Bunyi ketukan sepatu memenuhi koridor dengan dinding-dinding kaca. Ada tumbuhan sintetis tertanam di pot besar. Terletak di setiap sudut.
Senyum indah terukir di wajah cantik terawat seorang gadis dengan pakaian blouse dongker dan rok span putih selutut. Di tangannya tergenggam Ipad seukuran buku yang sudah seperti sahabat karibnya.
Langkahnya berhenti di satu ruang. President office. Tempat di mana orang nomor satu perusahaan ini berada. Sakila membukanya.
"Siang Pak," sapa Sakila pertama kali. Sopan. "Mobil sudah siap." Seolah biasa dengan efisensi. Tanpa basa-basi Sakila menyerukan maksudnya datang kemari. Namun, bosnya justru tidak bergerak satu centi pun dari sofa. Oh, bahkan kehadiran Sakila pun tak diketahuinya.
"Pak?" panggil Sakila.
"Oh. Maaf. Tadi kau bilang apa?"
Samar kerut di kening Sakila nampak. Selama bekerja dengannya. Belum pernah Sakila melihat seorang Adeen Lihong tidak fokus.
"Mobil sudah siap. Kita terlambat sepuluh menit. Saya dapat konfirmasi dari sekretaris Tuan Hirata kalau beliau tidak masalah dengan itu."
"...."
Lagi, bosnya diam. Seolab pikirannya tak di sini.
"Pak? Kita berangkat sekarang?" tawar Sakila. Membuat Adeen terpengarah.
"Itu... Sakila. Beritahu aku berapa besar keuntungan yang ku peroleh jika bertemu dengan Tuan Hirata."
Sakila sempat bingung sejenak sebelum menjawab, "maaf, untuk rinciannya bukan keahlian saya menjelaskan. Tapi bisa saya katakan. Tuan akan untung besar. Garis besarnya, Tuan Hirata adalah investor sekaligus pemilik perusahaan pengiriman antar benua. Dekat dengannya menjadi keuntungan besar. Lihong Group bisa memperluas pasar ke luar negeri. Khususnya makanan instan dan marketplace. Lalu... Lihong group juga bisa mendapat ilmu penting untuk kemajuan anak perusahaan Fast. Kurang lebih seperti itu." Sakila menjabarkan pendapatnya.
Adeen mengangguk paham. Tentu saja dia paham. "Ya, kau benar. Akan rugi jika aku membuatnya kecewa."
"Baiklah. Saya akan--"
"Batalkan."
"Ha?" Sakila terbelalak. Ini bukan seperti bosnya yang ambisius.
"Batalkan pertemuan. Aku percaya ini bukan satu-satunya kesempatan."
Ya, Adeen akan merasa sangat hina sekali jika tak menemui gadis itu. Harga dirinya lebih penting ketimbang materi dunia.
"Baiklah," ucap Sakila pasrah. Entah apa yang sedang merasuki bosnya. Sakila hanya seorang sekretaris. Perkataan bos adalah perintah. Dia langsung menghubungi sekretaris Tuan Hirata. Sedang Adeen melesat keluar ruangan. Langkahnya bergegas menemui lift. Sensor gerak mendeteksi kehadiran seseorang. Lift berhenti tanpa harus menekan tombol. Adeen masuk. Tujuannya lantai dasar.
Kurang dari sepuluh menit. Lift sampai. Adeen memangkas jarak ke meja resepsionis. Dua gadis dengan penampilan modis sibuk dengan urusan masing-masing. Menggenggam telepon kantor dan berbicara dengan orang seberang. Atau mencatat sesuatu di note.
"Hei," sapa Adeen. Mereka sempat terkejut. Yah, mungkin karena Adeen jarang berkomunikasi dengan mereka. Sakila yang memiliki peran itu. Adeen memberi jeda waktu untuk mereka menetralkan ekspresi.
"A-ada yang bisa dibantu Pak?" ucap salah satu wanita. Sedang satunya terpantau menyelipkan helaian rambut ke telinga. Merapihkan penampilan.
"Kalian lihat gadis nor-- ah tidak, apa kalian melihat gadis dengan baju pink fanta lewat sini?"
"Tadi gadis itu naik ke atas bersama Bu Sakila. Tapi belum kembali," jelas wanita itu.
"Dia mengaku sebagai istri Bapak. Kami bertanya tentang janji temu. Dia tidak paham. Untuk antisipasi, kami menghubungi Bu Sakila. Dan Bu Sakila membawanya," sahut wanita satunya. Sepertinya dia ingin terlihat menonjol.
"Oh begtu," jawab Adeen. Dia tak menjelaskan bahwa Ayu adalah benar istrinya. Melengos begitu saja. Celingukan ke segala arah dan berakhir duduk di kursi tunggu. Mungkin Ayu menggunakan lift khusus karyawan. Karena banyak kegiatan, lift itu kadang bergerak lambat. Adeen bisa menunggu sejenak. Dari pada harus mencarinya setelah hilang.
Diliriknya jam tangan. Pukul 10:24. Sekitar sepuluh menit Adeen menunggu. Ayu tidak kunjung keluar dari lift.
"Kemana dia?" gumam Adeen. Rautnya mulai gelisah. Adeen punya firasat dia tersesat. "Haah, pandai sekali dia merepotkan orang!" Dia mendengus. Berdiri. Merapihkan jas kemudian melenggang pergi. Entah mulai dari mana ia mencari. Hilang adalah keahlian Ayu selain membuat orang naik pitam.
***
Di sisi lain.
Kantin masih terlihat sepi. Saat jam istirahat, barisan karyawan mengantre untuk mengambil makan siang di prasmanan. Salah satu fasilitas kantor yang sengaja disediakan untuk kesejahteraan pekerja. Ada beberapa makanan ringan. Dari snack kemasan dan jajanan basah. Pun buah-buahan. Kantor pusat atau sering disebut Central Tower tidak pernah telat menyediakan fasilitas untuk kesejahteraan karyawannya.
Kursi dan meja berjejer. Dinding kaca memisahkan antara outdoor dan indoor. Kantin yang berada di lantai dua ini menyajikan suasana ramah lingkungan dengan tanaman-tanaman hias yang ditempatkan di sudut ruangan.
Central Tower memiliki peraturannya sendiri. Ketat, namun masih dalam taraf masuk akal. Seperti dilarang merokok di jam kerja. Atau mendahului makan siang sebelum jam istirahat. Semua tahu peraturan itu. Namun, hari ini, penjaga kantin menemukan satu orang dengan pakaian jreng tengah menenggelamkan wajah ke meja.
“Hei, bukannya ini belum masuk jam istirahat? Siapa dia? Kalau bos besar tahu, tamat riwayatnya!” ucap seorang penjaga kantin.
“Entahlah, wajahnya asing. Apa dia tamu?”
“Hush, mana mungkin tamu dibiarkan sendiri. mungkin dia pelamar kerja.”
“Ah, bisa jadi. Emh… tapi bukankah bajunya agak—“
“Hush, kau tidak boleh mengomentari penampilan seseorang. Mungkin menurut dia pakaian itulah yang terbaik versinya.”
“Ahm begitu ya.”
“Lebih baik kau ke sana. Hibur dia dengan ini.” Penjaga kantin itu memberikan s**u kotak rasa coklat. “Sepertinya dia terlihat putus asa sejak tadi. Mungkin dia mengacaukan sesi wawancara.”
Mereka hendak mendekat sebelum seseorang terlebih dahulu menyambar tempat duduk di depan gadis putus asa itu.
“Eh! Bukankah itu Pak Bos?”
“Benar! Kenapa beliau…jangan-jangan?” mereka saling pandang. Lalu kembali ke tempat semula. Mencari sudut strategis mendengarkan percakapan dua sejoli di sana.
“Aku mencari mu!” ucap Adeen setelah tahu keberadaan Ayu dari bagian keamanan.
Ayu tak merespon. Kedatangan Adeen saja dia tak bergerak sedikit pun. Menurutnya, itu bukan cara baik menyapa setelah apa yang dia ucapkan tadi. ucapannya masih ketus. Mungkin terdengar sepele. Bukan hanya sekali dua kali. Adeen sering melemparkan kata menyakitkan. Tapi tak pernah Ayu masukan dalam hati. Sebab Ayu pun tahu. Adeen tidak menyukainya. Untuk perkataan Adeen tadi. Ayu benar-benar tidak bisa menerimanya. Sebanyak apapun Ayu bersabar. Ucapan tadi adalah puncak kesabaran Ayu diuji.
“Jangan menghilang begitu saja. Kau belum tahu lokasi kantor. Bagaimana jika kau tersesat? Atau lebih parah terkunci di gudang.”
Teruskan saja! Sejauh ini memang Ayu yang salah. Di matanya Ayu tidak pernah benar. Ya! karena Ayu adalah gadis desa yang tidak punya apa-apa. Norak! Tidak bisa dibanggakan! Ayu semakin tertunduk dalam. Mengabaikan.
Adeen menyadarinya. Terpantau wajah kebingungan. Tangannya serta merta menggaruk tengkuk belakang. Ah, dia tidak suka suasana canggung ini.Terlebih di teritori kekuasaannya. Rasanya aneh.
“Baiklah. Apa yang kau inginkan?”