatakan keburukannya pada Papanya, Zidan tidak akan mau menjadi bawahan pria itu. "Bukan urusan lo," jawab Mezo datar dengan mata yang menjalahi sekitar bengkel, melihat karyawannya apakah bisa bekerja dengan becus atau tidak. "Lo gue pecat!" ujar Zidan tiba-tiba yang membuat Mezo menatap Zidan dengan heran. "Karena lo jarang datang ke sini." "Yang boss tu gue bukan lo." "Yaudah karena lo boss, cepat pecat gue. Males tau nggak jadi babu lo?" Mezo terkekeh sinis dan malah dengan santainya berjalan menuju ruangannya. "Sial," umpat Zidan. Zidan tidak habis pikir dengan pria itu. "Lo kenapa sih? Seharusnya lu tu senyum-senyum kayak sinetron yang gue tonton, kan lo nikah sama orang yang lo suka." "Hm," balas Mezo malas. Padahal Mezo ingin menenangkan diri, tapi sekarang ia malah di nganggu oleh mahkluk yang berada di depannya ini. "Gue harus cepat-cepat suruh Papa gue buat segera buat surat ahli waris, biar gue nggak takut lagi di coret dari ahli waris." Zidan rasanya ingin menghajar Mezo saat ini juga, pria itu mempunyai sebuah bukti kenakalannya. Hingga sekarang Zidan harus patuh pada Mezo, dari pada hartanya malah gagal ia dapatkan. Mezo hanya diam. Merasa di cuekki, Zidan menyepak meja Mezo dengan kuat hingga meja itu tergeser dan langsung keluar meninggalkan Mezo sendiri. *** Zea menuju tempat parkir yang berada di kampusnya, ini karena Mamanya yang menelepon menyuruh untuk pulang karena katanya rindu. Padahal Zea berencana akan pergi jalan ke Mall bersama Bianca dan Sisil. Tapi tidak apa, Zea juga sudah sangat kangen dengan rumah. "Mama!" panggil Zea di depan pintu dengan suaranya yang melengking. Karena rumahnya yang tidak terlalu besar, pasti orang tuanya akan mendengar suara Zea. "Assalamualaikum Ze," tegur Nurul saat sudah membuka pintu untuk anaknya. "Hehe, iya. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam, kamu ni ya kenapa jarang banget datang ke sini?," tanya Nurul dengan mata yang melirik-lirik ke belakang seperti mencari seseorang. "Suami kamu kemana?" tanya Nurul. "Mezo?" "Iya, iya lah. Emang siapa lagi kalau bukan Mezo?" Nurul memukul pelan bahu anaknya itu dengan gemas. "Ouh dia sibuk Ma." Zea berbohong, sebenarnya tidak tahu pria itu di mana sekarang. "Mama nggak mau, kamu telepon Mezo. Suruh datang ke sini." "Tapi Ma." "Nggak ada tapi-tapiian cepat Zea." Zea menghentak kakinya kesal dan langsung mengirimkan pesan kepada Mezo. "Kenapa nggak telepon aja sih," ucap Nurul yang sudah sangat geram sekarang dengan Zea. "Kan sama aja." "Awas kamu kalau Mezo nggak datang. Yaudah sekarang masuk." Zea langsung masuk mendahului Nurul. "Ayah," seru Zea saat melihat Ravi, ayahnya yang sedang menonton TV. Zea langsung ikut duduk di samping Ravi dan memeluk pria itu dari samping. Walaupun ayahnya sudah tega membuatnya menikah dengan Mezo, tapi entah kenapa sangat sulit rasanya membenci orang yang sangat baik selama ini padabya "Mezo mana?" Zea mendengus kasar, kenapa sih Mezo terus. "Lagi jalan ke sini." "Kenapa nggak berengan aja tadi?" "Dia sibuk," jawab Zea dan sekarang Revi hanya mengangguk pelan. "Eh lo, mana Kak Mezo?" tanya Rara, adik Zea yang paling kecil. Zea sudah menampakkan tampang menyeramkannya. Bisa nggak sih sehari aja ia tenang tanpa ada Mezo? Ini sungguh memuakkan. "Tanya aja sama Ayah, mana Dea?" "Lagi pergi sama temannya." Zea mengangguk dan memilih untuk beranjak bangun dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Kamar yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil itu masih sama saja dengan terakhir kali Zea lihat. Kamar ini juga sangat bersih pertanda jika Mamanya sering membereskan. Kamar yang bertema pink ini dengan dekorasi yang sangat indah membuat Zea lebih betah di sini daripada di rumah Mezo. Walaupun kamar Mezo itu besar, tapi kamar itu mendominasi berwarna hitam bahkan tidak ada hiasan sama sekali. Suram dan hampa. Zea memutarbalikkan wajahnya kebelakang untuk melihat siapa yang masuk, ternyata itu Mezo, kenapa cowok itu cepat sekali datang ke sini. Zea menggeram kesal, kenapa sih dia harus datang. "Hm," dehem Mezo dan Zea hanya sekilas dan kembali fokus ke buku yang barusan Zea ambil. Mata Zea langsung melotot saat sesuatu terbang ke arahnya. Berwarna merah, berbentuk seperti kurma. Kurma? Zea panik ia membuang bukunya kesembarangan arah, ia langsung berlari ke arah Mezo dan manjat ke tubuh yang gagah itu. Mezo hanya diam menikmati itu semua, hingga tiba-tiba kecoak itu terbang ke arahnya. Mezo langsung menginjak kecoak itu hingga tidak bisa bergerak lagi. Zea yang mengintip langsung terkejut. Zea yang sadar posisinya sekarang langsung menelan air liurnya susah payah. Sial. Ia berusaha untuk turun tapi pria itu malah memeluknya erat malah Zea merasakan lehernya sedikit basah dan seperti ada bibir yang menempel ke lehernya. "Ihh Geli Zo." Zea memberontak agar di turunkan. Mezo melepaskan pegangan eratnya di pinggang Zea hingga perempuan itu terjatuh di lantai yang dingin. "Ihhh, sial," umpat Zea dengan tangan yang setia mengusap pantatnya yang agak sedikit nyeri. "Tadi gue kira lo nggak bakalan jatuh," ucap Mezo tanpa merasa bersalah. Pria itu malah duduk di atas kasur dan lalu merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Zea terdiam dengan perasaan campur aduk, tidak sengaja arah pandangannya bertemu dengan cermin yang berada di samping tempat tidur. Ia cepat-cepat menuju cermin melihat lehernya dengan mata yang melotot. "Kek mana bisa merah kek gini?" gumamnya Zea pada dirinya sendiri. Jangan lupakan Mezo yang menutup wajahnya dengan bantal karena sekarang Mezo menahan tawa. Zea berusaha mengingat apa yang menjadi penjebab bisa merah seperti ini. "Mezo!!!" geram Zea dan berbalik menatap ke arah Mezo. "Apa?" "Lo apaain kok bisa gini?" "Gue isap. Kenapa lo mau sebelahnya lagi?" Zea menggeram marah. "Sini lo, gue mau balas. Enak aja lo bikin leher gue merah." Mezo langsung duduk dengan cepat dan menatap Zea tidak habis pikir. Ini sungguh di luar dugaannya. Mezo mengangguk. "Sini," ajak Mezo sambil menunjuk lehernya. Langsung saja Zea meletakkan bibirnya tepat di leher Mezo. Dengan susah payah Zea melakukan aksinya. Mezo menggeram, ia mencengkeram erat pinggang wanita itu. "Ihh kok merahnya cuman sedikit sih," gumam Zea. Lalu ia menghentikan ciuman itu dan kembali berdiri. "Mana kamar mandi?" tanya Mezo. "Hah?" tanya Zea ulang karena suara Mezo yang seperti tertahan. "Di mana kamar mandi?" "Di situ," tunjuk Zea ke arah pintu yang bewarna coklat. Mezo bergegas meninggalkan Zea menuju kamar mandi, sungguh dibawahnya sudah sangat nyeri. *** "Mezo mana?" tanya Nurul saat melihat Zea yang sekarang sedang santai duduk di depan TV. Zea memutar bola matanya malas, selalu Mezo, apa pelet yang diberikan oleh Mezo hingga Mamanya sangat suka dengan pria itu. "Mandi." Nurul mengernyitkan dahinya binggung dan melihat ke arah dinding jam yang menunjukkan jam dua siang. "Kok mandi siang-siang sih?" "Ya mana Zea tau," balas Zea sekedarnya. "Kamu ini ya nggak perhatian banget sama suami," geram Nurul kesal. "Ya buat apa? Orang awalnya Zea nggak ada rencana nikah sama dia." Nurul menatap tidak habis pikir ke arah anaknya. Langsung saja Nurul menjewer telinga anaknya. "Berani sekali lagi kamu berprilaku nggak baik sama mantu Mama." Zea berusaha melepaskan tangan Nurul dari telingannya. "Lagi pula ini sudah takdir Ze, kamu harus berusaha untuk menerima semua takdir ini. Mamanya yakin Mezo adalah jodoh yang terbaik buat kamu," jelas Nurul panjang lebar. "Takdir Zea itu bukan sama Mezo," balas Zea. "Lucu kamu ya." Nurul melepaskan tangannya dari telinga Zea saat matanya melirik leher Zea yang terdapat bekas cupang. Zea mengusap telingannya yang memerah. "Lucu apa sih Ma?" "Bilang nggak ada rencana nikah sama Mezo, tapi leher merah-merah." Zea langsung mengambil rambutnya dan meletakkan rambut panjangnya ke samping leher. "Emang kenapa sih, Ma?" "Itu tanda orang saling cinta." Setelah mengucapkan itu, Nurul langsung meninggalkan Zea dengan wajah anaknya yang melongo. Jantung Zea langsung berdetak kencang saat ingat apa yang berusan terjadi padanya Mezo. Bisa-bisanya Zea beranggapan jika apa yang Mezo lakukan hanya sebatas perlakuan kasar hingga lehernya memerah. "Bodoh banget sih." Zea memukul kepalanya, bahkan tadi Zea membalas perlakukan Mezo. Sungguh memalukan, mau dibawa kemana wajahnya ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD